BOGOR, Indonesia (22 Mei, 2013)_Ketika taman nasional di Indonesia menghadapi ancaman deforestasi dan perambahan manusia, menjadi penting agar harimau, macan tutul dan mamalia besar lainnya dimonitor sebagai salah satu upaya konservasi – jika tidak ingin bentrokan dengan manusia meningkat, kata peneliti senior di CIFOR mengingatkan.
“Program atau kebijakan baru yang mengarah pada perlindungan hewan liar hanya memberikan dampak kecil kecuali teritori dan pola perilaku spesies kunci betul-betul diawasi,” kata Terry Sunderland.
Dia berkomentar setelah dikeluarkannya rilis foto langka tiga macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), tertangkap oleh kamera di taman nasional di Jawa Barat, Indonesia – sebagai bagian dari riset CIFOR tentang pengamatan penurunan populasi macan tutul.
Diharapkan dari foto-foto tersebut, yang juga termasuk spesies langka lainnya, kijang, bereang-berang cakar kecil dan musang palem, dapat memberikan data penting bagi taman nasional untuk lebih memahami ruang jelajah macan tutul dalam mengembangkan kebijakan mengurangi konflik dengan manusia.
“Kucing besar seringkali memiliki teritori yang mereka tandai sebagai wilayah kedaulatannya, jadi Anda sebenarnya bisa mengelola taman nasional untuk menghindari situasi konflik di titik tertentu,” kata Sunderland.
Upaya ini mencakup pemetaan ulang zonasi taman nasional beserta perbatasannya guna menjamin masyarakat untuk tidak mengumpulkan hasil hutan di wilayah kucing besar tersebut diketahui beranak; melakukan intervensi untuk mengusir hewan liar dari peternakan kecil dan perkebunan; dan menerapkan skema kompensasi untuk membayar masyarakat ketika ternak dibunuh atau lahan pertanian dirusak.
Perebutan ruang di taman nasional di Indonesia.
Kebutuhan survei dan melacak keragaman hayati di Indonesia — pemilik hutan hujan terbesar kedua di dunia dan salah satu ekosistem terkaya — semakin hilang dalam dekade terakhir.
Walaupun moratorium dua tahun akhir-akhir ini diperpanjang, untuk membatasi penebangan untuk minyak sawit, perkebunan tanaman pangan dan penebangan komersial, membuat 1,1 juta hektare hutan hilang setiap tahun, menurut data Kementerian Kehutanan. Kehilangan tersebut melemahkan habitat yang ada. Sementara negara ini adalah rumah bagi sejumlah spesies mamalia terbesar di dunia, yang sepertiga di antaranya menghadapi kepunahan.
Pada saat yang sama, banyak masyarakat lokal dipindahkan dari tanah tradisional mereka, seringkali ke dalam taman nasional dan wilayah yang dilindungi.
Di Sumatera, riset CIFOR menunjukkan bahwa petani tak berlahan mengkonversi area penyangga sekitar Taman Nasional Bukit Barisan menjadi pertanian skala kecil dan perkebunan kopi – seperempat kopi Indonesia dikembangkan di taman nasional.
“Ini menunjukkan bahwa pendorong perpindahan lahan hutan tak dilindungi menjadi sangat kuat dan orang kini akan mengambil risiko dan membangun pertanian di taman nasional… Mereka menjadi wilayah hutan terakhir dimana orang bergantung,” kata Sunderland.
Pada kondisi ini, hewan liar dan manusia menjadi lebih sering terlibat kontak.
Pada Januari 2013 dilaporkan bahwa 10 gajah pigmi, salah satu sub-spesies langka gajah di dunia, diracuni di Kalimantan, sebuah pulau yang terbagi atas Indonesia, Malaysia dan Brunei. Walaupun tidak terkonfirmasi, pembunuhan balas dendam oleh petani lokal akibat kerusakan tanaman ini dikutip sebagai penyebab utama.
Bentrok harimau dan manusia di Sumatera
Konflik manusia-harimau dilihat tim Zoological Society of London (ZSL) cabang Indonesia sebagai sebagai sesuatu yang biasa terjadi.
Dalam empat tahun terakhir, mereka telah memantau populasi harimau dan ruang jelajah di Berbak dan wilayah tetangga Taman Nasional Sembilang di Sumatera. Pulau ini adalah rumah bagi 350 harimau sumatera di alam liar.
Ketika perkebunan akasia dan minyak sawit berkembang di sekitar batas taman nasional, harimau makin bergerak ke area yang sering dilalui manusia, kata Laura D’Arcy, Manajer ZSL Indonesia.
“Buah dan tanaman yang dihasilkan perkebunan ini menarik sejumlah buruan harimau, seperti babi dan rusa, yang kemudian memancing harimau keluar dari hutan,” katanya. “Kambing dan ternak yang dipelihara petani kecil juga menjadi santapan empuk bagi harimau yang sakit atau terluka.”
Ketika harimau masuk ke area ini, akibatnya bisa mematikan.
“Minyak sawit adalah perkebunan yang sangat menggiurkan, jadi untuk melindungi perkebunan dari serangan babi, petani kini menggunakan pagar listrik, membentang beberapa kilometer, dengan tegangan mematikan. Kita telah kehilangan dua harimau jantan dalam satu bulan akibat eksekusi-elektronik.”
Selama masa patroli tahun lalu, tim ini menemukan sekelompok tulang harimau ketika memasang kamera pengintai untuk mengamati kucing besar di wilayah itu. Dengan kulit dan gigi yang masih tersisa, serta badan yang telah membusuk, tim menyimpulkan telah terjadi pembunuhan sengaja.
“Harimau seringkali dibunuh oleh pemburu karena mereka sangat berharga dalam ekspor pasar hewan liar ilegal, tetapi merek bisa tertangkap tak sengaja dalam jaring untuk menangkap buruan lainnya,” kata D’arcy. “Sepertinya perangka ini ditempatkan untuk menangkap binatang besar, seperti rusa, dan kemudian dilupakan oleh pemburu dengan akibat yang tragis.”
Selalu membuat sedih kehilangan seekor harimau, katanya, terlebih banyak kematian dapat dihindarkan. Bagaimanapun, ZSL, dalam kemitraannya dengan Wildlife Crime and Conflict Response Team (WCCRT) – sebuah tim staf taman nasional, kementerian, dan petugas kehutanan bertugas menegakkan hukum melindungi taman nasional dan harimau – sudah melihat hasil aktivitas mereka di lapangan.
WCCRT melakukan patroli untuk menangkap pemburu ilegal dan mengumpulkan jebakan, kata D’Arcy. Mereka juga mengajari masyarakat untuk menggunakan alat pengusir harimau, seperti tembakan api, dan menolong mereka membuat cara lebih bersahabat untuk melindungi pertanian mereka.
“Kami bahkan memiliki saluran khusus harimau yang digunakan masyarakat untuk menelepon ketika ada kejadian. Kejadian konflik manusia-harimau berkurang, jadi kita tahu apa yang kita lakukan cukup berhasil.”
Teknologi juga memainkan peranan besar. Data yang dikumpulkan dari kamera pengintai, patroli jalan kaki dan penjejak di leher harimau ketika mereka bergerak dalam hutan dipancarkan setiap hari melalui sistem basis data terpusat telah membantu mengurangi konflik manusia-harimau dan meningkatkan upaya perlindungan.
“Teknologi telah begitu maju di tahun-tahun terakhir, hingga kita sekarang dapat mengidentifikasi setiap harimau dan dapat secara akurat memotret perilakau mereka ketika bergerak di bentang alam. Basis data juga memberi masyarakat tambahan untuk berbagi informasi.
“Ini semua adalah bukti penting untuk menjamin perlindungan harimau di masa depan.”
Dapatkah hewan liar dan manusia hidup berdampingan?
Pemantauan seperti itu, kata Sunderland, adalah salah satu cara untuk menjamin bahwa peraturan dan inisiatif diarahkan untuk melindungi spesies penting – yang biasanya harus mengorbankan baik manusia atau hewan liar – menjadi efektif.
“Pada saat ini banyak kebingungan antara hak dan akses terhadap sumber daya hutan, dimana hutan dan habitat hewan liar berkelindan, hanya akan memperparah konflik manusia-hewan liar di masa depan.
“Ada kebutuhan untuk pertukaran, dan keputusan ini harus didasari data akurat,” tambahnya.
Contohnya, skema kompensasi yang memungkinkan membayar petani akibat kehilangan ternak atau tanaman bisa menjadi jalan mencegah pembunuhan balas dendam terhadap hewan liar. Walaupun Indonesia belum memiliki skema tersebut , hal ini dilakukan oleh organisasi kecil non-pemerintah seperti Integrated Rural Development and Nature Conservation (IRNDC) di Namibia, Afrika, menutupi kerusakan tanaman akibat serangan hewan liar, telah memberikan dampak positif.
Bagaimanapun, memantau kucing besar di Indonesia akan menjadi penting untuk menghapus klaim kompensasi palsu, lanjut Sunderland, setelah hal ini sering dikaitkan dengan masalah lebih besar dan lebih serius dari perdagangan hewan liar, menurut TRAFFIC mencapai angka 323 miliar dolar AS pada 2009.
“Perdagangan hewan liar dan konflik manusia bergandengan tangan. Pembunuhan balas dendam karena kerusakan tanaman atau ternak seringkali dijadikan alasan untuk memburu spesies berharga dan dilindung, yang sering dijual di pasar gelap pada pembelinya,” kata Sunderland.
“Ada kasus dimana orang mengklaim tanaman mereka dirusak dan ternak dibawa dengan sedikit bukti yang mengarah pada harimau, macan tutul atau gajah, mereka lebih menjadi ‘korban’ kejahatan.”
Tantangan untuk menjamin bahwa manusia dan hewan liar hidup berdampingan secara damai, kata Sunderland, sebagai sebuah keberhasilan seringkali tergantung pada program konservasi yang mendapat dana cukup dan didukung oleh masyarakat lokal untuk beradaptasi dengan penghidupan mereka.
“Sangat menyedihkan bahwa taman nasional di Indonesia tidak mampu beradaptasi terhadap tekanan yang diletakkan pada mereka karena sedikit sekali uang yang disediakan untuk biaya operasional.”
“Hal ini membuat keterlibatan masyarakat dalam mengelola hewan liar menjadi lebih kritis,” katanya. “Mereka tahu taman nasional, mereka tahu hewan liar, dan sebagai ‘penjaga pintu’ sumber daya di dalam, mereka sering tahu bagaiman mengelola lahan secara berkelanjutan. Di banyak kasus sistem pengelolan mereka lebih baik daripada instrumen legal yang ada.
“Jadi melibatkan masyarakat dalam cara yang benar-benar bermakna – tidak sekadar bicara ‘partisipasi, ‘ayo berpartisipasi’ — merupakan langkah maju.*
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org