
KABAR HUTAN
Karangan Khas / 10 Jul 2018
Getah Gaharu: Sebuah kisah migrasi
Kayu yang nilainya lebih dari emas, dan perubahan wajah sebuah provinsi serta hutannya
Gaharu product from Panaan village, South Kalimantan Augusta/CIFOR
Pada awal “demam gaharu”, ratusan migran menembus hingga kedalaman Kalimantan Utara, Indonesia. Ada uang yang terjanji.
Gaharu – batang pohon Aquilaria yang harum dan mengeluarkan getah akibat infeksi jamur – sangat diminati sebagai pengharum di Timur Tengah dan obat di Tiongkok. Pada 2018, kepingan kecil gaharu dijual seharga 7 dolar AS per kilogram di sejumlah negara, dan spesimen terbaik bisa bernilai jutaan.
Ketika harga gaharu melambung pada 1990-an, masyarakat menyerbu hutan terpencil Apo Kayan – bagian dari suku Dayak Kalimantan – dengan harapan menghasilkan uang. Tidak hanya pendatang, ratusan masyarakat Dayak kembali ke desa asalnya, dua dekade setelah mereka pindah ke dataran rendah untuk mencari penghidupan. Mereka tidak menemukannya di sana, dan pulang untuk mencari gaharu, atau menjual jasa bagi mereka yang melakukan ekspedisi.
Pada awalnya, para ‘pemudik’ ini disambut baik, meski yang telah pergi berarti telah meninggalkan hak atas lahan adatnya. Christine Eghenter yang meneliti demam gaharu di awal 2000-an, menemukan bahwa aturan untuk memetik gaharu sangat longgar.
Ketika makin banyak pedagang berdatangan, dewan adat mulai memperdebatkan apa yang harus dilakukan. Apakah pengumpul gaharu harus membayar saat memasuki lahan adat? Apakah perlu ada pajak atas jumlah kayu yang dikumpulkan? Bagaimana mereka memantau apa yang dipetik di dalam hutan? Apakah perlu larangan memetik gaharu terhadap pihak luar atau pendatang? Apakah ‘pemudik’ ditempatkan sebagai ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’?
Tidak ada kesepakatan tercapai atas pertanyaan-pertanyan tersebut. Para pedagang dari luar kawasan mengambil keuntungan dari meningginya ketegangan dan perpecahan yang terjadi dalam masyarakat.