Bagikan
0

Bacaan terkait

Dulu, masih ada ratusan ribu orangutan menjelajah pulau Kalimantan. Tetapi dalam beberapa dekade terakhir – saat gergaji mesin dan traktor menggunduli jutaan hektar hutan perawan – jumlah kera besar ini menyusut.

Sebuah penelitian terbaru mengungkap betapa mengkhawatirkan laju penyusutan itu.  Dalam 16 tahun saja, para peneliti menemukan bahwa separuh populasi spesies kategori kritis ini menghilang. Estimasi menyatakan, hanya tersisa 70.000 individu saja di pulau itu.

“Estimasi kami, 148.500 orangutan menghilang dari Kalimantan antara 1999 hingga 2015,” kata Maria Voigt, ilmuwan German Centre for Integrative Biodiversity Research, yang menjadi penulis utama penelitian ini.

“Salah satu alasan orangutan sangat rentan, adalah karena kenyataan bahwa reproduksi mereka sangat lambat, melahirkan sekali tiap enam atau delapan tahun, dan umumnya hanya satu. Kehilangan orangutan relatif kecil saja bisa berdampak besar pada keselamatan spesies ini.”

Voigt adalah salah satu dari 41 peneliti yang berkontribusi pada penelitian yang menggunakan survei pengumpulan data lapangan dan helikopter untuk mengidentifikasi sarang orangutan. Pendekatan pemodelan rumit digabung dengan pengetahuan mengenai habitat dan ancaman terhadap orangutan digunakan untuk melakukan estimasi jumlah orangutan tersisa.

Penelitian ini juga menelisik ukuran populasi orangutan.

“Orangutan lebih berpeluang selamat jika mereka hidup dalam populasi lebih dari 100,” kata Voigt. “Dari 64 populasi yang diidentifikasi para ahli di Kalimantan, hanya 38 yang cukup besar untuk selamat.”

 

   A female Bornean orangutan with her offspring. HUTAN/KOPC Photo

Dari 64 populasi yang diidentifikasi para ahli di Kalimantan, hanya 38 yang cukup besar untuk bisa selamat

Maria Voigt, ilmuwan German Centre for Integrative Biodiversity Research

SEMUA BERAWAL DARI RUMAH

Kehilangan orangutan berawal dari kehilangan habitat, yang merupakan dampak langsung dari meningkatnya permintaan sumber alam global.

Untuk lebih memahami kehilangan habitat, tim peneliti memanfaatkan sebuah peta interaktif Kalimantan yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internsional (CIFOR). Peta ini mengukur perubahan bentang alam dengan menunjukkan dampak kebakaran, tanaman industri dan penebangan selama 40 tahun. Lebih jauh lagi, peta ini mengidentifikasi  perusahaan mana yang beroperasi dalam kawasan tertentu dan seberapa cepat hutan dikonversi.

Penelitian menemukan bahwa dalam periode 16 tahun, separuh populasi orangutan di pulau tersebut terdampak oleh penebangan, deforestasi atau perkebunan.

“Dalam penelitian terdahulu kami menghitung, Kalimantan telah kehilangan 6,3 juta hektare hutan tua – 15% dari total tutupan hutan – sejak 2000,” kata ilmuwan CIFOR, David Gaveau, dan salah seorang penulis penelitian ini.

Kepadatan populasi orangutan lebih rendah di area terdeforestasi – namun yang mengejutkan, banyak orangutan menghilang dari kawasan berhutan. Karena tidak ada dukungan untuk penjelasan alternatif seperti kematian akibat infeksi atau penyakit, Voigt menyatakan, bahwa fakta ini menunjukkan bahwa orangutan dibunuh. Ketika habitat alaminya menyusut, orangutan sering menjadi sasaran ketika mereka mencari makan di desa.

“Pembunuhan akibat konflik di masyarakat dan  perburuan, menjadi penyebab utama penurunan jumlah orangutan,” kata penulis lain, Erik Meijaard, Direktur inisiatif penelitian Borneo Futures dan kepala satuan tugas kelapa sawit International Union for Conservation of Nature.

“Setelah berbincang dengan para pemburu, kami menemukan bahwa sebagian besar umumnya berburu babi liar dan rusa untuk makanan. Namun, jika tidak beruntung dan bertemu orangutan, mereka bisa saja membunuhnya.”

Membunuh orangutan betina subur juga menjadi ancaman utama keberlangsungan spesies ini. Misalnya ketika induk dibunuh dan bayinya dijual ke perdagangan satwa ilegal. Meski pembunuhan orangutan itu ilegal di Indonesia dan Malaysia, praktik ini masih ada – terutama di kawasan terpencil.

“Hukum Indonesia dan Malaysia seharusnya tidak hanya menyebutkan bahwa kera ‘bukan sekadar sesuatu’, tetapi ‘individu legal’ yang memiliki hak untuk hidup,” kata Gaveau. “Sanksi membunuh orangutan seharusnya lebih berat, dan ditegakkan.”

   A female orangutan on the tracks. Serge Wich

BERADAPTASI DAN BERTINDAK

Meski hasil keseluruhan penelitian ini memicu kekhawatiran, beberapa aspek positif muncul. Jumlah orangutan relatif stabil di wilayah Kalimantan-Malaysia, dan dalam lokasi konservasi besar di wilayah Indonesia.

Para peneliti juga menemukan bahwa orangutan ternyata sedikit lebih mampu beradaptasi pada perubahan habitat dibanding dugaan sebelumnya. Mereka mampu melakukan perjalanan jauh dengan berjalan atau berayun di pohon.

“Kami juga menemukan, meski orangutan bergantung pada pangan hutan seperti buah, daun dan serangga, mereka dapat mengadaptasi diet dengan mengkonsumsi kelapa sawit dan akasia,” kata Voigt.

“Selama mereka tidak diburu, terungkap dari penelitian bahwa orangutan berpeluang selamat dalam bentang alam terfragmentasi selama ada hutan tersisa dan dilindung.”

Meskipun, ia menambahkan bahwa bukti jangka panjang masih kurang, dan temuan ini seharusnya tidak digunakan untuk mengabaikan masalah degradasi.

Pembunuhan akibat konflik di masyarakat dan perburuan, menjadi penyebab utama penurunan jumlah orangutan

Erik Meijaard, Direktur inisiatif Borneo Futures

 

Ada upaya membalikkan hitung mundur ini. Pemerintah di Malaysia maupun Indonesia berencana mensertifikasi sawit agar lestari pada 2025 – dan ini berarti memformalkan kebijakan nol-pembunuhan.

Kalimantan telah lama menjadi simpul aktivitas perlindungan orangutan, dengan fokus pada penyelamatan dan rehabilitasi. Namun para peneliti menyatakan upaya ini tidak cukup.

“Seperti tetes air di lautan,” kata Meijaard. “Jika kita ingin menyelamatkan spesies ini, kita perlu strategi besar. Strategi yang menjawab penyebab mendasarnya.”

Meijaard menyatakan bahwa penyebabnya tidak hitam-putih. Selama ini, segala sesuatunya ditudingkan pada pemburu dan penduduk desa hingga kelapa sawit, perubahan iklim, penebangan dan perdagangan satwa ilegal.

“Jika kita ingin menyelamatkan orangutan, kita perlu proses lebih transparan – rencana dengan tahapan dan tujuan yang jelas,” kata Meijaard. “Harus ada komitmen lebih kuat dari pemerintah, kesadaran masyarakat, dan keterlibatan sektor swasta.”

“Kita perlu meningkatkan kesadaran publik mengenai menghilangnya orangutan, dan penelitian seperti ini bisa membantu itu,” kata Gaveau.

Riset ini didukung oleh the Max Planck Society and the Robert Bosch Foundation.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org