Laporan terbaru dari Asia-Pacific Rainforest Summit 2018
Asia-Pasifik merupakan kawasan dengan pertumbuhan tercepat, sekaligus menjadi tempat tiga kota terbesar dunia.
Kawasan ini juga memiliki 740 juta hektare hutan, 26% dari total area lahannya atau 18% dari tutupan hutan global. Lebih dari 450 juta orang bergantung pada hutan sebagai penghidupannya.
Melalui tema “Melindungi hutan dan masyarakat, menopang pertumbuhan ekonomi,” Asia-Pacific Rainforest Summit (APRS) ketiga menelaah bagaimana pembangunan ekonomi dan sosial regional lebih terintegrasi dengan tujuan perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon.
Setelah APRS pertama di Syney pada 2014 dan kedua di Brunei Darussalam pada 2016, APRS yang digelar di pusat budaya Jawa, Yogyakarta tahun ini merupakan yang terbesar. Pada 23-25 April, lebih dari 1.200 perwakilan dari akademisi, masyarakat sipil, pelaku usaha, pemerintah dan lembaga penelitian berkumpul mengikuti panel, diskusi, lokakarya dan kunjungan lapangan.
Para pemimpin kawasan ini membentuk Asia-Pacific Rainforest Partnership (APRP) dan melakukan pertemuan dua tahunan untuk turut mewujudkan tujuan global menghentikan kehilangan hutan pada 2030, mengentaskan kemiskinan melalui Sustainable Development Goals (SDGs), mengurangi emisi karbon melalui REDD+, dan perubahan iklim melalui Perjanjian Paris – sebagaimana didiskusikan panel tingkat tinggi di hari pertama.
“Sejak pertemuan di Brunei, saya senang dengan kemajuan signifikan terkait REDD+ baik secara regional maupun global,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Ausralia, Josh Frydenberg pada upacara pembukaan.
“Kita perlu menjaga momentum ini dan mempercepat perubahan jika hendak melindungi hutan dan masyarakat kita, seraya menjaga pertumbuhan ekonomi.”
Sebagai negara tuan rumah – dan didukung oleh Pemerintah Australia dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) – Indonesia mengangkat pencapaian aktualnya.
“Dalam tiga tahun terakhir, kami berhasil mengurangi laju deforestasi (tahunan) dari 1,09 juta hektare menjadi 610.000 hektare, dan pada 2017 menjadi 480.000 juta hektare,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya.
“Kami sadar bahwa hutan merupakan kontributor utama emisi karbon, terutama akibat kebakaran hutan – khususnya di lahan gambut. Hutan menyumbang 18% target reduksi emisi kami dan diharapkan berkontribusi pada lebih dari separuh target (Perjanjian Paris) kami.”
Menteri Siti Nurbaya juga memaparkan hutan kemasyarakatan dan perhutanan sosial sebagai tema utama Konferensi. Indonesia menetapkan target untuk mengalokasikan 12,7 juta hektare lahan untuk dikelola bersama masyarakat dalam lima skema perhutanan sosial. Nurbaya berharap negara lain juga turut memprioritaskan tata kelola hutan berbasis masyarakat.
Hutan kemasyarakatan menjadi salah satu sub-topik yang dibahas dalam panel ahli di hari kedua. Selain itu, dibahas pula restorasi dan manajemen lestari lahan gambut, mangrove dan karbon biru, ekowisata dan konservasi keragaman hayati, hutan produksi, serta pembiayaan hutan, investasi dan perdagangan. Fokus isu yang dibahas dirinci di bawah ini.
Kita perlu menjaga momentum ini dan mempercepat perubahan jika hendak melindungi hutan dan masyarakat, seraya menjaga pertumbuhan ekonomi
PERMODALAN SWASTA
Para pembicara dalam konferensi menyuarakan perlunya meningkatkan dukungan sektor swasta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca – dan disertai kebijakan yang dapat mendorong langkah ini.
Perusahaan-perusahaan perlu insentif – dan jaminan profitabilitas – jika dituntut menyeimbangkan aktivitas bisnis dengan perlindungan ekologi dan mendukung masyarakat lokal. Selain itu, terdapat pula kebutuhan bukti profitabilitas untuk mendorong investasi swasta dalam upaya menjaga lingkungan hidup.
Komitmen 500 juta dolar AS dari Green Climate Fund (GCF) diangkat sebagai contoh praktik-terbaik. Ikrar yang diumumkan pada Mei 2017 ini digunakan untuk mendukung usulan bisnis terpilih yang secara kreatif mampu mengatasi perubahan iklim.
Juan Chang, seorang spesialis hutan dan pemanfaatan lahan senior GCF yang menjadi pembicara Konferensi, menyatakan bahwa portofolio kehutanan dan pemanfaatan lahan GCF untuk 10 proyek di seluruh dunia yang didanai saat ini, melibatkan 2 proyek REDD+.
Dalam portofolio GCF secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari 3,7 miliar dolar AS masuk ke proyek di kawasan Asia-Pasifik.
REDD+ DAN HUTAN
APRS tahun ini digelar hampir satu dekade setelah COP13 UNFCCC di Bali melahirkan REDD (reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). REDD adalah sebuah inisiatif yang – sesuai namanya – berupaya menurunkan emisi karbon global dengan melindungi hutan tropis.
Tujuan tersebut diperluas dengan menambahkan manajemen hutan lestari dan stok karbon, untuk menjadi REDD+. Kini, REDD+ tengah menggelar sejumlah proyek pengembangan dan penelitian di kawasan ini.
Sekitar 2 miliar hektare hutan Asia-Pasifik telah terdegradasi. Para ahli menyatakan bahwa hutan produksi – seperti hutan untuk bioenergi – memiliki potensi dalam implementasi REDD+.
Namun, di sisi lain, sejumlah delegasi negara mengaku menghadapi kesulitan dalam mengelola begitu banyak faktor dalam menjalankan langkah detail seperti REDD+.
Meski Indonesia dan Papua Nugini telah memiliki dan menjalankan arsitektur REDD+, kedua negara menghadapi kendala dalam menerapkan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) emisi, serta mekanisme pembayaran berbasis-hasil.
Emma Rachmawaty, Direktur Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, menyatakan, “Kami dalam proses mengembangkan lembaga keuangan untuk mengelola pembiayaan REDD+. [Hingga lembaga itu terbentuk] kami belum bisa menjalankan pembayaran berbasis hasil untuk REDD+.”
Danae Maniatis dari Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP) menganalogikan konstruksi kerangka REDD+ sebagaimana bangunan.
“Pilar REDD+ harus benar-benar kuat di fase kesiapan,” katanya. “Jika kita punya rumah yang hanya ada atapnya saja, apakah kita akan tinggal di dalamnya? Tidak. Kita perlu kerangka ini fungsional. Jadi, tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana mengelola elemen-elemen tersebut dan membuatnya fungsional.
CARA BARU MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Mangrove dan karbon biru – karbon yang diserap dan disimpan di laut dan pesisir – menjadi topik hangat akhir-akhir ini.
“Terdapat satu ekosistem yang dekat di hati saya selama ini, melampaui seluruh isu terkait hutan, yaitu lahan gambut dan mangrove,” kata Direktur Jenderal CIFOR, Dr. Robert Nasi.
“Meski hanya bagian kecil dari keseluruhan hutan, mereka adalah ekosistem karbon terkaya di dunia – dan paling terancam. Saya hanya dapat terus mendorong dan memuji Indonesia untuk segenap upaya yang dilakukan terkait restorasi dan rehabilitasi lahan gambut dan mangrove.”
Relatif sedikit penelitian dilakukan pada ekosistem ini. Namun, serapan karbon yang masif di kawasan mangrove Indonesia – seluas 3,5 juta hektare, dan terbesar di dunia – mulai masuk dalam agenda nasional. Langkah ini berpotensi untuk berkontribusi pada komitmen negara pada Perjanjian Paris, serta menjadi dasar bagi dukungan finansial untuk masyarakat lokal melalui pembayaran jasa lingkungan (PJL).
Adakah cara lain untuk mengaitkan masyarakat lokal pada lembaga keuangan dan pasar global? Ekowisata – aktivitas rekreasi yang mendorong konservasi dan melindungi keragaman hayati.
Para panelis menyeru lembaga filantropis dan organisasi pembangunan memberi perhatian lebih pada sektor yang tengah bertumbuh ini. Dalam upaya pembangunan berkelanjutan, ekowisata adalah sebentuk kerja lapangan untuk membantu rehabilitasi lahan dan konservasi keragaman hayati, sambil mendapat keuntungan – sekecil apapun keuntungan itu.
Hal ini disuarakan pula oleh Dr. Nasi pada pidato pembukaan. Kawasan Asia-Pasifik merupakan “sebuah kawasan utama dan kawasan yang memiliki banyak kontradiksi,” dengan berbagai bentuk usaha, keragaman bentang alam, tingkat sosioekonomi dan pemerintahan.
Namun, semua yang datang pada APRS “berkumpul untuk satu alasan: karena hutan itu penting.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org