Karangan Khas

Konservasi hutan di Kolombia: Antara tradisi, tabu dan berburu

Sama halnya praktik masyarakat adat di Indonesia, kepercayaan tradisional di Kolumbia juga secara tak sengaja mendukung konservasi alam liar.
Bagikan
0
Para tetua adat di Kalimantan Tengah. Kepercayaan untuk tidak merambah suatu daerah karena aturan nenek moyang seringkali efektif mencegah kerusakan lingkungan. Achmad Ibrahim/CIFOR

Bacaan terkait

Ketika Sara Armas Díaz berburu, ia berhenti sebelum masuk hutan dan berdoa untuk ruh hutan.

“Saya membawa batang yang dibakar dan menyebut nama-nama hewan yang saya inginkan, dan dalam waktu singkat, saya melihatnya,” kata Armas, 51, seorang nenek suku Cocama yang mempelajari ritual tersebut dari kakeknya ketika mereka membawanya berburu pertama kali pada usia 10.

Dalam masyarakat sepanjang Sungai Loretoyacu di Cagar Alam Ticoya atau resguardo, wilayah tempat masyarakat adat Ticuna, Cocama dan Yagua, banyak pemburu bercerita pertemuan dengan ruh hutan yang membantu atau melarang mereka berburu di tempat tertentu.

Pertemuan tersebut, digabung dengan praktik terkait pengolahan daging sebelum dimakan, berlangsung secara tradisonal dalam wilayah buru terkendali, demikian menurut para peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

TEMPAT KERAMAT

Para peneliti mempelajari cara berburu, pemanfaatan dan komersialisasi daging buruan di area sekitar cagar, di Sungai Amazon perbatasan Kolumbia, Peru dan Brasil.

“Para pemburu tidak pernah menyebut kata ‘konservasi,’ tetapi apa yang mereka lakukan terkait konservasi,” kata Nathalie Van Vliet, peneliti senior CIFOR, sekaligus mengepalai tim penelitian.

“Mereka juga melakukan praktik terkait penurunan risiko kesehatan—misalnya, anak-anak tidak memakan bagian tertentu binatang,” katanya. “Mereka tidak menyebut aturan sehat, tetapi dengan mengatur konsumsi daging, mereka berkontribusi pada konservasi.”

Pemburu lain memiliki keyakinan berbeda—dan seringkali bertentangan, tetapi secara bersama, mereka melakukan kontrol perburuan.

Ketika tanaman tertentu berbunga atau berbuah, daging binatang yang mengonsumsinya memiliki rasa tidak enak dan dapat menyebabkan mual, diare atau ruam, kata Armas. Ia dan suaminya Gabriel Murayari Pinedo, 63, menghindari berburu binatang tersebut di tempat mereka melihat tanaman itu. Pemburu menghindari tempat lain untuk alasan lain.

“Ada tempat-tempat Anda tidak bisa berburu,” kata Milton Pinto, 22, suku Ticuna, seperti Armas dan Murayari, tingal di Puerto Narino, kota berpenduduk 7.000 orang di Cagar Ticoya.

Pemburu tidak pernah menyebut kata ‘konservasi,’ tetapi apa yang mereka lakukan terkait konvervasi.

Nathalie Van Vliet

Salah satunya adalah sumber garam – tempat binatang berkumpul, dan menjadi sasaran mudah.

“Tempat itu keramat,” kata Pinto. “Anda harus menghormatinya.”

KONTROL ALAMI

Para pemburu menawarkan beragam cara seperti sumber garam dan lainnya—sebagai tempat berburu yang diijinkan, tetapi pemburu hanya dapat mengambil apa yang diperlukan, atau ada tempat terlindung dari perburuan, karena terjadi petir, kilat dan hujan jika pemburu mencoba mendekati.

“Ada madre di tempat itu, sebentuk ruh,” kata Pinto.

Dalam survei anggota komunitas, termasuk pemburu, pedagang dan operator restoran, peneliti menemukan bahwa lebih dari dua pertiga kepercayaan yang membatasi perburuan atau pemanfaatan alam liar terkait konsumsi. Memakan daging tapir, misalnya, bisa menyebabkan wanita hamil keguguran. Menurut penelitian, perempuan juga seharusnya tidak melihat atau menyentuh kura-kura yang dikenal sebagai matamata.

Sejumlah besar “tabu” soal konsumsi daging termasuk jaguar, predator teratas yang juga memiliki signifikansi spiritual bagi masyarakat Amazon. Binatang lain diatur melalui kepercayaan tradisional termasuk tapir dan ular.

Sejumlah besar keyakinan terkait pengolahan daging termasuk kura-kura—misalnya, menyentuh darah kura-kura saat mengolah daging disebut menyebabkan kutil. Hanya 10 persen masyarakat disurvei yang mengabaikan kepercayaan tradisional dengan menyebut tidak ada efek negatif. Lebih dari separuh menyatakan, tidak menghormati tabu bisa menyebabkan penyakit, sementara yang lainnya menyatakan dapat menyebabkan penurunan jumlah hewan atau membuat pemburu sial ketika mencari hewan buruan.

Nelayan menghormati praktik serupa, kata Pinto. Ada sebuah danau dalam cagar dikenal oleh nelayan sebagai tempat berbahaya, rumah bagi berang-berang sungai besar, jaguar dan kayman raksasa.

“Anda harus memancing dengan senyap,” kata Pinto, menambahkan bahwa sebagian danau tak berbatas.

Ketika Pinto lebih muda, seorang nelayan tua menunjukkan bagian danau mana yang aman untuk menangkap ikan dan mana yang harus dihindari.

“Semacam kontrol alami,” katanya.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang topik ini, hubungi Nathalia Van Vliet di vanvlietnathalie@yahoo.com.
Riset ini merupakan bagian dari Program Riset CGIAR tentang Hutan, Pepohonan dan Agroforestri.
Dukungan dana untuk riset berasal dari USAID.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Nathalie Van Vliet di vanvlietnathalie@yahoo.com.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org