Perangkat baru menunjukkan deforestasi terkait kelapa sawit di Borneo menurun
Mari menyambut “kabar baik” bagi stok karbon dan keragaman hayati bumi. Pengorbanan hutan rimba untuk perkebunan kelapa sawit di Borneo terlacak mengalami penurunan sejak masa puncak pada 2012.
Kabar ini merujuk pada Atlas Borneo, sebuah perangkat baru yang mengkombinasikan data satelit tahunan sejak 18 tahun lalu dengan informasi kepemilikan lahan. Atlas ini menyajikan gambaran jernih hubungan antara deforestasi dan pengembangan perkebunan kelapa sawit dan pulp industrial di Borneo yang dihuni Indonesia, Malaysia dan Brunei.
Web atlas terbuka yang dikembangkan oleh para ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) ini bisa memberi implikasi signifikan bagi perusahaan dan pemerintah yang beroperasi di dalam dan sekitar hutan rimba yang tersisa di bumi.
Sudah lama diketahui bahwa budi daya kelapa sawit dan pulp harus dilepaskan dari deforestasi di hutan tropis, di mana produsen besar kelapa sawit beroperasi untuk dapat melestarikan fungsi hutan sebagai serapan karbon dan titik keragaman hayati yang sangat penting. Namun, di lapangan – khususnya di wilayah terpencil – menjadi tantangan untuk memastikan lokasi deforestasi, serta apa dan siapa yang benar-benar melakukannya.
Kini, semua orang bisa masuk ke atlas dan dalam hitungan detik bisa melihat bagaimana, kapan dan perkebunan mana yang melakukan ekspansi di Borneo dan di bawah pengawasan siapa.
“Atlas Borneo ini memberi informasi pada jari penggunanya,” kata David Gaveau, ilmuwan CIFOR yang mengepalai proyek ini. “Animasi serial waktu interaktif mengubah data menjadi peta hidup yang membuat Anda melihat dinamika perubahan tutupan lahan di manapun di Borneo dalam 18 tahun terakhir.”
Memanfaatkan data Atlas, para ilmuwan sudah bisa menyatakan, bahwa meski laju deforestasi tahunan mengalami puncak pada 2016, penebangan untuk perkebunan menurun pada periode 2012-2018. Penurunan ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain turunnya harga kelapa sawit, moratorium perkebunan kelapa sawit dan pulp, serta konversi lahan gambut di Indonesia.
Menurut Gaveau, meski ada sejumlah perangkat berbasis satelit lain untuk memantau secara langsung (real-time), “nilai tambah perangkat ini adalah perubahan tahunan historis mengaitkan kehilangan hutan dengan ekspansi perkebunan.”
Pengguna bisa melacak aksi perusahaan tertentu dalam serial waktu, dan memeriksa apakah mereka menebangi kawasan baru untuk mendirikan perkebunan, atau menanami lahan yang sudah terdeforestasi karena alasan lain. Hal ini menjadikan Atlas sebagai perangkat yang kuat dalam memantau aktivitas perusahaan, dan bagaimana kesesuaian dalam laporan mereka.
Kelebihan ini menjadi alasan, mengapa perangkat ini terbukti populer di lembaga pemerintah tingkat provinsi maupun pusat.
“Sebagai sebuah perangkat pemantauan, atlas ini sangat berguna,” kata Sasmita Nugroho dari Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan dan Kebijakan Sektor. “Atlas ini dapat membantu mendeteksi [insiden] dengan cepat, sebelum langkah lebih jauh diambil. Ini menjadi perangkat pendukung terpercaya pada sistem resmi kami.”
“Mereka suka karena mampu memberi informasi yang tidak ada di manapun,” kata Agus Salim, salah seorang pengembang atlas. Ia menambahkan, lembaga pemeritnah seringkali bergantung pada laporan perusahaan dalam melacak ekspansi perkebunan. “Mereka tidak memiliki cara memverifikasi secara mandiri apakah angka ini benar atau tidak, dan dengan ini kita bisa melakukannya sangat mudah,” katanya.
Perangkat ini juga memungkinkan perusahaan menjawab tingginya tuntutan pasar nol-deforestasi terkait rencana pemulihan dan restorasi sebagai kompensasi deforestasi sebelumnya, sejalan dengan moratorium pembersihan lahan di masa depan.
“Mengingat data bersifat historis dan tahunan, alat ini bisa digunakan untuk menghitung jejak deforestasi masa lalu perusahaan – dan waktu peristiwa deforestasi – secara presisi,” kata Gaveau. “Data tersebut dapat digunakan untuk menghitung luasan dan besaran remediasi dan skema kompensasi.”
Syarat dan ketentuan berlaku. “Selalu ada kesalahan dalam data,” kata Gaveau, dan CIFOR tidak bertanggungjawab atas aksi yang bersumber dari informasi dalam atlas, meski peta ini jelas dapat menunjukkan kawasan tertentu untuk investigasi lebih lanjut. Bahkan, Atlas Borneo telah mampu mengungkap area perkebunan yang merambah kawasan lindung.
Secara umum, menurut Gaveau, terdapat harapan yang tinggi bahwa proyek ini akan mendorong tata kelola hutan, lahan gambut dan perkebunan dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan perkebunan dan penebangan.
Sejumlah lembaga nasional pemerintah Indonesia menyatakan ketertarikan mengembangkan produk serupa untuk pulau Sumatra. Sumatera memproduksi sebagian besar kelapa sawit di negeri itu, selain juga simpul utama perkebunan akasia pulp.
Di luar itu, para peneliti berharap, kapasitas tingkat tinggi pemantauan dan akuntabilitas ini akan menjadi “hal biasa” bagi konservasi dan pembangunan perkebunan pada tahun-tahun mendatang.
Lebih Fokus Pada Ekologi Borneo
Apakah laju deforestasi di pulau Kalimantan melambat?
Peta baru untuk melacak rantai suplai sawit di Kalimantan
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org