Bagikan
0

Bacaan terkait

Hujan yang ditunggu akhirnya datang di beberapa wilayah di Indonesia yang mengalami kebakaran hutan dan lahan. Hujan melepaskan kekhawatiran di lokasi yang sebelumnya diselimuti asap beracun. Seperti biasanya, pasca masa kebakaran berakhir, perhatian dunia lalu beralih pada industri kelapa sawit.

Mempersiapkan lahan dengan membakar memang lebih murah dibanding cara-cara lain, menjadinnya sebagai metode utama. Namun, ketika tidak dilakukan dalam kondisi terkendali, praktik pembakaran memicu masalah. Di Indonesia, menurut angka dari pemerintah, kawasan yang terbakar tahun ini relatif lebih rendah, sekitar 328.772 hektare, dibanding 2,6 juta hektare pada 2015.

Malaysia dan Indonesia memasok 85% produksi kelapa sawit global, melalui korporasi swasta, perusahaan milik negara dan petani. Kini, Indonesia memiliki 14 juta hektare lahan budi daya kelapa sawit, mengoperasikan lebih dari 715 pabrik dan 106 penyulingan. Komoditas ini memberi kontribusi pada ekspor senilai 23 miliar dolar AS pada 2017. Jutaan pemangku kepentingan membudidayakan kelapa sawit, dan mempekerjakan sekitar 8 juta orang.

Praktik pengembangan lahan tak berkelanjutan 

Praktik pengembangan lahan tak berkelanjutan menjadi ancaman bagi ekonomi dan lingkungan hidup Indonesia

“Keberlanjutan bukan pilihan, tapi keharusan,” kata Herry Purnomo, ilmuwan senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), menjelaskan bahwa konsep berkelanjutan tertulis dalam konstitusi Indonesia. Pasal 33 ayat 4 secara khusus menggarisbawahi peran keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Purnomo menyatakan, isu lingkungan hidup akan terus berkembang dan menjadi penting seiring dengan perkembangan industri kelapa sawit.

Pembangunan berkelanjutan industri kelapa sawit, menurut Purnomo merupakan peluang bagi produsen Indonesia untuk lebih bisa bersaing. “Kita perlu membuktikan bahwa kita mampu mengembangkan kelapa sawit secara berkelanjutan sejalan dengan standar kelapa sawit seperti ISPO, RSPO dan ISCC,” katanya, merujuk beberapa sertifikasi keberlanjutan kelapa sawit.

Beberapa perusahaan di Indonesia telah membuat komitmen untuk produksi berkelanjutan, “Bebas Deforestasi, Bebas Gambut, dan Bebas Eksploitasi (NDPE). “Isu lingkungan hidup masa depan bisa seperti saat kita melakukan praktik agama,” kata Purnomo. “Kita sudah melihat tren ini di Eropa.”

   Kebijakan, perdagangan global dan perspektif konsumen kelapa sawit Indonesia. Ricky Martin/CIFOR

Dampak industri pada lingkungan hidup 

Pedoman Energi Terbarukan Uni Eropa yang  menghapus penggunaan kelapa sawit sebagai biofuel pada 2030 memberi tekanan pada produsen kelapa sawit Indonesia dan Malaysia. Menurut Michael Bucki, Konsul Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup, Delegasi Uni Eropa ke Indonesia dan Brunei Darussalam, masyarakat menginginkan keberlanjutan. “Kebijakan ini tidak hanya untuk kelapa sawit saja,” katanya. Bucki menambahkan, UE terbuka untuk  mempertimbangkan kembali kebijakan ini, namun “penurunan nyata deforestasi adalah pesan utamanya.”

Pemerintah Indonesia telah bergerak menyempurnakan tata kelola sektor kelapa sawit, antara lain melalui keputusan moratorium izin baru perkebunan pada 2018. Menurut Purnomo, opsi kebijakan manajemen perkebunan kelapa sawit juga sedang dijajaki.

“Peningkatan produktivitas bisa memberikan kompensasi moratorium ekspansi perkebunan,” katanya. “Perusakan gambut  dari perkebunan dalam dapat terganti dengan penanaman di tanah mineral.

Reforma agraria di Indonesia akan mendorong petani menjadi aktor utama produksi buah sawit,” tambahnya, merujuk pada reformasi tenurial lahan inisiatif pemerintah.

Peran petani

Ilmuwan utama CIFOR dan ketua tim riset Value Chains, Finance and Investment (VFI), Michael Brady menyatakan, meski lebih dari 40 persen perkebunan kelapa sawit dikelola oleh petani, “tantangan besarnya adalah membuat petani tetap untung ketika terjadi fluktuasi harga, biaya modal dan transportasi yang tinggi, dan kurangnya pengalaman pertanian.”

Timbal balik lain antara keamanan pangan dan nutrisi juga diharapkan. “Di balik keuntungan finansial petani juga ada terkorbankan,” kata Brady. “Mereka kehilangan akses pada pangan liar dan makin tergantung pada pangan olahan.”

Salah satu solusi masalah ini, menurut Brady, adalah bagaimana mengakses dana kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitas petani dalam produksi kelapa sawit. Pada 2014, pemerintah Indonesia membentuk fasilitas pendanaan, mengumpulkan dana dari ekspor kelapa sawit dan memanfaatkannya untuk menyempurnakan berbagai aspek dalam sektor ini. Saat ini, sebagian besar dana didistribusikan untuk produsen besar.

Tim ilmuwan CIFOR mengembangkan penelitian manajemen bentang alam paling ekstensif sepanjang sejarah di Indonesia – menganalisis lebih dari 400.000 kilometer persegi lahan di Kalimantan Barat di Kalimantan. Penelitian ini akan menghasilkan peta vegetasi ekologi skala besar yang mencakup keseluruhan provinsi.

   Seorang peserta berdialog dengan panelis pada Dialog Kebijakan – Mewujudkan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia. Ricky Martin/CIFOR

Yves Laumonier,  ilmuwan senior CIFOR/CIRAD yang memimpin tim riset mengatakan, ia menyaksikan keragaman hayati yang makin menurun, tidak hanya pada kelapa sawit, tetapi pada seluruh perkebunan monokultur. Banyak hutan terfragmentasi akibat pembangunan perkebunan. Konservasi menjadi penting bukan hanya untuk perusahaan besar, tetapi bagi petani.

Kelapa sawit berkelanjutan adalah keniscayaan. “Masalahnya bukan pada tanaman itu sendiri, tetapi lebih pada di mana dan bagaimana manusia menanam dan membudidayakannya,” kata Purnomo. “Kelapa sawit tidak boleh menggantikan hutan primer atau taman nasional.”

Kampanye melawan perdagangan kayu tidak berkelanjutan muncul beberapa dekade lalu. Konflik ini teratasi melalui kolaborasi Indonesia – EU yang menelurkan lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).

“Saya tidak melihat ada alasan mengapa kita tidak bisa melakukan hal serupa untuk kelapa sawit,” kata Purnomo. “’Keberlanjutan sebagai keunggulan’ kelapa sawit adalah jalan yang harus ditempuh.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org