Berita

Antara gula dan hutan

Membuka lebih banyak perkebunan tebu dapat mendukung ketahanan pangan, namun cukup beresiko terhadap kelestarian hutan
Bagikan
0
Perkebunan tebu di Jawa Timur. Tebu merupakan satu dari empat komoditas utama ketahanan pangan nasional. Paul Arps

Bacaan terkait

Di saat perhatian global masih tertuju pada minyak sawit dan penebangan kayu illegal sebagai penyebab utama deforestasi, para peneliti memberikan peringatan tentang ancaman baru dari perkebunan tebu.

Sektor perkebunan tebu merupakan suatu “program besar hasil rekayasa pemerintah,” menurut sebuah penelitian terbaru – program tersebut, jika dikembangkan besar-besaran, dapat mengakibatkan hilangnya lahan hutan dan merusak tujuan Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Sebagai bagian dari program ketahanan pangan nasional, pemerintah tengah merubah peruntukan lahan lebih dari 1 juta hektar hutan tropis menjadi perkebunan tebu.

“Peruntukan jutaan hektar untuk perkebunan tebu ini cukup mengejutkan,” kata Sophia Gnych, konsultan penelitian yang bekerja dalam riset ini dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

“Perluasan lahan ini membuka kemungkinan terjadinya potensi konflik dengan masyarakat lokal, memberikan dampak luas terhadap keanekaragaman hayati, dan emisi karbon.”

INVESTASI MANIS

Budidaya komersil tanaman tebu bukan merupakan hal baru bagi Indonesia. Perkebunan tebu pertama kali didirikan oleh pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1830, sebagian besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada tahun 1930-an, Indonesia merupakan produsen gula terbesar kedua di dunia dan eksportir bersih. Namun seiring dengan pergantian abad – akibat liberalisasi produksi gula dan kebijakan perdagangan kebijakan – keadaan mulai terasa sulit.

Saat ini, Indonesia mengalami defisit kurang lebih 3 juta metrik ton gula per tahun.

Kondisi ini nampaknya akan berubah, seiring  dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi tebu dalam kerangka swasembada pangan. Gula merupakan satu dari empat jantung komoditas utama program ketahanan pangan bersama-sama dengan beras, jagung dan daging sapi.

Pada tahun 2011, Indonesia memiliki 457.000 hektar perkebunan tebu dan akan meningkat signifikan bila rencana pemerintah untuk memperluas lahan di luar Jawa (sebagai hub produksi) akan tetap dijalankan, menurut para peneliti.

Pemerintah telah mengembangkan kebijakan preferensial untuk meningkatkan produksi. Dan pada tahun 2010, hukum yang telah disahkan memungkinkan konsesi perkebunan tebu hingga 150.000 hektar – lebih dari tiga kali lebih luas dari luasan maksimal yang diperbolehkan untuk komoditas lain-lain, menurut penelitian ini.

Di Papua, daerah maksimum perkebunan tebu telah ditetapkan yaitu seluas 300.000 hektar, penulis mengatakan.

Perkebunan tebu juga dibebaskan dari Moratorium Konservasi Hutan Indonesia. Moratorium ini, yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011, adalah bagian penting dalam rencana pemerintah untuk mengurangi emisi  – lebih dari 80% gas rumah kaca negara disebabkan oleh deforestasi dan konversi lahan.

Dengan pengecualian di tempat, menurut penulis laporan, lebih dari satu juta hektar hutan – kira-kira sama luasnya dengan negara Jamaika – telah ditandai untuk dikonversi menjadi perkebunan tebu.

Menurut Sophia Gnych, tingkat dan ukuran perkebunan yang diusulkan “jauh lebih besar dibandingkan dengan komoditas lain”.

“Hal ini merupakan pancingan insentif untuk investor,” katanya. “Guna menarik investor untuk benar-benar mengembangkan infrastruktur dan fasilitas pengolahan yang dibutuhkan perkebunan di daerah-daerah, insentif besar perlu ada.”

SEDIKIT KEPAHITAN

Area utama yang ditargetkan untuk ekspansi adalah bagian selatan provinsi Papua dan Kepulauan Aru di provinsi Maluku.

Kedua wilayah ini termasuk dalam lahan besar hutan tropis primer dan sekunder, dan rumah bagi keanekaragaman hayati endemik dan spesies yang rentan.

Studi ini memperingatkan bahwa keanekaragaman hayati akan terancam oleh konversi, serta klaim tanah adat. Termasuk pelepasan sejumlah besar karbon ke atmosfer.

Secara kumulatif, pembukaan perkebunan tebu di daerah-daerah akan meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia (GRK) akibat perubahan penggunaan lahan dan kehutanan sebesar 20 persen, secara efektif meniadakan upaya dan kemajuan REDD + di provinsi yang lain.

Sophia Gnych

Menggunakan Pedoman IPCC untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, riset ini memperkirakan bahwa pembangunan perkebunan tebu di kepulauan Aru dapat mengakibatkan pelepasan 106.274.212 ton CO2 ke atmosfer, sementara di Papua volume kehilangan karbon bersih mungkin mencapai 19.217.775 ton CO2.

“Secara kumulatif, pembukaan perkebunan tebu di daerah-daerah akan meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia (GRK) akibat perubahan penggunaan lahan dan kehutanan sebesar 20 persen, secara efektif meniadakan upaya dan kemajuan REDD + di provinsi yang lain,” studi menyimpulkan .

PEMANIS ALTERNATIF

Namun, penulis mengatakan ada banyak kesempatan untuk meningkatkan produksi gula tanpa memperluas perkebunan tebu.

Salah satunya adalah saran untuk melakukan revisi izin perkebunan yang ada dan perbaikan rencana tata ruang dengan memperkuat status hukum petani kecil. Petani kecil mendominasi produksi di Indonesia, namun banyak perkebunan rakyat yang terletak di tanah yang tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional.

Sophia Gnych mengatakan, kurangnya kejelasan hukum membuat sulit bagi para petani untuk mengakses pinjaman/kredit. Hal ini juga membuat mereka cenderung kurang turut serta dalam pembangunan kapasitas.

Meningkatkan produktivitas petani kecil, atau intensifikasi berkelanjutan, juga dianjurkan dalam penelitian ini.

Penanaman kembali dengan varietas bibit unggul – yang dapat menghasilkan hasil panen tinggi, berinvestasi dalam infrastruktur transportasi dan pembangunan pabrik baru kemungkinan akan menghasilkan “keuntungan yang signifikan” dalam produksi, menurut penelitian ini.

Menurut Sophia Gnych, ada kesejajaran dengan komoditas pertanian lainnya yang diproduksi di Indonesia, termasuk kelapa sawit.

Banyak tantangan, seperti meningkatkan efisiensi dan hasil pada lahan yang sudah di bawah produksi, adalah tema umum.

“Ini merupakan sesuatu yang Anda dengar berulang kali: sudah ada lahan yang sedang dikembangkan, atau terdegradasi dan kami harus mencari cara untuk mengembangkan itu dan meningkatkan hasil bagi para petani untuk memenuhi permintaan pasar,” katanya.

“Namun tantangan utama terletak pada peningkatan kapasitas, akses pembiayaan, dan kejelasan tentang siapa pihak yang berwenang akan hal-hal tersebut.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Sophia Gnych di S.Gnych@cgiar.org..
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi Kelapa sawit

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi or Kelapa sawit

Lihat semua