Bagikan
0

Bacaan terkait

Narasi populer mengenai kelapa sawit di Kalimantan adalah kisah David dan Goliath.

Deforestasi dan konversi lahan gambut terutama dilakukan oleh bisnis besar pengembang kelapa sawit dalam perkebunan industrial dan mengekspornya ke pasar luar negeri. Kisah ini terus berberkembang. Sementara petani yang umumnya mengolah petak kecil lahan, menimbulkan dampak negatif lingkungan yang relatif kecil.

Artikel media dan kampanye para aktivis memperkuat pesan ini – dan pada saat yang sama, penelitian kelapa sawit terfokus pada perkebunan industrial secara disproporsional, kata Ilmuwan Senior CIFOR George Schoneveld.

“Petani nyaris tak terlihat,” katanya.

Dalam beberapa tahun terakhir, lanjut Schoneveld, perusahaan besar makin berada di bawah tekanan dari pemodal, lembaga sertifikasi, dan kustomernya untuk membersikan rantai suplai mereka – sementara petani nyaris tak terpantau.

Di Indonesia, para petani juga merupakan kelompok produsen yang paling cepat membesar. Total area budi daya kelapa sawit petani diperkirakan tumbuh dari 40 persen dari total luas area nasional pada 2016 menjadi 60 persen pada 2030.

Oleh karena itu, Schoneveld dan rekan-rekannya dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menyusun cara untuk mengungkap profil para petani, dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan. Hasilnya menghentikan sejumlah asumsi populer.

Salah satu alasan mengapa sulit meneliti petani kelapa sawit adalah karena tidak ada catatan resmi pemerintah mengenai letak lahan yang mereka miliki. Tim Schoneveld harus menyusun petanya sendiri. Mereka menggunakan Google Earth dan citra satelit beresolusi tinggi lain, SPOT, untuk mempertajam citra penanda pohon sawit di Kalimantan.

Kemudian mereka menggunakan validasi lapangan untuk memeriksa hasil dan mengumpulkan detail lebih banyak. Sampel acak tata ruang memberi mereka serangkaian koordinat GPS untuk 947 petak kelapa sawit di Kalimantan Barat dan Tengah – sekitar 10 persen petak petani teridentifikasi. Kemudian anggota tim naik sepeda motor ke desa-desa.

“Biasanya ketika datang ke pertanian, kita tidak akan bertemu orang. Jadi kita harus membawa orang sekitar dan bertanya, ini punya siapa?” kata Schoneveld. “Kemudian kita bertemu dengan pemilik tanah di desa, atau di pertanian lebih besar dan pemiliknya tidak ada di desa, seringkali kita harus menempuh 100 kilometer untuk wawancara.”

Upaya ini memang menyita waktu – dan laporannya disusun selama tiga tahun.

“Biasanya ketika datang ke pertanian, kita tidak akan bertemu orang. Jadi kita harus membawa orang sekitar dan bertanya, ini punya siapa?”

George Schoneveld

APA YANG MEREKA TEMUKAN

Ketika mengolah data, tim Schoneveld menemukan, jenis lahan yang dikonversi menjadi kelapa sawit berubah seiring waktu. Penelitian ini mencakup perkebunan berdiri antara 2002 dan 2016. Pada tahun-tahun tersebut, para peneliti menemukan peningkatan konversi lahan gambut. Proyeksi mereka menunjukkan bahwa laju konversi gambut meningkat pada masa depan, dan mayoritas ekspansi petani kelapa sawit terjadi di lahan gambut pada 2030.

“Lahan pertanian yang disiapkan untuk dikonversi menjadi kelapa sawit pada kondisi telah dikonversi –banyak lahan yang ada akan rusak, dan kehilangan kesuburannya. Oleh karena itu etani akan merambah lebih jauh dan masuk ke area pinggiran,” kata Schoneveld.

Terdapat persepsi umum di Indonesia, migran dari pulau lain lah yang bertanggung jawab atas dampak buruk kelapa sawit pada lingkungan hidup. Namun penelitian mengungkap bahwa kecil kemungkinan petani migran mengkonversi hutan dan lahan gambut –justru petani asli yang cenderung mengkonversi bentang alam yang sensitif secara  ekologis.

Temuan lain, menurut Schoneveld adalah petani yang relatif kurang berpengalaman menanam kelapa sawit di lahan gambut. Banyak petak itu dimiliki pegawai negeri, katanya.

“Orang yang bukan benar-benar tiba-tiba petani menyadari, kelapa sawit ternyata bisa menguntungkan – mereka cenderung memiliki perspektif usaha, dan berpikir di mana mendapat lahan murah?” Lahan murah itu biasanya lahan berhutan atau gambut.

“Dari perspektif emisi gas rumah kaca – jenis konversi ini sangat merusak”

George Schoneveld

APA YANG DIPERTARUHKAN

Sulit mengatakan yang mana yang paling merusak lingkungan.

Hutan rimba Kalimantan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati terkaya di dunia, namun hutan gambut memiliki dampak terbesar terhadap perubahan iklim. Lahan gambut menyimpan sejumlah besar karbon. Pengeringan yang terjadi ketika terdeforestasi melepas karbon itu ke atmosfer. “Dari perspektif emisi gas rumah kaca, konversi jenis ini sangat merusak,” kata Schoneveld.

Lahan gambut terkonversi juga rentan kebakaran, dan risiko ini teramplifikasi oleh dinamika sosial yang diidentifikasi para peneliti.

“Ada petani tak berpengalaman mengkonversi gambut, dan gambut merupakan salah satu lahan paling kompleks untuk dibudi daya secara bertangungg jawab dan efektif. Hasil kami menunjukkan, sekitar sepertiga petani lahan gambut mengalami masalah kebakaran, yang sebagian besar disebabkan oleh salah urus.”

Di bekas petak hutan gambut, banyak petani juga tidak mematuhi ISPO – sertifikasi untuk mendorong praktik berkelanjutan.

“Ada juga orang yang tidak patuh, menerapkan praktik buruk dan kemudian mengalami kebakaran. Kita bisa menghubungkan hal itu sebagian pada budi daya gambut secara umum, yang juga lebih sulit, namun peran kurangnya pengalaman juga ada.”

APA YANG BISA MEMBANTU

Pemerintah Indonesia sangat berkomitmen untuk mengatasi masalah kebakaran hutan, kata Schoneveld. Namun komitmen itu belum mengalir ke tingkat kabupaten, yang memiliki otoritas keputusan pemanfaatan lahan dan penegakkan hukum.

“Jika pemerintah kabupaten berinvestasi dalam memetakan lahan gambut mereka, memberi bantuan teknis agar petani tak berpengalaman mampu mengelola lahan gambut, melakukan perencanaan pemanfaatan lahan lebih baik, dan mungkin membatasi petani jenis ini memasuki lahan gambut di masa depan – hal tersebut bisa sejalan dalam mengerem ekspansi dan dampaknya.

Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Schoneveld, kabupaten akan membutuhkan dukungan dari luar.

“Di banyak tempat, kapasitas pemerintah lokal sangat rendah, dan desentralisasi di Indonesia berarti mereka juga kurang terdorong untuk mengikuti kebijakan nasional. Banyaknya uang berputar di kelapa sawit, bisa memperkaya kabupaten dan menguntungkan individu yang berinvestasi di kelapa sawit, ini resep untuk status quo.

“Faktanya, banyak sekali elit lokal masuk ke usaha kelapa sawit di area pinggiran, hal ini berarti beberapa kalangan pemerintah lokal memiliki kepentingan untuk tidak melakukan apa-apa—karena mereka juga mengeruk keuntungan.”

Meskipun begitu, lanjut Schoneveld, perencanaan lebih baik akan membantu petani dan lingkungan hidup.

Di bawah ISPO, petani kelapa sawit makin didorong untuk menunjukkan bahwa lahan mereka legal dan peruntukannya sesuai.

“Jika mereka tidak bisa menunjukkan itu, para petani akan kehilangan akses ke pasar – dan oleh karena itu akan bergantung pada rantai nilai lokal dan tidak berkelanjutan. Hal ini pada gilirannya mengarah pada harga murah dan perilaku eksploitatif.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org