Bagikan
0

Bacaan terkait

Berbagai jenis status lahan dan bentuk reformasi untuk masyarakat bergantung hutan di Indonesia Uganda dan Peru umumnya telah mampu meningkatkan kehidupan – namun, penelitian terbaru mengungkap bahwa ketidakamanan pangan tetap menjadi masalah besar.

Penelitian – yang disajikan dalam InfoBrief terbaru – tersebut merupakan bagian dari Studi Komparatif Global mengenai Reformasi Tenurial Hutan  Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Para peneliti membagi reformasi tenurial dalam tiga kelompok: adat, atau status lahan informal; reformasi yang memberi peruntukkan lahan hutan kepada masyarakat secara temporer; dan kepemilikan penuh, di mana masyarakat mendapat hak milik permanen atas lahan.

Reformasi tenurial, khususnya pada model kepemilikan penuh, menurut Ilmuwan Senior CIFOR, Anne Larson, memberi banyak manfaat bagi masyarakat.

“Bagi kelompok dengan klaim adat atau klaim historis atas sebuah kawasan, bisa mendapatkan status lahan sendiri merupakan langkah besar. Hal ini bisa sangat bermakna, dan lebih memberi keamanan jangka panjang. Walaupun sebagian besar masyarakat memandang status lahan formal merupakan langkah untuk meningkatkan hidup mereka, penelitian kami menunjukkan, di lapangan langkah ini tidak lantas mengarah ke sana.”

Para peneliti mensurvei 55 komunitas di tiga benua: 22 di Peru, 16 di Uganda dan 17 di Indonesia. Secara total survei dilakukan pada 2.075 rumah tangga, 164 diskusi grup terpumpun yang dilakukan terpisah antara lelaki dan perempuan, dan wawancara 136 informan kunci tokoh masyarakat.

Hasilnya menunjukkan, ketika berbicara soal penghidupan, keberadaan reformasi hampir selalu lebih baik daripada tidak ada reformasi.

Peningkatan paling positif terlihat pada lahan yang diperuntukan untuk pemanfaatan masyarakat di Uganda (47 persen responden mengaku mengalami peningkatan penghasilan setelah reformasi) dan di lahan milik masyarakat di Peru (45 persen).

Hal ini menunjukkan, bukan jenis rezim (kepemilikan atau peruntukan lahan) yang menentukan hasil, namun lebih pada prioritas dan kebijakan tertentu yang diterapkan di tiap lokasi. Konteks juga penting: responden di Uganda hidup dan bekerja di “keranjang roti” negeri itu dan menarik untung dari kenaikan harga produk mereka, saat dijual di pasar.

"...mengejutkan juga saat mendapati banyak orang mengalami ketidakamanan pangan setiap tahun

Anne Larson

KEKURANGAN PANGAN

Bahkan pada masyarakat yang memiliki tenurial lahan formal, para peneliti menemukan tingginya ketidakamanan pangan.

Sebanyak 38 hingga 57 persen masyarakat yang tinggal dalam lokasi reformasi lahan mengalami kesulitan menafkahi keluarga di sebagian tahun (dibanding dengan 41-84 persen pada lokasi tenurial adat). Apalagi, meski banyak orang melaporkan peningkatan atau tidak ada perubahan, 20-33 persen melaporkan penurunan penghasilan pertanian sejak dilakukan reformasi.

“Saya pikir ini cukup tinggi,” kata Larson. “Mereka memang masyarakat desa dan seringkali merupakan kelompok termarjinalkan, namun mengejutkan juga mendapati begitu banyak orang mengalami ketidakamanan pangan.”

Pertanyaan ini menjadi ruang gelap dalam diskusi dan penelitian mengenai tenurial lahan, padahal ini penting, kata Larson. “Ketidakamanan pangan adalah masalah besar. Ada potensi terabaikannya keamanan tenurial, masa depan, kemampuan mereka untuk bertahan di atas lahannya dalam jangka pajang.

Saat masyarakat tidak mampu menafkahi keluarganya, mereka cenderung mengirim anak muda ke luar komunitas untuk mencari kerja, kata Larson.

“Pada kondisi ini, tidak tercipta ketahanan atau determinasi masyarakat, atau keberlangsungan kulturan jangka panjangnya. Kemampuan mereka dalam menjaga kesehatan budaya dan penghidupan di masa depan akan lumpuh jika masalah penghidupan tidak diatasi.”

“Jika ada yang melanggar perbatasan, mencuri kayu atau merambah lahan kita, maka memiliki status bisa mengatasi masalah itu – meskipun ini juga berarti harus ada orang yang menegakkan aturannya, dan ini tidak lantas ada”

Anne Larson

 MENGUBAH PRIORITAS

Sebagian besar reformasi tenurial, menurut Larson sangat terfokus pada pemenuhan hak atau konservasi. Penelitian menunjukkan kebutuhan untuk secara spesifik menargetkan penghidupan.

“Biasanya prioritas tidak tertulis ‘memperkuat masyarakat adat dan memungkinkan mereka memanfaatkan hutan untuk penghidupan,” katanya. “Ujung-ujungnya adalah aturan ketat seputar pemanfaatan hutan, khususnya penebangan.”

Memantapkan tujuan penghidupan dan keamanan pangan sebagai sasaran reformasi lengkap dengan target dan indikator merupakan langkah awal yang krusial. Agar penghidupan meningkat, masyarakat perlu sumber baru penghasilan, atau bisa dengan mengatasi masalah yang menghambat langkah majunya.

“Jika ada yang melanggar perbatasan, mencuri kayu atau merambah lahan kita, maka memiliki status bisa mengatasi masalah itu – meskipun, ini juga berarti harus ada orang yang menegakkan aturannya, dan ini tidak lantas ada.”

Pemerintah bisa membantu penegakkan aturan, atau membantu desa mendirikan usaha kecil atau perhutanan sosial – apa pun yang diperlukan penduduk.

“Kita tidak bermaksud mendorong lebih banyak eksporasi minyak atau tambang, atau bahwa pemerintah datang dan memberitahu masyarakat bagaimana menjalankan urusan masyarakat. Masyarakat seharusnya memutuskan apa yang mereka ingin bagi penghidupannya – negara seharusnya membangun kondisi yang memungkinkan hal-hal itu terlaksana.

Koordinasi lebih baik antara berbagai cabang dan tingkat pemerintah juga krusial, katanya. Misalnya, badan pemberi status lahan, khususnya ketika di level daerah, jarang sekali bekerja sama dengan lembaga kehutanan nasional. Pejabat kehutanan tidak berkoordinasi dengan departemen pertanian, dan seterusnya.

Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut. Walaupun penelitian ini baru berdasarkan sedikit pertanyaan dalam survei besar – namun sudah mencuitkan tanda bahaya, kata Larson.

“Fakta bahwa kita belum melihat perbedaan besar antara bentuk reformasi lahan yang lebih aman (kepemilikan) dan yang lebih lemah (hak pemanfaatan) menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan – status saja tidak cukup.”

“Kita memerlukan lebih banyak penelitian mengenai reformasi dan keamanan pangan untuk memahami apa yang salah – dan di mana penghidupan meningkat, mempelajari apa yang bisa kita peroleh dari kasus-kasus tersebut, agar reformasi jadi lebih baik.”

Riset ini didukung oleh Penelitian dilaksanakan sebagai bagian dari Program Penelitian CGIAR mengenai Kebijakan, Kelembagaan, dan Pasar (PIM) yang dipimpin oleh Insitut Penelitian Kebijakan Pangan (IFPRI).
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org