Bagikan
0

Bacaan terkait

Bonn, Jerman – Dalam beberapa tahun terakhir peran lahan gambut dalam restorasi bentang alam selalu dimonitor terutama ketika para ilmuwan berupaya mencari solusi mengendalikan pemanasan iklim global.

Dikenal sebagai bogs, mires, moors atau muskeg, lahan gambut merupakan penyerap karbon efektif, meliputi lebih dari setengah luasan lahan basah di seluruh dunia dan setara dengan tiga persen dari total permukaan tanah dan air tawar.

Terbentuk selama ribuan tahun dari lapisan vegetasi yang membusuk dan tergenang air, lahan gambut dikeringkan untuk pertanian, kehutanan komersial, dan bahan bakar.

Sepertiga dari karbon tanah permukaan dan 10 persen dari sumber daya air tawar global di seluruh dunia disimpan di lahan gambut.

Lahan gambut memainkan peran kunci dalam memenuhi target Perjanjian yang disepakati di tahun 2015 dan bertujuan meredam pemanasan global era pasca-industri tetap terkendali.

Pada Forum Bentang Alam Global 2018 di Bonn, Jerman, para delegasi bertukar strategi pengelolaan untuk lahan gambut tropis, menyoroti potensi yang ditawarkan oleh kerja sama selatan-selatan melalui International Tropical Peatland Center (ITPC) yang diperkenalkan kepada public November 2018. Berkantor pusat di Bogor, aliansi ITPC termasuk CIFOR, Indonesia, Peru, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo (DRC).

Di tahun 2017, lahan gambut utuh terbesar di dunia berhasil dipetakan di Cekungan Cuvette, kabar dari para ilmuwan, menjadikan temuan ini mengarah pada upaya yang lebih terpadu membangun koordinasi strategi manajemen lahan gambut.

Indonesia menghasilkan setengah emisi global dari lahan gambut, yang sering dikeringkan untuk produksi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp.

   The highlight of the launch of the international tropical peat land secretariat . Indonesia-Congo bilateral cooperation was agreed to handle peat land in the Republic of Congo. Ricky Martin/CIFOR

“Indonesia ingin berbagi pengalaman yang tak ternilai dengan negara-negara sahabat kami, kedua Kongo, dalam mengelola lahan gambut dengan praktik-praktik berkelanjutan yang sesuai,” kata Siti Nurbaya Bakar, menteri lingkungan hidup dan kehutanan Indonesia. Indonesia ingin berbagi pelajaran dari pengalaman, membantu dan berkolaborasi dengan negara-negara berkembang lainnya dengan dukungan dari UNEP.

Tahun 2009, Indonesia berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca nasional setidaknya 26 persen pada tahun 2020. Dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) tahun 2015, Indonesia meningkatkan janji sukarela untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen sendiri dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030, melebihi dari skenario bisnis seperti biasa.

Tim Christophersen, kepala badan department air, tanah, dan iklim dari UN Environment, mengatakan bahwa Indonesia saat ini berada dalam perjalanan memperbaiki kesalahan masa lalu yang dibuat dalam pengelolaan lahan gambut.

“Siti Nurbaya adalah juara untuk pencapaian tujuan ini,” kata Christophersen. Melalui upaya berbagi pelajaran dengan negara-negara tropis lainnya, pengelolaan lahan gambut lestari diharapkan akan meningkat, dapat menawarkan potensi manfaat mata pencaharian selain manfaat lingkungan, katanya.

Drainase lahan gambut menyebabkan penurunan tanah, dan membuatnya lebih rentan terhadap api, dan dapat membumihanguskan lahan gambut selama bertahun-tahun di bawah tanah dalam kondisi optimal. Pada 2015, di Indonesia, api terbakar tak terkendali dalam waktu lama karena kondisi kering.

Jalur Lahan Gambut

Kebakaran dan kabut gambut di Indonesia di tahun 2015 menewaskan kurang lebih 100.000 orang, menyebabkan setengah juta orang masuk pelayanan rumah sakit, dan menyebabkan kerusakan hingga $ 40 miliar, kata Hans Joosten, seorang pakar pengelolaan lahan gambut dengan International Mire Conservation Group dan Universitas Greifswald.

   Team of researcher measure peat surface elevation change by using Rod Surface Elevation Table (rSET). A net of surface elevation loss is commonly observed along peatland degradation transition. Sigit Deni Sasmito/CIFOR
   Peatland drainage leads to land subsidence, and makes them more vulnerable to fires. Icaro Cooke Vieira/CIFOR

“Kita harus sangat menghargai bahwa Indonesia telah memimpin dalam membalikkan pendapat akan hal tersebut – Indonesia termasuk dalam daftar penghasil emisi global dari lahan gambut, namun tanpa menyebabkan kebakaran lahan gambut besar,” kata Joosten. “Tetapi Uni Eropa adalah yang kedua – Uni Eropa sering menyalahkan Indonesia atas emisi lahan gambut, tetapi juga harus melihat situasi mereka sendiri.”

Negara maju harus berbagi tanggung jawab, kata Joosten. “Jika kita melihat penggunaan lahan, lahan gambut menghasilkan 30 persen dari semua emisi dari semua pertanian.”

Penurunan tanah yang disebabkan oleh pengeringan merupakan tantangan, katanya. Sebagian besar wilayah Belanda saat ini berisiko banjir karena berada di bawah permukaan laut – di beberapa wilayah tersebut tenggelam 8 meter.

“Kami telah menghitung bahwa penurunan lahan gambut, pada abad ini, akan menyebabkan banjir tak terkendali 10 hingga 20 juta hektar lahan produktif di seluruh dunia, dan itu menakutkan karena kami akan kehilangan lahan sekarang sebab kami sangat membutuhkannya; untuk lebih banyak penduduk, untuk mengurangi kemiskinan, dan untuk mengganti sumber daya fosil seperti yang telah kami sepakati dalam Perjanjian Paris,” kata Joosten.

Basahi lahan gambut yang dikeringkan lembab lagi - dan jika Anda menggunakannya, gunakan dalam keadaan berair

Hans Joosten, International Mire Conservation Group

Opsi Re-wetting (Pembasahan Kembali)

Paludikultur, budidaya pertanian dan tanaman dalam kondisi lembab/basah, merupakan opsi yang layak untuk drainase lahan gambut karena menghasilkan biomassa dari lahan basah atau yang telah dibasahi kembali.

Kita harus menjaga agar lahan gambut tetap basah, kata Joosten. “Buatlah lahan gambut yang telah dikeringkan menjadi basah lagi – dan jika Anda menggunakannya, gunakan basah. Tidak akan ada Paris (Perjanjian) tanpa lahan gambut; lahan gambut harus dalam keadaan basah. Untuk (perubahan) iklim. Untuk tanah. Untuk semua manusia. Selama-lamanya.”

Paludikultur jelas dapat dilaksanakan, tetapi perencanaan strategis juga sangat penting agar menghindari peningkatan risiko seperti malaria, kata Francisco Rilla, direktur ilmu pengetahuan dan kebijakan untuk Konvensi Ramsar, yang mengawasi pengelolaan lahan basah internasional dan inisiatif konservasi.

Kami harus mempertahankan variabilitas dan keanekaragaman hayati di bentang alam ini, kata Rilla. Untuk konservasi, menambahkan air itu benar, tetapi itu tidak cukup, kita perlu waktu, dan kita harus berhati-hati.

Perangkat interaktif terbaru yaitu Sistem Informasi dan Pemantauan Restorasi Lahan Gambut Indonesia (PRIMS) dirancang untuk mendukung transparansi dan inisiatif restorasi yang kompleks dan menjadi kelengkapan sistem moratorium perkebunan kelapa sawit yang baru dikeluarkan, kata Budi Wardhana, yang memimpin proyek di Badan Restorasi Gambut (BRG).

“Tujuan pengembangan PRIMS adalah untuk mengkomunikasikan hasil dan pencapaian serta mendorong momentum positif, agar dapat menginspirasi dan memungkinkan penyelesaian yang dapat ditransfer, membimbing dan mendukung pelaksanaan restorasi dan memberikan umpan balik termasuk pembelajaran terus menerus dan kolektif untuk manajemen adaptif,” kata Wardhana.

   CIFOR researchers from Peru office are measuring peat degradation. Kristell Hergoualc'h/CIFOR
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org