Seberapa potensial perdagangan karbon dalam bisnis mangrove?

Salah satu cara menghasilkan uang dari bisnis mangrove adalah melalui perdagangan karbon biru
Bagikan
0
Persemaian mangrove CIFOR-ICRAF di Desa Sungsang IV, Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto oleh Ricky Martin / CIFOR-ICRAF.

Bacaan terkait

Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3,39 juta hektare, dengan potensi cadangan karbon sebesar 3,14 miliar ton. Cadangan karbon ini dapat dimanfaatkan dalam bisnis mangrove dan karbon biru, khususnya untuk mendapatkan uang melalui perdagangan karbon. Pendapatan yang dihasilkan itu nantinya bisa digunakan untuk mendanai proyek restorasi dan konservasi mangrove.

Namun, seberapa pentingkah perdagangan karbon bagi bisnis mangrove? Untuk menjawab pertanyaan ini, para pemangku kepentingan di Indonesia berbagi pandangan mereka dalam sebuah dialog nasional yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Blue Carbon Deck, pada 17 Desember 2024, di Hotel Borobudur Jakarta.

Peran mangrove dalam penyerapan dan penyimpanan karbon

Daniel Murdiyarso dalam dialog nasional di Jakarta, Indonesia. Foto oleh Ricky Martin / CIFOR-ICRAF.

Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama di CIFOR-ICRAF, menjelaskan bahwa terkait iklim, mangrove punya peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Meski ekosistem mangrove menyimpan cadangan karbon yang besar, yang dapat dijual di pasar karbon, ia mewanti-wanti adanya klaim keliru bahwa mangrove menyerap lebih banyak karbon daripada jenis pohon lainnya.

“Tingkat penyerapan karbon oleh mangrove sama dengan pohon lainnya, tetapi penyimpanan karbon mangrove lebih tinggi,” kata Murdiayarso. “Yang paling menarik adalah 80% karbon di ekosistem mangrove ada di dalam tanah.”

Kondisi perdagangan karbon di Indonesia

Istiana Maftuchah, Deputi Direktur Pengawasan Bursa Karbon di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengungkapkan kondisi perdagangan karbon di Indonesia yang telah dibuka sejak 26 September 2023. Menurutnya, pasar karbon Indonesia relatif agresif dibandingkan negara-negara lain seperti Jepang dan Malaysia.

“Hingga saat ini, sudah ada 98 pengguna jasa perdagangan karbon Indonesia. Transaksinya sudah mencapai 58 miliar rupiah.” kata Maftuchah.

Yang disampaikan Maftuchah adalah perdagangan karbon secara umum, bukan spesifik karbon biru mangrove. Menurut Purwadi Soeprihanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), nilai tambah (additionality) proyek karbon biru mangrove di Indonesia kemungkinan sangat kecil.

Pasalnya, kata Soeprihanto, sebagian besar mangrove Indonesia berada di kawasan hutan lindung, dan “98% di antaranya merupakan hutan mangrove yang lebat.” Nilai tambah adalah prinsip bahwa pengurangan atau penghilangan emisi dari suatu proyek merupakan hasil langsung dari pelaksanaan proyek dan insentif finansial yang diberikan oleh kredit karbon.

Tantangan bagi inisiatif karbon biru yang dipimpin oleh komunitas

Herry Purnomo, Direktur CIFOR Indonesia dan Ilmuwan Senior di CIFOR-ICRAF, setuju bahwa menghasilkan uang dari perdagangan karbon biru itu sulit, terutama untuk model bisnis mangrove skala kecil.

“Tantangan perdagangan karbon biru itu skalanya harus besar, sementara yang dikelola masyarakat selalu skala kecil. Yang skala besar biasanya dikelola oleh perusahaan besar, oleh konglomerat. Ketika skalanya besar, masyarakat jadi terpinggirkan,”

Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menghasilkan manfaat-manfaat nonkarbon dalam mengembangkan model bisnis ekosistem mangrove berbasis masyarakat.

Sebuah studi mengestimasi nilai ekonomi dari kawasan pesisir adalah sekitar 8.000 dolar AS per hektare per tahun. Salah satu model bisnis yang dapat diciptakan adalah silvofishery—metode yang mengintegrasikan budidaya ikan dengan konservasi mangrove—dapat memberikan keberlanjutan finansial.

“8.000 dolar AS itu besar. Dan sebagian besar duitnya dari mana? Perikanan,” Purnomo menjelaskan.

Joko Prihatno, Analis Kebijakan Ahli Utama di Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), sepakat bahwa proyek mangrove harus memanfaatkan potensi ekonomi di luar perdagangan karbon. “Contohnya adalah untuk rekreasi, pangan, dan sebagainya. Ada manfaat-manfaat lainnya termasuk jasa lingkungan,” katanya.

Perdagangan Karbon

Heru Prama Yuda, Senior Partnership Manager di Earth Security, mengatakan bahwa pendapatan dari perdagangan karbon merupakan bonus dari proyek mangrove.

“Tujuan utamanya adalah adaptasi perubahan iklim: bagaimana jasa lingkungan yang dihasilkan dari mangrove itu dapat terealisasi dengan pendanaan tersebut.” Ucap Prama Yuda.

Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, berpendapat lain. Menurutnya, perdagangan karbon adalah “solusi palsu terhadap ancaman krisis iklim.” Ia yakin ada potensi greenwashing dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan karbon terbanyak di dunia untuk menggunakan perdagangan karbon ini guna menghapus dosa-dosa mereka.

“Saya belum menemukan landasan etika moral yang dapat diterima oleh akal sehat kita tentang bagaimana kita memberi lisensi kepada suatu perusahaan, kemudian perusahaan tersebut dapat merusak, mencemari, dan kemudian memengaruhi kesehatan masyarakat di suatu tempat, lalu mereka dapat mengatakan, ‘Kami telah membayar kredit karbon dan memiliki sertifikat carbon offset (tebus karbon) di Indonesia. Kami sudah merehabilitasi mangrove di Indonesia.’ Padahal perusahaan tersebut beroperasi di India, misalnya,” kata Afdillah

Para pembicara dan pemangku kepentingan berkumpul dalam dialog nasional. Foto oleh Ricky Martin / CIFOR-ICRAF.

Terlepas dari pendapat kontra atas perdagangan karbon itu, Chintya Dian Astuti, Wakil Ketua I Komite Tetap Pengendalian dan Evaluasi DAS, Hutan Lindung dan Mangrove di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), mengatakan bahwa mata dunia saat ini sedang tertuju pada Indonesia. Banyak perusahaan di dalam maupun luar negeri yang menerapakan kebijakan carbon offset dan menanti peluang proyek karbon biru yang bisa dilakukan di Indonesia. “Jadi artinya Indonesia punya potensi yang sangat tinggi terhadap ekosistem restorasi mangrove untuk menuju perdagangan karbon,” katanya.

Purnomo mengapresiasi setiap perbedaan pendapat yang muncul dalam dialog ini, sejalan dengan harapannya. Sesuai dengan asal katanya di Yunani, Purnomo menjelaskan, ‘dialog’ berarti saling bertukar gagasan. Ia menyimpulkan bahwa kita harus memanfaatkan setiap sumber daya yang ada untuk merestorasi dan melestarikan mangrove demi menyelamatkan bumi dan manusia yang hidup di dalamnya, termasuk menggunakan sumber daya dari perusahaan-perusahaan yang bersedia membeli kredit karbon untuk mendanai proyek mangrove. Namun, uang yang diperoleh dari perdagangan karbon itu hanyalah bonus. Yang terpenting, kata Purnomo, bisnis mangrove dapat memberikan banyak manfaat. “Tidak hanya menyerap CO2,” tegasnya, “tetapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org