Bagikan
0

Bacaan terkait

Presiden Indonesia Joko Widodo menandatangani perpanjangan moratorium izin baru konsesi kelapa sawit. Selama tiga tahun moratorium, pemerintah akan melakukan kajian komprehensif lisensi kelapa sawit nasional dan mengembangkan upaya peningkatan produktivitas – khususnya bagi petani. Langkah ini dipandang signifikan dalam menyempurnakan tata kelola sektor ini.

Tetapi apakah ini cukup? Bagaimana kita bisa menjamin pasokan sawit yang ada sudah berkelanjutan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, seraya meningkatkan performa petani yang terkait dengan rantai nilai kelapa sawit, dan pada apa penghidupan petani bergantung?

Penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dipimpin oleh mitra senior Pablo Pacheco menelaah bagaimana regulasi dan standar swasta dapat mengatasi tiga kesenjangan utama yang mempengaruhi sektor kelapa sawit. Penelitian ini berfokus pada Indonesia – produsen kelapa sawit terbesar dunia.

“Kami menelaah bagaimana kompleksitas rejim kebijakan aktual dapat mengatasi tiga kesenjangan utama, khususnya konflik lahan, perbedaan produktivitas antara perusahaan dan petani serta emisi karbon yang muncul dari deforestasi dan konversi lahan gambut,” kata Pacheco.

“Kami mengidentifikasi peluang mendorong efektivitas tata kelola rantai nilai kelapa sawit dan bentang pasokan dengan menganalisis diskoneksi, komplementaritas, dan antagonisme antara regulasi publik dan standar swasta di tingkat global, nasional dan subnasional,” tambahnya.

Para ilmuwan mengakui bahwa komplementaritas lebih kuat muncul dalam mekanisme transaksional, namun juga menemukan diskoneksi dan antagonisme pada regulasi pemerintah pusat dengan standar swasta transnasional.

Dalam meningkatkan tata kelola dan mengatasi kesenjangan performa, diskoneksi ini perlu diatasi dan langkah merekonsiliasi antagonisma perlu diambil

“Solusi dalam mengatasi kesenjangan performa perlu ditempatkan secara terintegrasi dan mengadopsi pendekatan multi-level,” kata Pacheco. “Terlebih, solusinya harus melibatkan regulasi publik maupun inisiatif dan upaya swasta.”

SEKTOR BERTUMBUH, MASALAH BERKEMBANG

Kelapa sawit dimanfaatkan dalam ribuan produk, mulai dari kosmetik, produk kebersihan dan biodiesel. Kebutuhan ini mendorong peningkatan permintaan global untuk cairan emas ini.

“Tidak ada satu sektor pun yang berkembang secepat kelapa sawit,” kata Pacheco. “Meski, belum teratasinya masalah performa terus mengikuti ekspansi ini.”

Salah satu isu kunci adalah lahan yang digunakan untuk budi daya kelapa sawit. Konflik lahan sulit diatasi. Meski ada upaya untuk memformalkan hak teuniral, perambahan lahan publik terus meluas. Petani sering bergantung pada transaksi informal untuk mendapatkan akses lahan.

Petani memproduksi sekitar sekitar 40 persen kelapa sawit Indonesia, namun hasil panennya masih kurang optimal akibat keterbatasan akses permodalan dan pelayanan.

“Petani tidak mampu mengadopsi praktik pengelolaan terbaik dan masih banyak menggunakan materi penanaman di bawah standar,” kata Pacheco.

Mengurangi emisi karbon pada sektor kelapa sawit terhambat oleh regulasi yang membolehkan pemanfaatan kawasan berhutan atau kawasan stok karbon tinggi untuk perkebunan. Hal ini diperburuk dengan pemanfaatan kawasan terdegradasi dan kurang produktif.

“Banyak perusahaan cenderung membangun perkebunan di lahan gambut atau lahan hutan untuk mengurangi potensi konflik lahan dan menutupi biaya pendirian perkebunan dengan menjual kayu tebangan di area itu,” kata Pacheco.

“Hasilnya adalah hutang karbon yang signifikan,” tambahnya.

WASPADA KESENJANGAN

Dalam upaya mengatasi kesenjangan performa sektor kelapa sawit, arsitektur tata kelola yang sangat kompleks muncul dengan menyatukan pemerintah dan sektor swasta, serta wahana multi-pemangku kepentingan.

The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mungkin menjadi standar berkelanjutan terbaik yang ada, dan diakui oleh inisiatif berkelanjutan Uni-Eropa. Hal ini merupakan komplementaritas yang membantu mencapai kesepakatan kriteria berkelanjutan.

Indonesia dan Malaysia juga menyusun standar berkelanjutan sendiri (ISPO dan MSPO) untuk mengimbangi pengaruh pemain eksternal. Di samping upaya memperkuat standar wajib ini, para ilmuwan menyatakan, masih perlu ditunggu apakah hal ini akan mendukung komitmen bebas-deforestasi dari kelompok korporasi besar.

Terlebih, mereka menyatakan bahwa dampak lebih besar akan tercapai dengan membangun proses harmonisasi RSPO dengan standar nasional tersebut.

MENJEJAK DISKONEKSI

Pacheco menyatakan, untuk meningkatkan performa sektor kelapa sawit, penting untuk menelaah implikasi dan peluang terkait sistem insentif fiskal nasional, termasuk yang terkait dengan pemanfaatan Dana CPO.

“Misalnya, dana tersebut seharusnya lebih aktif mengkaitkan insentif untuk perusahaan yang terkait dengan suplai biodiesel dengan pembelian dari petani dengan syarat mematuhi kriteria berkelanjutan,” katanya. Ia menambahkan bahwa pendekatan ini akan membantu meningkatkan performa lingkungan petani, seraya mendukung pasokan berkelanjutan kelapa sawit untuk pasar biodiesel domestik.

Keterputusan besar lain terkait fakta bahwa inisiatif pengaturan lahan tidak lantas sejalan dengan inisiatif yang mendukung pasokan kelapa sawit berkelanjutan, serta peningkatan kesejahteraan petani. Hal ini merupakan sumbatan utama yang perlu diatasi.

“Upaya pemerintah menerapkan reformasi agraria dan perhutanan sosial untuk memberi manfaat pada masyarakat lokal belum sepenuhnya efektif mengatasi isu ini,” kata Heru Komarudin, peneliti CIFOR.

Diskoneksi lain terkait dengan regulasi pemanfaatan lahan. Makin banyak pembeli mencari pemasok Bebas Deforestasi, Bebas Gambut, Bebas Eksploitasi (NDPE), namun kritik menyebutkan, meski sudah memiliki kebijakan ini, perusahaan tidak selalu menerapkannya di lapangan.

Pada beberapa kasus, lanjut Komarudin, undang-undang dan regulasi tidak mendukung perusahaan yang memilih melindugni kawasan dengan stok karbon tinggi atau nilai konservasi tinggi.

“Kawasan tersebut sering dipandang sebagai lahan terlantar, dan berisiko diambil alih oleh pemerintah, untuk digunakan sebagai perkebunan baru, bukannya dilindungi dari masyarakat lokal yang mungkin mencoba merambah kawasan tersebut,” tambahnhya.

Makin banyak pemerintah daerah yang juga mengadopsi kebijakan untuk melindungi hutan bernilai konservasi tinggi. Pemerintah mulai mengadopsi prinsip kawasan ekosistem penting, meski belum ada aturan legal yang mengikat.

MELANGKAH MAJU

Para peneliti mencatat bahwa perbedaan “pendekatan eksperimentalis” muncul dalam mengatasi diskoneksi dan antagonisme, seraya terus mengeksploitasi komplementaritas yang ada.

Pendekatan-pendekatan tersebut diorkestrasi oleh pemerintah tingkat provinsi dan difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, yang seringkali cenderung bertindak sebagai perantara.

“Tidak ada peluru perak, tidak ada solusi tunggal. Jelas bahwa kita perlu pendekatan terintegrasi untuk secara efektif mengelola sektor kelapa sawit, di mana seluruh aktor memainkan peran kunci,” kata Pacheco.

Penelitian ini didukung oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Srikat (USAID) dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Pablo Pacheco di p.pacheco@cgiar.org atau Heru Komarudin di h.komarudin@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org