BOGOR, Indonesia (3 April 2014) — Target menyeluruh anti-kemiskinan PBB yang ditetapkan pada tahun 2000 memberi banyak kemajuan pemberdayaan perempuan desa dengan membuat keseimbangan jender sebagai bagian terintegrasi dalam diskusi pembangunan internasional.
Bagaimanapun, Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) sedikit kurang dalam mengatasi kondisi buruk perempuan desa dalam wilayah yang sering diabaikan: akses energi.
Ketergantungan pada pembakaran biomassa seperti kayu bakar, kotoran binatang dan limbah pertanian untuk energi rumah menciptakan risiko dan kesulitan yang jatuh pada perempuan – dari mengumpulkan sampai menggunakannya di rumah.
Kesulitan ini makin terbukti, seorang peneliti mendesak isu ini dibahas dalam negosiasi yang tengah berlangsung di kerangka pembangunan global, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB. SDGs akan meneruskan MDGs, yang habis pada 2015.
“Perempuan di negara berkembang menari dalam sejumlah tantangan,” kata Caroline Ochieng, mitra peneliti Stockholm Environment Institute yang meneliti akses energi di negara berkembang. “Hari Perempuan Internasional (8 Maret) memberi peluang untuk mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa masyarakat internasional harus membantu memberdayakan mereka.”
MDGs membantu perempuan memperoleh manfaat selama 14 tahun. MDG3 bertujuan meningkatkan kesetaraan dengan mendorong penguatan gadis dan perempuan melalui peningkatan akses pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi lebih besar dalam pengambilan keputusan. Sebuah laporan PBB 2013 menyatakan bahwa pada tahun 2011, 40 dari 100 pekerjaan bergaji di sektor non-pertanian dimiliki perempuan, sebuah peningkatan sejak tahun 1990, ketika hanya 35 dari 100 pekerjaan dimiliki perempuan.
Lintas sektor MDGs lain juga memberi manfaat pada kesejahteran perempuan. MDG2 menyatakan bahwa semua anak harus mendapat akses pendidikan; pada tahun 2013 PBB mendeklarasikan bahwa secara global terdapat 95 perempuan muda terdidik dari setiap 100 pria muda dibandingkan dengan 90 perempuan di tahun 1990. Dan di bawah panduan MDG5, tingkat kematian ibu menurun separuhnya dibanding tahun 1990, demikian menurut laporan PBB.
Bagaimanapun, MDGs tidak menyentuh fakta bahwa lebih dari 2,6 miliar orang – hampir 40 persen populasi global – bergantung pada bahan bakar biomassa untuk memasak, tulis statistik Tinjauan Energi Dunia 2013. Hal ini melemahkan pencapaian target MDG, termasuk yang terkait gender, demikian menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
TUGAS BERBAHAYA
Bagi banyak perempuan desa, tugas memasak keseharian diliputi dengan risiko.
Perempuan terpapar asap tebal ketika memasak dalam ruangan, contohnya, mereka cenderung tiga kali lebih rentan terkena penyakit paru-paru obstruktif kronis dan lebih berisiko meninggal akibat kanker paru daripada perempuan yang menggunakan bahan bakar lebih bersih, papar WHO.
Laporan beban penyakit global terbaru menunjukkan, polusi udara rumah tangga dari pembakaran bahan padat menempati tiga teratas faktor risiko penyakit. Hampir 2 juta orang setiap tahun meninggal secara dini akibat penyakit dari polusi udara rumah akibat penggunaan bahan padat, papar WHO.
Dalam rumah tangga bergantung-biomassa, mengumpulkan bahan bakar seringkali menjadi tanggungjawab perempuan, pekerjaan fisik yang membutuhkan komitmen waktu besar yang membatasi kapasitas untuk maju di banyak bagian lain dunia untuk maju.
Sebuah penelitian di pedesaan India menunjukkan bahwa perempuan bekerja mengumpulkan kayu bakar 50 jam seminggu, menyisakan waktu terbatas untuk ikut serta dalam aktivitas ekonomi bermanfaat, perawatan anak atau aktivitas sosial lain. Gadis muda yang ikut mengumpulkan kayu akan kehilangan peluang sekolah, serta rentan terhadap kekerasan jender – khususnya di wilayah-wilayah konflik – ketika bekerja mengumpulkan bahan bakar.
Di negara berkembang, perkiraan mengindikasikan bahwa sekitar 730 juta ton biomassa dibakar setiap tahun, mengeluarkan jelaga dan karbon dioksida yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan menyebabkan deforestasi serta hilangnya jasa lingkungan yang diberikan hutan.
MASA MENDATANG
Peran penting akses energi dibahas dalam diskusi mengenai SDGs, sebuah langkah ke arah positif sejalan dengan inisiatif PBB tentang Aliansi Global untuk Tungku Masak Bersih (Global Alliance for Clean Cookstoves) dan inisiatif PBB dan Bank Dunia tentang Energi Berkelanjutan untuk Semua (SEFA).
“Pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan energi sebagai tujuan pembangunan lintas sektor daripada sekali lagi melepasnya sekadar menjadi ‘kekurangan MDG’,” kata Ochieng.
“Kita tidak bisa lagi berpikir spesifik-sektoral. Memperkenalkan solusi seperti pengembangan tungku masak membutuhkan pertimbangan akan tantangan kompleks ekonomi, sosial dan kultural.”
Untuk informasi lebih jauh mengenai topik diskusi dalam artikel ini, silahkan hubungi Esther Mwangi di e.mwangi@cgiar.org
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut