Bagikan
0

Bacaan terkait

Pada awal “demam gaharu”, ratusan migran menembus hingga kedalaman Kalimantan Utara, Indonesia. Ada uang yang terjanji.

Gaharu – batang pohon Aquilaria yang harum dan mengeluarkan getah akibat infeksi jamur – sangat diminati sebagai pengharum di Timur Tengah dan obat di Tiongkok. Pada 2018, kepingan kecil gaharu dijual seharga 7 dolar AS per kilogram di sejumlah negara, dan spesimen terbaik bisa bernilai jutaan.

Ketika harga gaharu melambung pada 1990-an, masyarakat menyerbu hutan terpencil Apo Kayan – bagian dari suku Dayak Kalimantan – dengan harapan menghasilkan uang. Tidak hanya pendatang, ratusan masyarakat Dayak kembali ke desa asalnya, dua dekade setelah mereka pindah ke dataran rendah untuk mencari penghidupan. Mereka tidak menemukannya di sana, dan pulang untuk mencari gaharu, atau menjual jasa bagi mereka yang melakukan ekspedisi.

Pada awalnya, para ‘pemudik’ ini disambut baik, meski yang telah pergi berarti telah meninggalkan hak atas lahan adatnya. Christine Eghenter yang meneliti demam gaharu di awal 2000-an, menemukan bahwa aturan untuk memetik gaharu sangat longgar.

Ketika makin banyak pedagang berdatangan, dewan adat mulai memperdebatkan apa yang harus dilakukan. Apakah pengumpul gaharu harus membayar saat memasuki lahan adat? Apakah perlu ada pajak atas jumlah kayu yang dikumpulkan? Bagaimana mereka memantau apa yang dipetik di dalam hutan? Apakah perlu larangan memetik gaharu terhadap pihak luar atau pendatang? Apakah ‘pemudik’ ditempatkan sebagai ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’?

Tidak ada kesepakatan tercapai atas pertanyaan-pertanyan tersebut. Para pedagang dari luar kawasan mengambil keuntungan dari meningginya ketegangan dan perpecahan yang terjadi dalam masyarakat.

   Birdcage in a Dayak village, North Kalimantan. CIFOR Photo/Lucy McHugh



PIHAK DALAM DAN PIHAK LUAR

Penelitian mengenai migrasi di wilayah tropis seringkali terjebak pada sesuatu yang klise: penyederhanaan gagasan bahwa ‘migran menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan’, kata Paul Thung, seorang peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional. Salah satu penelitian menyodorkan hitungan, satu hektare hutan akan hilang untuk setiap delapan migran yang memasuki kawasan.

Contoh dari Apo Kayan menunjukkan “betapa abstraknya pernyataan seperti itu, ketika kita melihat besarnya variabilitas situasi di lapangan,” kata Thung – dan betapa rumitnya kisah migrasi sebenarnya.

“Ada masalah dengan migran sirkular, mereka berada di antara pihak lokal dan pihak luar; ada juga yang menikahi penduduk desa; dan jelas ada pihak luar.

“Kita perlu mengakui bahwa seorang migran bukan sekadar orang yang datang, tetapi bahwa migrasi juga didorong oleh sejumlah faktor penyebab – politik, ekonomi dan sosial.

“Seperti fakta bahwa migrasi tidak terlalu banyak terkait mengenai dampak pada hutan, jika kita tidak melihat konteks ekonomi dan sosialnya.”

Thung dan peneliti CIFOR lain, Kartika Sari Juniwaty, telah menyisir penelitian yang ada mengenai migrasi di Indonesia untuk sebuah CIFOR Occasional Paper. Laporan ini bersumber dari survei dan sensus, catatan administratif, hingga studi kasus individual seperti kisah gaharu.

Menurut Thung, data masih minim dengan kesenjangan yang signifikan. Pemerintah Indonesia tidak menyimpan catatan komprehensif mengenai remitansi yang dikirim dari luar negeri atau dari dalam negeri, selain itu sangat sedikit data kuantitatif yang mengaitkan migrasi dengan pemanfaatan lahan.

“Masih banyak yang harus dilakukan untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai migrasi di Indonesia,” kata Thung.

Laporan ini mengangkat beragam perbedaan pola dan tren migrasi di Indonesia, dan menyeru para peneliti untuk menganalisis kaitan antara migrasi dan hutan secara lebih holistik.

“Isu migrasi lebih luas daripada sekadar orang yang pindah ke dalam hutan,” kata Thung.

“Orang pindah dari hutan di luar negeri, mereka pindah ke kota; atau pindah sementara, dan menggantungkan hidupnya di berbagai tempat pada saat yang sama, atau dalam kehidupan tunggal.

Migrasi Indonesia dalam Angka

  • 1,9% penduduk Indonesia bermigrasi antarprovinsi antara 2010 dan 2015(1)
  • 53% di antaranya berasal dari provinsi di Jawa(1)
  • 30% penduduk yang tinggal Kalimantan Utara lahir di tempat lain (1)
  • 3.876.739 Orang Indonesia tinggal di luar negeri pada 2015(2)
  • Mereka mengirim sekitar 9,66 miliar dolar AS dalam bentuk remitansi(3)
  • 61% di antaranya tinggal di Arab Saudi atau Malaysia(2)
  • 92% migran di Arab Saudi pada 2005 adalah perempuan(4)

“Kita tidak bisa hanya berpikir mengenai dampak pada lokasi tujuan, tetapi juga bagaimana migrasi mempengaruhi tempat dari mana orang datang, dalam bentuk remitansi yang mereka kirim, atau sumber daya yang terbawa bersama mereka – misalnya potensi tenaga kerja mereka.”

Ilmuwan CIFOR Bimbika Sijapati Basnett, yang mengelola investigasi lebih luas mengenai hutan dan migrasi di CIFOR mengatakan, penelitian diperlukan untuk melihat lebih dekat ‘faktor mitigasi’ yang membentuk relasi antara migrasi dan perubahan pemanfaatan lahan.

“Kebijakan pemerintah, lembaga adat, lingkungan pertanian lokal – semua itu dapat memperkuat perilaku tertentu para migran, dan jenis perubahan lahan tertentu pula. Kita perlu bertanya, apa kondisi yang mendasarinya? Dari mana orang datang? Seperti apa jejaring sosial mereka? Apa visi jangka panjang mereka?

“Inilah faktor asal yang berada di tengah dan menjelaskan hasil kita. Jika kita kehilangan bagian tengah ini, kita tidak akan mendapat banyak hal, selain generalisasi besar seperti ‘orang datang dan merusak hutan,” katanya.

   Sunset in a Dayak village in North Kalimantan. CIFOR Photo/Lucy McHugh
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Paul Thung di paul.thung@gmail.com atau Kartika Juniwaty di k.juniwaty@cgiar.org atau Bimbika Sijapati Basnett di b.basnett@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org