
Proyek-proyek berbasis mangrove sedang berkembang pesat di Indonesia, rumah bagi 21% mangrove dunia. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa proyek tersebut tidak hanya memitigasi perubahan iklim tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat dan beroperasi secara berkelanjutan?
Dalam sebuah dialog nasional yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Blue Carbon Deck, pada 17 Desember 2024, di Hotel Borobudur Jakarta, para pemimpin dari berbagai sektor berkumpul untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam mengembangkan model bisnis mangrove. Robert Nasi, Direktur Jenderal CIFOR and Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF, menekankan pentingnya menyeimbangkan aspek ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan.
“Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana kita dapat mengembangkan model bisnis yang menggabungkan semua aspek ini tanpa mengorbankan yang satu demi yang lainnya,” kata Nasi.
Tantangan dalam pengembangan model bisnis mangrove
Mengembangkan model bisnis mangrove yang berkelanjutan menghadirkan banyak tantangan. Menurut Nasi, kesulitan utamanya terletak pada upaya menyeimbangkan konservasi ekologi, kebutuhan ekonomi, dan pemanfaatan berkelanjutan seraya memastikan keterlibatan masyarakat setempat.
“Bagaimana kita mengatasi kompleksitas ekologi, konservasi, kelayakan ekonomi, dan keterlibatan masyarakat? Ini bukan teka-teki yang mudah dipecahkan, tetapi saya yakin kita bisa membuat kemajuan yang signifikan dan mencapai hasil nyata di lapangan,” ucap Nasi.

Robert Nasi dalam dialog nasional untuk membahas model bisnis bagi usaha mangrove dan karbon biru, khususnya di Indonesia. Foto oleh Ricky Martin / CIFOR-ICRAF
Peran masyarakat setempat
Masyarakat setempat berperan penting dalam memastikan keberlanjutan model bisnis mangrove. Andes Hamuraby Rozak, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan di BRIN, menekankan bahwa masyarakat adalah “aktor utama dalam kegiatan-kegiatan terkait mangrove,” yang meliputi restorasi, konservasi, dan ekowisata.
“Sebagai ilmuwan, kami menyediakan teknologinya. Kami mengeksplorasi peluang penggunaan teknologi restorasi dan menilai kelayakannya,” jelas Rozak.
Rozak juga menekankan perlunya pemanfaatan berkelanjutan di samping konservasi. Penelitian dapat membantu mengidentifikasi cara baru memanfaatkan hutan mangrove, termasuk potensi khasiat obatnya.
“Beberapa spesies mangrove mungkin mengandung senyawa aktif dengan sifat antikanker,” kata Rozak. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki peluang-peluang ini dan meningkatkan nilai ekonominya. Senada dengan itu, Meti Ekayani, Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi.
“Kita bisa hitung berbagai fungsi mangrove dengan menggunakan valuasi ekonomi dan bisa kita konversikan ke nilai ekonomi, tetapi itu masih nilai potensial. Sekarang tugas kita adalah mengubah nilai potensial itu menjadi nilai riil,” katanya.
Membangun kepercayaan dan penghidupan yang berkelanjutan
Bambang Suprayogi, CEO Yayasan Gajah Sumatera, berbagi pengalamannya dalam mengembangkan model bisnis mangrove sehingga bisa menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat. “Berdasarkan pengalaman kami, bisnis mangrove harus berjalan minimal tiga tahun sebelum mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat setempat,” katanya.
“Kami sudah melakukan restorasi mangrove sejak 2005, pasca tsunami Aceh. Jadi, ada dua sisi: satu untuk kepentingan karbon, satu lagi untuk kepentingan masyarakat,” jelas Suprayogi. “Namun, intinya adalah kita perlu bersosialisasi dengan masyarakat; karbon hanyalah bonus. Yang terpenting adalah meningkatkan penghidupan masyarakat.”
Beni Okarda, Peneliti Senior dan Anggota Tim Proyek SMART di CIFOR-ICRAF, juga berbagi pengalamannya dalam mengelola model bisnis mangrove di Banyuasin, Sumatera Selatan. Berbagai model bisnis yang terbentuk merupakan hasil dari partisipasi masyarakat setempat.
“Model bisnis mangrove yang ideal sangat bergantung pada lokasinya dan masyarakatnya itu sendiri karena merekalah yang coba kami bangun,” kata Okarda. “Dalam riset yang kami lakukan, kami menyebutnya Riset Aksi Partisipatif, kami mencoba menggali ide-ide dari masyarakat berdasarkan keadaan dan kemampuan mereka.”
Sebagai contoh, model bisnis mangrove yang dibangun di Desa Sungsang IV, Banyuasin, meliputi pembibitan dan penjualan bibit mangrove, kegiatan ekowisata dan eduwisata, adopsi pohon mangrove, dan pengolahan buah mangrove menjadi makanan dan sabun cair. Di desa tetangga, Marga Sungsang, bisnis terkait mangrove yang sedang berkembang adalah wanamina kepiting.

Acara ini merupakan bagian dari Penelitian Aksi CIFOR-ICRAF tentang Pengembangan Model Bisnis Berbasis Masyarakat untuk Restorasi Mangrove di Sumatera Selatan, bekerja sama dengan Temasek Foundation. Foto oleh Ricky Martin / CIFOR-ICRAF.
Romi Adi Candra, Kepala Desa Sungsang IV, mengatakan, “Pertama kali kami menjaga mangrove ini, alasan kami cuma agar hutan kami jangan sampai dibuka demi kelestarian lingkungan.”
Namun kegiatan konservasi mereka berkembang sehingga terbentuklah Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa (LDPHD) Sungsang IV.
“Akhirnya di tahun 2023 kemarin, kami memperoleh izin perhutanan sosial seluas 553 hektare,” imbuhnya. Berkat kegiatan penelitian, penanaman, ekowisata, dan eduwisata terkait mangrove, jumlah pengunjung Sungsang IV meningkat. Pada tahun 2024, jumlah pengunjung kawasan ekowisata dan eduwisata mangrove mencapai lebih dari 1.000 orang dan turut memberi pemasukan bagi UMKM-UMKM setempat.
“Akhirnya di tahun 2023 kemarin, kami memperoleh izin perhutanan sosial seluas 553 hektare,” imbuhnya. Berkat kegiatan penelitian, penanaman, ekowisata, dan eduwisata terkait mangrove, jumlah pengunjung Sungsang IV meningkat. Pada tahun 2024, jumlah pengunjung kawasan ekowisata dan eduwisata mangrove mencapai lebih dari 1.000 orang dan turut memberi pemasukan bagi UMKM-UMKM setempat.
“Kami berkesempatan mengunjungi lokasi proyek dan sangat tersentuh oleh dedikasi semua mitra, termasuk masyarakat setempat. Kami yakin bahwa data dari proyek ini, seperti biaya dan manfaatnya, akan memberikan wawasan berharga untuk inisiatif lain di masa mendatang dan menyoroti skalabilitas serta dampaknya bagi para pemangku kepentingan lainnya,” kata Kumar.
Catur Endah Prasetiani, Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan hingga saat ini, sudah ada 385.064 hektare hutan mangrove Indonesia yang dikelola masyarakat dalam bentuk izin perhutanan sosial. “Ada 375 kelompok perhutanan sosial yang mengelola hutan mangrove tersebut,” katanya. “Kami memastikan masyarakat menjaga hutan tersebut. Jadi, dari 385.064 hektare hutan mangrove tersebut, harapannya tutupan hutan mangrove di wilayah tersebut tetap terjaga.”
Herry Purnomo, Direktur CIFOR Indonesia dan Ilmuwan Senior di CIFOR-ICRAF, menggarisbawahi bahwa model bisnis mangrove yang ideal adalah yang memberikan banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Misalnya, di Banyuasin, masyarakat setempat dapat memperoleh manfaat dari kegiatan wanamina, kegiatan pariwisata, dan kegiatan lainnya. Model bisnis mangrove ini juga berpotensi menghasilkan uang dari perdagangan karbon biru jika masyarakat dapat menjualnya. Namun, Purnomo memberi catatan, “Sangat penting untuk melihat kemampuan para aktor utama tersebut.”
Acknowledgement
Acara dialog ini merupakan bagian dari riset aksi Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART), sebuah proyek kemitraan dengan Temasek Foundation.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org