Siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kalimantan Barat dan Sumatra Selatan antusias mendiskusikan tentang mentimun yang mereka tanam, tomat yang mereka panen, dan selai nanas yang mereka buat. Semua itu terinspirasi dari pelajaran baru tentang pengelolaan ekosistem yang luar biasa, yaitu ekosistem gambut.
Indonesia adalah rumah bagi lahan gambut tropis terluas di dunia, yaitu lahan basah yang terbentuk dari lapisan vegetasi setengah membusuk selama ribuan tahun yang terakumulasi selama ribuan tahun. Meskipun luasnya hanya 3% dari permukaan daratan global, lahan gambut ini menyimpan sekitar 30% karbon tanah dan berperan penting dalam menjaga pasokan air tawar.
Saat lahan gambut dikeringkan dan dibuka untuk pertanian subsisten atau perkebunan skala besar, kebakaran bisa mudah menyebar, melepaskan ‘bom karbon,’ menghasilkan kabut asap beracun, serta menyebabkan kerugian miliaran rupiah, seperti yang terjadi pada tahun 2015.
Dalam upaya melindungi lahan gambut, para siswa di Provinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan diajarkan praktik sederhana seperti memanen biomassa di permukaan tanah, membudidayakan tanaman lahan basah, dan menjaga penutup vegetasi. Langkah ini tidak hanya menghasilkan pendapatan, namun juga berperan penting dalam menjaga kelestarian ekosistem gambut beserta manfaat pentingnya bagi kehidupan manusia.
“Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar lahan gambut belum memahami cara melindungi dan mengelola ekosistem ini secara berkelanjutan, sehingga penting untuk mendidik generasi muda tentang pemahaman gambut melalui kurikulum sekolah dan kegiatan pembelajaran informal di komunitas,” kata Sonya Dewi, Direktur Asia di Pusat Penelitian Kehutanan International dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF).
Untuk itu, Peat-IMPACTS Indonesia berinisiatif dan telah mempelopori kurikulum pertama tentang gambut untuk siswa SD dan SMP, menyesuaikan materi dengan konteks ekologi dan budaya di masing-masing provinsi, dan memulai sebuah model yang mereka harapkan dapat diperluas ke kabupaten-kabupaten yang kaya akan lahan gambut di seluruh Indonesia.
Benih-Benih Perubahan
Bersama para guru, pengelola sekolah, dinas pendidikan kabupaten, sejarawan, dan pakar budaya, kurikulum yang berisi muatan lokal tentang konservasi lahan gambut dikembangkan dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran utama yang sudah ada. Buku pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia mencakup berbagai contoh dan cerita tentang ekosistem gambut.
Tujuan utamanya adalah untuk memperdalam pemahaman siswa tentang pentingnya ekosistem gambut serta ancaman yang dihadapinya, sehingga siswa dapat berkontribusi dalam melestarikan ekosistem unik ini melalui cara-cara praktis dan rasa kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi.
Upaya ini membuahkan hasil. Pada awal tahun 2023, tiga kabupaten yang terlibat dalam uji cobaini mengeluarkan peraturan yang mewajibkan sekolah-sekolah untuk mengadopsi kurikulum tersebut. Hingga kini, kurikulum tersebut telah menjangkau 248.000 siswa di 1.530 SD dan SMP, dan diharapkan inisiatif ini menjadi langkah awal untuk perubahan jangka panjang.
“Generasi muda akan memiliki pengaruh besar terhadap masa depan lahan gambut saat mereka menjadi pemimpin di lembaga pemerintahan, sektor swasta, dan komunitas mereka,” kata Feri Johana, koordinator proyek Peat-IMPACTS. “Dengan mendidik generasi baru hari ini, kami berharap mereka akan pendukung kebijakan, regulasi, dan aktivitas pro-gambut di masa depan.
“Anak-anak sangat bersemangat berbagi pengetahuan dari apa yang mereka pelajari, seperti cara mengidentifikasi lahan gambut, mengukur tingkat kelembapan, dan memilih tanaman yang tepat untuk dibudidayakan. Dengan begitu, mereka menyebarkan pengettahuan ini kepada keluarga dan komunitas di desa mereka, menciptakan dampak yang meluas melebihi lingkup sekolah, “tambahnya.
Sains Warga dan Berbagai Kompetisi
Saat proyek Peat-IMPACTS dimulai, telah banyak publikasi teknis dan ilmiah tentang ekosistem gambut serta paludikultur dan pertanian berbasis pohon di lahan gambut basah atau yang telah dipulihkan. Namun, yang kurang adalah materi dan strategi untuk menyampaikan pesan-pesan ini kepada audiens kunci—yaitu masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar lahan gambut.
Di Sumatra Selatan, misalnya, proyek ini membantu menerbitkan serangkaian buku cerita anak yang ditulis oleh seorang pemimpin komunitas setempat. Kini, pemerintah daerah mengadakan lombamembaca nyaring antara sekolah-sekolah yang berpartisipasi, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di lingkungan pedesaan.
Inisiatif ini juga menciptakan dua maskot yang terinspirasi oleh spesies tanaman lokal yang dinamai sesuai proyek di setiap provinsi percontohan: Gale di Kalimantan Barat dan Gaveri di Sumatra Selatan—sebuah alat tambahan untuk melibatkan anak-anak.
“Melestarikan lahan gambut membutuhkan pendekatan yang melibatkan seluruh masyarakat dan pemerintah, serta cara-cara kreatif untuk menjangkau berbagai audiens, mulai dari petani hingga pembuat kebijakan dan masyarakat umum,” kata Johana, menambahkan bahwa sains warga menjadi bagian penting dari upaya tersebut.
Proyek ini juga meluncurkan Wikigambut, sebuah ensiklopedia daring kolaboratif tentang lahan gambut. Portal ini memungkinkan para kontributor untuk berbagi informasi dan wawasan praktis tentang segala hal yang berkaitan dengan lahan gambut, menjadikannya sebagai sumber informasi yang terbuka dan dinamis yang melengkapi Upaya di sekolah dan desa.
“Lebih dari 170 kontributor kami merangkum makalah ilmiah, menulis artikel, berbagi sorotan dari seminar, dan bersama-sama menyelenggarakan berbagai kegiatan, sekaligus membangun basis pengetahuan yang inklusif,” ujar Rabbirl Yarham, Ketua Komunitas WikiGambut di Kalimantan Barat. Kontribusi berasal dari berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan tinggi, petani, dan kelompok masyarakat.
Lahan Gambut untuk Masa Depan
Diperkirakan bahwa 50% dari lahan gambut Indonesia telah rusak atau terdegradasi akibat kebakaran dan alih fungsi lahan, sehingga menciptakan urgensi untuk upaya restorasi, konservasi, dan pengelolaan berkelanjutan.
Sejak diluncurkan pada tahun 2022, uji coba kurikulum gambut telah berhasil meningkatkan pemahaman tentang ekosistem gambut di kalangan siswa, guru, sekolah dan pemerintah daerah, serta memicu perubahan kebijakan dan kesadaran sosial yang lebih besar.
“Sangat penting untuk terus mendidik masyarakat setempat tentang pentingnya lahan gambut, dimulai sejak usia dini,” kata Omief Tachliatush Sholihah, seorang guru kelas enam di provinsi Sumatra Selatan.
Para peneliti kini berharap agar kurikulum ini secara bertahap diadopsi di seluruh kabupaten di tiga provinsi percontohan dan di luar itu, untuk mengubah persepsi, sikap, dan praktik dalam melestarikan lahan gambut—beserta manfaat pentingnya—bagi generasi mendatang.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org