Oslo, Norwegia (22 November 2013) – Upaya-upaya sebelumnya yang menjanjikan untuk memperkuat tenurial lahan di negara-negara pemilik hutan tropis kemungkinan membutuhkan suntikan baru, jika ingin terus berlanjut, temuan kasus dari Tanzania, Brasil dan Indonesia.
Terjaminnya tenurial lahan semakin diyakini sebagai kebutuhan penting untuk REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan), sebuah skema yang melibatkan pembayaran atas jasa pengurangan deforestasi dan emisi-emisi lain yang terkait.
Misalnya di Tanzania, yang telah mempersiapkan REDD+ di tahun 2008, sudah menerapkan Pengelolaan Hutan Partisipatif (PFM) sebagai dasar pelaksanaan REDD+.
“Tanzania memiliki pedoman yang sangat bagus terkait pengelolaan tata guna lahan partisipatif,” kata Rahima Njaidi dari Community Forest Conservation Network of Tanzania (MJUMITA) pada pertemuan REDD+ Exchange baru-baru ini di Oslo.
“Dengan landasan hukum di tingkat desa menyatakan hal yang sama tentang bagaimana sumber daya tertentu akan dimanfaatkan masyarakat.”
Njaidi menambahkan , peraturan lokal dapat ditegakkan lewat pengadilan dengan cara yang sama dengan hukum nasional dan bahwa diskusi-diskusi REDD+ telah mendorong peraturan-peraturan tersebut untuk dipatuhi.
“Strategi REDD+ di Tanzania dan jaring pelindungnya, semua berusaha menyatukan pentingnya pengelolaan tata guna lahan,” terangnya.
Tenurial adalah isu yang amat penting bagi REDD+ sebab, bila dan ketika lembaga donor internasional siap membayar upaya-upaya penyimpanan karbon di hutan, mereka harus mampu mengidentifikasi siapakah pemiliknya.
Kondisi ini terbukti telah memperbarui ketertarikan dalam isu tenurial yang telah lama ada di negara-negara tropis, termasuk Tanzania. Meski kasus di Afrika Timur menunjukkan bahwa dorongan baru dibutuhkan di bawah tataran pengakuan dan upaya awal.
“[Tanzania] adalah sebuah negara besar dengan lebih dari 10,000 desa,” ujar Njaidi. “Pengelolaan tata guna lahan adalah sebuah proses panjang dan mahal, juga banyak desa yang belum mampu melaksanakannya.”
Dia menambahkan, perambahan masih menjadi masalah umum di proyek-proyek besar yang membutuhkan lahan besar, seperti pertambangan.
Pencapaian yang rapuh
Pada dekade yang lalu, Brasil muncul sebagai pemimpin dunia mengenai perbaikan jaminan dan klarifikasi tenurial – serta tengah mendapat manfaat lingkungan yang terkait.
“Membangun teritori adat penting untuk mengurangi deforestasi,” kata Adriana Ramos, Wakil Sekretaris Eksekutif kelompok advokasi lokal Instituto Socioambiental dari Brasil.
“Konstitusi menyatakan, tanah milik negara tapi semua sumber daya alam dimanfaatkan secara eksklusif oleh masyarakat adat.” Saat ini empat puluh persen hutan di Brasil diakui sebagai teritori adat, Ramos menggarisbawahi – namun harus diperhatikan bahwa hak tenurial seperti itu tidak termasuk sumber daya di dalam tanah. Tanpa rencana tenurial yang jelas untuk pemanfaatan di bawah skema REDD+, pencapaiannya saat ini bisa dikatakan rapuh.
“Kongres sedang mempertimbangkan legislasi yang memperbolehkan pertambangan dalam teritori adat. Namun kami masih belum memiliki strategi REDD+-nya,” imbuhnya.
“Kami percaya jika memperbolehkan penambangan tanpa memiliki regulasi yang siap untuk semua aktivitas, kami akan memberikan tekanan besar pada lanskap tersebut.”
Klaim lain yang bersaing semisal rencana pemerintah untuk mengalokasikan lahan bagi keturunan budak, yang juga akan menjungkirbalikkan hak-hak tenurial yang baru saja dibentuk – sebuah risiko yang mulai menggoyahkan beberapa warga desa untuk mulai mengajukan klaim atas haknya, menurut Ramos.
“Hak-hak yang kami dapatkan adalah hasil dari mobilisasi. Sekarang kami harus berkelompok lagi untuk memastikan kami sudah mempertahankannya,” tambahnya lagi.
Ramos menyatakan bahwa otoritas nasional harus terus terlibat agar reformasi tenurial bisa mendapatkan angin segar seperti yang diharapkan – terutama mengingat keraguan dan penundaan yang terjadi seputar REDD+.
Hal sama juga diungkapkan oleh William Sunderlin, ilmuwan yang tengah mempelajari lebih dari 70 desa dalam wilayah percontohan proyek REDD+ di seluruh dunia untuk Center for Internasional Research (CIFOR).
Brasil termasuk negara dimana Sunderlin menemukan bahwa penyadaran dan keterikatan masalah tenurial di antara organisasi-organisasi lokal yang mempromosikan proyek-proyek REDD+ tidak memadai.
“Anda memiliki perusahaan besar yang mengklaim hutan-hutan lokal, dan para pendukung yang bekerja di tingkat proyek tidak memiliki alat maupun kekuatan untuk mengatasi tekanan terhadap hutan dimana awalnya dan lingkupnya tepat di bawah perbatasan proyek,” terangnya.
Perubahan Konstitusional
Penelitian Sunderlin memaparkan situasi yang mirip di negara-negara lain. Meski, perubahan sedang berlangsung di beberapa kasus.
“Di Indonesia misalnya, persiapan REDD+ telah mengarah pada pengakuan hutan ulayat masyarakat adat dengan keputusan Pengadilan Konstitusi pada bulan Mei 2013,” terang Sunderlin.
Pengadilan menyatakan bahwa lahan yang secara tradisional digunakan oleh masyarakat hutan tidak bisa dianggap sebagai milik negara.
“Ini adalah sebuah keputusan yang menjadi tonggak, namun hanya berguna jika konteks REDD+ bisa diaktualisasikan – jika tidak, hanya sekedar keputusan tertulis yang hanya akan mengarah pada sebuah situasi dimana hak-hak ini akan efektif bagi orang-orang yang mengklaimnya,” pungkas Sunderlin.
Dalam contoh positif lainnya, rekan Sunderlin, Anne Larson mengatakan bahwa inisiatif Bank Dunia untuk mendukung persiapan REDD+ baru sekedar mengalokasikan dana bagi kelompok organisasi adat di Peru yang mendaftarkan hak tanah mereka sebagai prioritas utama.
Selama pergerakan kuat belum digeneralisasikan, para peneliti percaya bahwa tenurial akan menjadi masalah yang tak perpecahkan – meski satu hal telah diidentifikasi dengan jelas oleh para pakar dan kelompok masyarakat yang tengah mempersiapkan proyek-proyek REDD+.
Saat Larson dan Sunderlin mengungkapkan dalam tulisan terbaru tentang tenurial lahan dan REDD+: “Temuan menyatakan bahwa di banyak kasus REDD+ telah menghasilkan beberapa kesempatan baru untuk menjamin hak tenurial lahan lokal, namun pelan-pelan intervensi oleh pendukung proyek di tingkat lokal tidak memadai ketika tak terdapat program yang lebih luas dan menasional untuk reformasi tenurial lahan.”
Untuk informasi lebih lanjut mengenai tema yang didiskusikan dalam tulisan ini, silakan menghubungi William Sunderlin di w.sunderlin@cgiar.org
Tulisan ini adalah bagian dari Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri.
William Sunderlin telah mendiskusikan penelitiannya dalam salah satu pertemuan CIFOR “Getting REDD+ off the ground: Challenges and opportunities “ di Universitas Warsawa, Jumat 15 November 2013.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org