Berita

Mitigasi tanpa adaptasi bisa berakibat masyarakat menjadi rentan — kajian

Jika Anda meminta petani tidak membakar, Anda perlu memastikan mereka bisa mendapat penghasilan yang sama pada lahan lebih kecil.
Bagikan
0
Kegiatan seperti hutan kota, pengelolaan hutan lestari dan wanatani tidak hanya mengurangi dampak-dampak dari perubahan iklim, menurut Denis Sonwa, ilmuwan senior Pusat Penelitian Kehutanan International, namun juga dapat mengurangi kerentanan masyarakat hutan terhadap tekanan dari iklim dan bukan iklim – jika kegiatan-kegiatan itu dirancang secara benar. Kredit foto: Carsten ten Brink

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (6 September 2013) — Memahami kerentanan masyarakat yang bergantung-hutan adalah titik berangkat dalam membangun strategi efektif mitigasi dan adaptasi iklim, demikian temuan sebuah kajian.

Di antara temuan yang ada, kajian melaporkan bahwa aktivitas mitigasi bisa membuat masyarakat menjadi lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan faktor sejenis. Kajian ini juga menyatakan bahwa hasil positif konservasi bergantung pada keinginan dan motivasi masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam aktivitas mitigasi.

Kajian ini, dipublikasikan dalam International Journal of Biodiversity and Conservation, ditulis di bawah pimpinan Eugene Chia yang melakukan riset sebagai bagian dari tesis kelulusan di Norwegian University of Life Sciences.

MITIGASI BISA MENCIPTAKAN KERENTANAN LEBIH BESAR

Riset ini fokus pada dua desa di hutan hujan Kamerun Selatan yang terlibat dalam projek percontohan pembayaran jasa lingkungan (PJL).

Melalui PJL, masyarakat mendapatkan pembayaran finansial atau pembayaran sejenis karena menjaga “jasa” seperti air, simpanan karbon dan keragaman hayati. Projek percontohan di Kamerun dirancang untuk  menjaga simpanan karbon dan keragaman hayati melalui aktivitas seperti menjaga dan meregenerasi hutan, serta pertanian berkelanjutan.

Sebagai tambahan, projek-projek ini mencakup komponen untuk memperkuat kesehatan dan pendidikan masyarakat lokal terkait dengan infrastruktur.

Didanai melalui  Congo Basin Forest Fund, projek-projek, yang terkait hanya pada infrastruktur diterapkan oleh Centre for Environment and Development yang didukung BioclimateEconometrica dan Rainforest Foundation UK.

Projek percontohan ini difokuskan untuk mengurangi deforestasi dan menjaga keragaman hayati, tetapi tidak secara langsung mempertimbangkan untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim, kata temuan peneliti.

Namun faktanya, kajian menemukan bahwa kondisi yang diterapkan dalam Projek PJL memiliki implikasi besar terhadap aktivitas penghidupan desa Nkolenyeng, yang didominasi oleh masyarakat petani.

Misalnya, berkaitan dengan larangan projek untuk pertanian rotasi potong-dan-bakar—juga dikenal sebagai peladangan berpindah—kajian menemukan beberapa petani lebih tua memilih untuk membersihkan lebih sedikit lahan daripada metode pembersihan intensif-banyak pekerja.

Keputusan ini terutama mempengaruhi keamanan pangan dan penghasilan di desa, menciptakan kerentanan, kata kajian.

“Pada usia ini, saya hanya punya sedikit tenaga untuk menyiapkan lahan tanpa membakar, jadi sekarang ini dengan ketentuan projek saya hanya menyiapkan porsi kecil,” kata seorang petani berusia 62 tahun dalam sebuah grup diskusi.

“Jika Anda meminta petani tidak memotong dan membakar , maka Anda perlu memastikan mereka bisa mendapat penghasilan dan menumbuhkan sejumlah makanan yang sama pada lahan lebih kecil,” kata Denis Sonwa, peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan salah satu penulis laporan.

MEMBANGUN SINERGI ANTARA ADAPTASI DAN MTIGASI

Di kedua masyarakat ditemukan rentan terhadap tekanan iklim maupun non-iklim.

Dalam apa yang mereka sebut “kecelakaan iklim,” penduduk melaporkan perubahan suhu dan matahari, hujan serta periode tanam dan panen tradisional. “Hujan tidak terduga pada musim kering dan tertunda ketika hujan harusnya datang,” kata seorang penduduk dalam diskusi kelompok terfokus.

Peneliti dan penduduk berdiskusi mengenai strategi adaptasi yang mengarah pada keberlanjutan penghasilan dan keamanan pangan. Beberapa gagasan mencakup lebih banyak tumpang sari, varietas baru dan varietas unggul, pertanian kebun dan agroforestri. Aktivitas peningkatan penghasilan potensial terentang dari pengumpulan dan pemasaran lebih baik buah-buah hutan hingga memelihara lebah, ikan dan jamur.

“Beberapa aktivitas tengah berlangsung melalui projek mitigasi PJL,” kata Sonwa. “Contohnya, mereka menanam pohon, mempromosikan pertanian berkelanjugan dan peningkatan kapasitas memelihara lebah. Apa yang penting bagi aktivitas mitigasi direncanaan dengan pertimbangan adaptasi adalah membangun sinergi antar dua pendekatan.”

Kegiatan seperti perhutanan kota, manajemen hutan berkelanjutan dan agroforesti tidak bisa hanya memitigasi dampak perubahan iklim, kata Sonwa, tetapi mereka juga bisa mengurangi kerentanan masyarakat hutan terhadap tekanan iklim dan non iklim—jika mereka direncanakan secara baik.

“Pendekatan holistik, lintas sektor yang melibatkan masyarakat, pemerintah dan ilmuwan diperlukan untuk menjamin projek meningkatkan mitigasi maupun adaptasi,” katanya.

PERAN KEPEMILIKAN DAN MANFAAT BERKEADILAN

Temuan lain menegaskan kembali riset sebelumnya yang menyatakan bahwa kepemilikan—atau hak pengelolaan—lahan yang jelas mendorong masyarakat untuk terlibat dalam konservasi hutan.

Anggota masyarakat mau mengikuti aktivitas mitigasi, misalnya, karena mereka percaya ada manfaat mengalir kembali pada mereka dibanding ke negara. Sebagai tambahan, kajian menggemakan kajian lain mengenai pentingnya distribusi berkeadilan sumber daya dan manfaat hutan.

Di Nomedjoh, 93 persen responden menyatakan mereka percaya keuntungan akan dibagi secara adil. Ini merupakan indikasi komunitas akan menerima larangan potong-dan-bakar dan kondisi lain, lanjut peneliti.

Di Nkolenyeng, bagaimanapun, responden menyatakan mereka masih kecewa dengan salah-urus dan penggelapan dalam projek kehutanan sebelumnya, hanya 87 persen memiliki keyakinan projek sekarang bisa adil untuk semua. Perasaan ketidakpercayaan  ini, kata peneliti, berimplikasi pada kemauan penduduk untuk berpartisipasi dan mengikuti kondisi projek.

“Ini merupakan projek percontohan jadi merupakan proses belajar,” kata Sonwa. “Sebagai ilmuwan, kita mencoba untuk menilai kerentanan masyarakat, dan menawarkan pelajaran yang bisa membantu. Pesan kuncinya adalah kita perlu menjamin ketahanan aktivitas penghidupan, dan tidak membuat masyarakat lebih rentan.”

Untuk informasi lebih mengenai isu yang didiskusikan dalam artikel ini, silahkan hubungi d.sonwa@cgiar.org

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Tenurial Pertanian ramah hutan

Lebih lanjut Tenurial or Pertanian ramah hutan

Lihat semua