Makin tingginya kebutuhan pangan –yang akan berlipat dua kali pada 2050 – mengarah pada meluasnya ekspansi pertanian, terutama dengan mengorbankan hutan. Diperkirakan, antara 1980 hingga 2000, lebih dari separuh lahan pertanian baru di wilayah tropis dikembangkan di atas lahan berhutan, dan 28 persen lain dibuka di atas lahan hutan sekunder. Meski ekspansi dan langkah signifikan ini telah berhasil mengurangi kelaparan, PBB memperkirakan bahwa lebih dari 840 juta orang di seluruh dunia masih tetap kelaparan dan kurang gizi.
Ketahanan pangan makin dihubungkan pada berbagai sektor seperti keragaman hayati, konservasi, pemeliharaan jasa lingkungan, produksi pangan, penghidupan berkelanjutan, dan mitigasi perubahan iklim.
Sejumlah teori telah diajukan untuk menemukan keseimbangan antara keamanan pangan, konservasi dan penghidupan. Namun, apakah gagasan-gagasan itu bisa berjalan?
Sebanyak 20 ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan lembaga mitra dari berbagai disiplin ilmu mencoba menjawab pertanyaan ini.
Kami ingin berargumen tentang pandangan konvensional bahwa ketika ekonomi dan masyarakat berkembang, kita harus bertransisi dari hutan ke pertanian ke manufaktur dan kemudian ke industri jasa, dan berasumsi hasilnya selalu positif.
Dipimpin oleh ilmuwan CIFOR, Terry Sunderland, tim meneliti enam bentang alam pantropis, di Zambia, Burkina Faso, Kamerun, Ethiopia, Indonesia dan Bangladesh, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
“Kami ingin menantang pandangan konvensional bahwa ketika ekonomi dan masyarakat berkembang, kita harus bertransisi dari hutan ke pertanian ke manufaktur dan kemudian ke industri jasa, dan berasumsi hasilnya selalu positif,” kata Sunderland.
“Kami ingin menguji jika ini benar, khususnya bagi penduduk desa, dan apakah ini akan memberi manfaat jangka panjang,” tambahnya.
Sunderland menyatakan bahwa tim peneliti ingin mendapat perspektif lebih luas mengenai dampak transisi tersebut pada pertanian di area berhutan. Jadi mereka menggunakan pendekatan lebih luas, tidak hanya pada aspek sosio-ekologis, tetapi juga faktor sosio-ekonomi.
“Kami menemukan bahwa ini bukan proses linier. Transisi memberi dampak jangka pendek dan jangka panjang. Transisi juga mempengaruhi lingkungan, kesehatan, diet, sosial dan kultural,” katanya.
TIDAK BISA GENERALISASI
Salah satu poin terkuat yang muncul dari penelitian, bahwa ketika kita melihat masyarakat desa dalam perubahan bentang alam, kita tidak boleh hanya memeriksa tiap faktor, tetapi bagaimana faktor-faktor itu berhubungan dalam situasi tertentu. Sunderland menyatakan bahwa salah satu masalahnya adalah, kita sering melakukan generalisasi kehidupan masyarakat yang tinggal di desa.
“Kita cenderung keluar dengan pernyataan besar mengenai dependensi hutan, keterikatan hutan dengan diet dan seterusnya, namun hal ini sejatinya bergantung pada keseluruhan eksternalitas lain, seperti budaya dan ekonomi, selain juga pentingnya konteks lokal,” kata Sunderland.
Salah satu temuan mengejutkan muncul di Ethiopia, misalnya, para ilmuwan menemukan bahwa masyarakat yang tinggal jauh dari hutan, sejatinya lebih miskin karena tidak memiliki akses pada kayu bakar. Masyarakat di sana terpaksa membakar limbah ternak sebagai bahan bakar, bukan sebagai pupuk.
“Kondisi ini mengarah pada menurunnya panen dan lahan gembala, serta membuat masyarakat makin miskin,” kata Sunderland.
Contoh lain ketergantungan pada asumsi lama ada di Indonesia. Ada pendapat umum bahwa sawit sangat berkontribusi pada ekonomi lokal. Hal ini bisa saja benar, kata Sunderland, namun terlalu disederhanakan.
Ketika para peneliti berbicara dengan pekerja sawit, mereka menemukan transisi besar dalam diet. Dari diet yang sangat bervariasi, bernutrisi, seringkali dari pangan hutan, menjadi diet sangat tersederhanakan yang bergantung pada gula dan lemak.
“Semacam diet ‘mi instan’. Ketika masyarakat punya sedikit uang di sakunya, mereka cenderung membeli makanan kemasan. Ini juga soal status. Dan hal seperti ini tak terpikirkan sebelumnya,” kata Sunderland.
Menurut dia, keamanan pangan tidak seharusnya hanya menghitung kalori, tetapi juga memasukkan diet aktual masyarakat dan nutrisinya.
PERTANYAAN SEJUTA DOLAR
Jadi, bagaimana kita menjaga pertumbuhan ekonomi dan keamanan pangan tanpa merusak lingkungan?
“Penelitian ini menyatakan, bahwa ini bukan soal agar masyarakat terus bergantung pada hutan, tetapi menjaga masyarakat tetap menyadari fakta bahwa hutan berperan penting dalam keamanan pangan, misalnya dalam hal ekosistem dan dampaknya pada pertanian hutan,” kata Sunderland.
Ini bukan soal agar masyarakat terus bergantung pada hutan, tetapi menjaga masyarakat tetap menyadari fakta bahwa hutan berperan penting dalam keamanan pangan
Ia menyatakan, saat berada di lapangan, kita dengan cepat menyadari bahwa banyak konsep seperti berbagi lahan dan hemat lahan, terlalu konseptual, dan sebuah ‘desain besar’ pada skala bentang alam yang tidak ada di lapangan. Ia menegaskan perlunya benar-benar terjun memahami kompleksitas bentang alam tersebut.
DARI SINI TERUS KE MANA?
Selama bertahun-tahun, kritik mempertanyakan: bagaimana kita memberi makan dunia jika kita tidak melakukan ekspansi masif di bentang alam? Tetapi, penelitian menunjukkan bahwa ini bukan pertanyaan ‘atau’. Hutan dan pohon memiliki peran kunci untuk dimainkan.
Penelitian baru ini merujuk pada penelitian sebelumnya yang memperkirakan bahwa lebih dari 1,3 miliar orang memanfaatkan hutan, dan bahwa pohon dan hutan bentang alam menghasilkan pemasukan signifikan bagi masyarakat lokal dengan mencari makan di hutan dan alam bebas seperti dari budi daya tanaman.
“Kini ada bukti dikotomi yang jelas antara lingkungan dan ketahanan pangan. Jadi ini tidak hitam dan putih seperti kelihatannya,” kata Sunderland.
Sunderland menyatakan bahwa dampak perubahan iklim pada bentang alam menegaskan pesan ini, terdapat kebutuhan membantu petani melakukan diversifikasi di masa depan, dan melalukan hal yang lebih dengan apa yang mereka miliki.
“Petani yang membudidayakan delapan jenis tanaman berbeda akan lebih sedikit terpengaruh dampak lingkungan atau ekonomi akibat perubahan iklim. Sebaliknya petani yang hanya bercocok tanam gandum dan mengalami tahun bencana, maka semuanya akan hilang,” lanjutnya.
Para peneliti juga memperhatikan proyek bantuan yang diimplementasikan di area penelitian mereka. Proyek-proyek tersebut terfokus pada isu, antara lain pertanian, keberlanjutan dan penghidupan, serta berlangsung relatif pendek, tiga sampai lima tahun.
“Ini bagus untuk jangka pendek, tetapi tidak untuk jangka panjang. Kami menyarankan untuk melepaskan intervensi berorientasi proyek ke arah orientasi proses, dan mencoba memahami bagaimana dan mengapa bentang alam berubah seiring waktu,” kata Sunderland.
Melangkah maju berdasar hasil penelitian ini, tim mengakui kebutuhan besar untuk melakukan pendekatan multi-disiplin – ketika para ilmuwan sosial bekerja sama dengan ilmuwan lingkungan, lanjut Sunderland, penelitian mendapat hasil lebih baik.
“Tidak ada peluru perak. Yang ada hanya realitas kompleks dan kita benar-benar harus berpegangan padanya untuk maju. Kita perlu memahami bentang alam sebelum kita dapat mengelolanya,” ringkasnya.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org