Bagikan
0

Bacaan terkait

Menyusutnya hutan Kalimantan dalam separuh abad terakhir sudah tak bisa disangkal. Setiap pohon yang tumbang melepas karbon ke atmosfer, mempercepat perubahan iklim.

Namun, dalam periode waktu yang sama, penelitian terbaru menemukan, hutan yang belum tersentuh, hutan interior tua makin rimbun.

Selama jutaan tahun, vegetasi rimbun tropis bertumbuh, berkembang dan mati di sini. Pohon menyerap dan menyimpan karbon selama tumbuh, dan melepasnya kembali ke atmosfer saat tumbang dan membusuk.

Secara tradisional, dianggap bahwa hutan primer seperti itu harusnya telah mencapai semacam keseimbangan karbon – ketika hutan dewasa, pohon baru mengganti pohon mati pada laju yang tetap. Jumlah total material hidup di area tertentu secara garis besar akan sama dalam periode waktu tertentu.

Hal ini tidak terjadi di Kalimantan, atau juga di hutan tropis dunia lainnya. Sebuah tim ilmuwan internasional yang dipimpin Lan Qie, dari Universitas Leeds saat itu, menganalisis pengukuran jangka panjang petak seluas 71 hektare yang tersebar di pulau besar itu, dan menemukan bahwa selama separuh abad terakhir, tegakkan hutan Kalimantan mengalami peningkatan biomassa dengan laju rata-rata 430 kilogram per hektare per tahun.

Menurut Qie, ini berarti hutan bertindak sebagai penyimpan karbon. Dan Kalimantan tidak sendiri. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hutan tropis tak tersentuh di Amazon and Afrika juga menyerap lebih banyak karbon dibanding melepaskannya.

“Kini kita tahu bahwa ini merupakan tren global,” kata Qie. “Secara umum di wilayah tropis, hutan tegak lepas dari keseimbangan.”

Hal ini berarti bahwa hutan primer mungkin menyimpan sebagian emisi karbon berlebih, dan membantu memitigasi efek perubahan iklim.

Mengapa begitu? Memang masih perlu dibuktikan melalui eksperimen, katanya. Penjelasan paling logis, adalah bahwa ada penyebab global yang mendorong terjadinya pertumbuhan lebih tinggi. Hal ini mungkin terkait dengan meningkatnya level karbon dioksida di atmosfer.

Namun itu terjadi selama hutan tua tegak. “Dapat dibayangkan petak hutan di permukaan lahan tertentu yang tidak bisa meluas,” kata Qie.

“Kami menduga bahwa pertumbuhan lebih cepat saat ini akan menjaga serapan karbon jangka pendek, hingga terimbangi jumlah pohon mati, dan biomassa hutan mencapai kesimbangan baru dan lebih tinggi.


   Seorang pria suku Dayak Iban memancing ikan di Kalimantan Barat, Kalimantan. Banyak wilayah terpencil di pulau ini hanya bisa dicapai dengan perahu. Foto CIFOR/Lucy McHugh

WARISAN YANG HILANG

Untuk mengukur perubahan biomassa dalam periode waktu tertentu, tim Qie menggunakan petak hutan yang dibangun pertama kali di Kalimantan sejak 1950-an, 60-an dan 70-an. Sejak 1958, ekologis perintis menandai area hutan – biasanya berukuran satu hektare – dan memeriksa kembali setiap beberapa tahun untuk mencatat ukuran, jumlah dan spesies pohon di petak tersebut.

Qie menggali dan mengumpulkan bertahun data. Pada 2013 dan 2014 timnya dikirim ke wilayah terpencil Malaysia dan Indonesia di pulau itu untuk melacak dan mengukur ulang petak.

Sepertinya lebih mudah diucapkan, daripada dilakukan, kata Qie.

Pada 2013 ia mencoba merelokasi sebuah petak dari 1979, di pedalaman Taman Nasional Gunung Mulu di Sarawak. Petak ini secara konsisten dipantau selama 80-an dan 90-an, namun tidak lagi dikunjungi sejak 2000.

Seperti membangkitkan warisan penelitian yang hampir hilang

Lan Qie, ilmuwan

Sebelum penemuan GPS, satu-satunya rujukan Qie atas petak itu adalah peta sketsa tangan.

“Secara kasar, saya dapat melokalisirnya melalui Google Earth, dengan membandingkan garis punggungan bukit dan sungai, serta desa terdekat,” katanya.

Kemudian ia berkonsultasi dengan “seorang paman Iban berusia 70 tahun” yang membantu tim peneliti sejak masih muda pada 1970-an.

“Ia terlalu lemah berjalan ke dalam taman nasional, jadi hanya memberi instruksi: ‘Kamu jalan sekitar 20 menit, kemudian di sisi kanan, kamu tembus hutan dan petaknya beberapa ratus meter dari situ.”

Tim menghabiskan waktu seharian mencari petak itu. “Kita kehabisan air dan dehidrasi – hutan ini padat, rendah, sesak dengan kelembapan tinggi dan tingkat oksigen rendah – hingga nyaris menyerah.”

Akhirnya, salah seorang asisten Qie menemukan penanda alumunium kecil menyembul dari pohon dalam jarak 10 meter. “Dia pahlawanku! Menakjubkan untuk bisa menemukannya dalam keremangan kanopi.”

Kini, petak itu, dan petak-petak lainnya telah ditandai GPS. Datanya disimpan secara online untuk dapat digunakan peneliti lain.

   Lahan kering di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto CIFOR /Ryan Woo

KERING DAN TERANCAM

Meski penelitian menemukan bahwa hutan Kalimantan bertindak sebagai penyerap karbon, para peneliti juga menyebut dua pola, serapan ini bisa berbalik.

Kekeringan ekstrem yang mematikan sejumlah besar pohon dapat mengubah serapan menjadi sumber karbon. Penelitian menemukan, selama kekeringan 1997-1998 (dipengaruhi pola iklim El Niño), hutan Kalimantan sejenak menjadi pengemisi bersih karbon. Dalam satu dekade, hutan pulih, dan kembali menyimpan karbon sebanyak sebelum kekeringan.

Ancaman terhadap fungsi serapan hutan Kalimantan ini terus terjadi. Penelitian menemukan, bentang hutan yang berbatasan – dekat dengan aktivitas manusia – cenderung lebih mengemisi daripada menyimpan karbon.

Qie menyatakan, hal ini terjadi karena pohon di batas hutan sangat cenderung mati – akibat penebangan atau sebab lain – dan cenderung digantikan oleh spesies yang memiliki kepadatan kayu dan simpanan karbon lebih rendah.

Batas ini terus meluas. Selama empat dekade terakhir, hutan luas Kalimantan yang sebelumnya tak tersentuh mulai terfragmentasi. Pada 1973, 76 persen pulau masih berhutan. Pada 2016, angka itu melorot menjadi 50 persen, setelah hampir 20 juta hektare hutan tua hancur akibat kebakaran dan ekspansi pertanian.

Fragmentasi dan efek iklim dapat mengganggu kemampuan hutan menyerap karbon – dan malah mempercepat proses itu

Terry Sunderland, ilmuwan

Qie dan para mitra penelitian menekankan perlunya menghentikan fragmentasi, kata David Gaveau, yang mengembangkan peta interaktif yang menunjukkan lingkup dan lokasi deforestasi di Kalimantan dan apa penyebabnya.

Sebuah peta versi terbaru yang diluncurkan November lalu, memungkinkan pengguna untuk mengeksplorasi data tambahan mengenai lokasi dan kepemilikan pabrik pengolahan minyak sawit. Fitur ini membantu untuk lebih mendapatkan gambaran dampak industri terhadap hutan.

Mantan Ilmuwan Utama CIFOR Terry Sunderland (kini di University of British Columbia) yang menampung Qie di Bogor, Indonesia selama penelitian lapangan dan menjadi anggota penulis penelitian, mengakui karya Qie
“menjadi fondasi sangat penting penelitian di masa depan.”

“Keunggulan penelitian ini, sangat sedikit penelitian di Asia mengenai hutan sebagai serapan karbon, tidak seperti di Amerika Latin dan Afrika. Padahal ada perbedaan ekologi dan biogeografi yang sangat besar dalam tipe hutannya, meski dampak gangguannya serupa,” kata Sunderland.

“Fragmentasi dan efek iklim dapat mengganggu kemampuan hutan bertindak sebagai serapan karbon – dan malahan mempercepat proses itu.”

“Hutan Kalimantan telah dikenal sangat kaya jenis spesies per hectare – kini kita juga tahu mengenai nilai karbonnya juga.”

Di Bogor, penelitian Lan Qie didukung oleh peruntukan keragaman hayati USAID. Jaringan peneliti pemantauan hutan internasional yang berkontribusi pada penelitian ini dibangun dengan dukungan dari hibah European Research Council untuk Professor Oliver Phillips dan Professor Simon Lewis, keduanya dari Universitas Leeds. 

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Lan Qie di l.qie@imperial.ac.uk atau Terry Sunderland di terry.sunderland@ubc.ca.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org