Ketika Presiden Indonesia Joko Widodo mulai memimpin 20 Oktober 2014, ia berkomitmen memperkuat hak masyarakat lokal atas lahan dan sumber daya hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian mengumumkan bahwa 12,7 juta hektare lahan hutan akan dialihkan bagi masyarakat lokal di tahun 2019.
Hal ini menjadi target ambisius yang membutuhkan pendekatan terkoordinasi untuk memetakan lahan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat di seluruh kepulauan. Jadi apa yang harus dilakukan agar visi ini terwujud?
Tiga pakar yang berada di jantung proses ini – Wiratno dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Myrna Safitry dari Institut Epistema, dan Abdon Nababan dari asosiasi masyarakat adat nusantara AMAN – berbagi pemikiran mereka dalam diskusi pansel pada Kolokium Reformasi Lahan dan Tenurial Hutan di Indonesia, yang digelar oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Berikut ini adalah transkrip teredit diskusi mereka. Rekaman video diskusi bisa disimak di bawah ini.
Steven Lawry, Direktur, Penelitian Hutan dan Tata Kelola, CIFOR
Pertanyaan yang berputar beberapa waktu adalah soal peluang kemanfaatan pemberian hak memanfaatkan, mengelola, dan memiliki hutan oleh masyarakat.
Wiratno, dapatkah Anda merefleksikan bagaiman proses berjalan – keberhasilan yang dicapai dan tantangan yang dihadapi?
Wiratno, Direktur Kehutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
12,7 juta ha adalah alokasi besar, bagaimanapun ini keputusan politik. Kami tengah mempersiapkan peta usulan, mencakup area hutan produksi, hutan terlindung dan area hutan (masyarakat) adat.
Lawry:
Myrna dan Abdon, bagaimana pantauan Anda mengenai implementasi program ini terkait dengan kementerian dan partisipasi masyarakat?
Myrna Safitry, Direktur Eksekutif, Institut Epistema
Pertama, saya ingin menyampaikan rasa hormat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas kebijakan memberikan sekitar 10 persen area hutan untuk masyarakat. Walaupun ini masih di bawah harapan kami karena dalam proses konsultasi penyiapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, kami mengusulkan sekitar 40 juta ha untuk masyarakat lokal. Mengapa? Karena kami tahu ketidakseimbangan penguasaan lahan di dalam dan luar hutan di Indonesia sangat-sangat tajam. Kita dapat melihat, misalnya, dalam hutan produksi, kurang dari 3 persen dialokasikan untuk masyarakat. Artinya lebih dari 90 persen dialokasikan untuk perusahaan. Jadi, kita masih menghadapi masalah kemiskinan, pelanggaran hak asasi dan masalah lain terjadi di wilayah itu. Kita perlu menghentikan masalah ini.
Keberadaan peta sangat penting. Untuk menghasilkan peta kita harus berunding, tidak hanya antara antar pemerintah dan masyarakat, juga antar masyarakat itu sendiri.
Pemetaan adalah agenda yang perlu kita dukung.
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Pertama, kita (harus) memahami bahwa hak adat adalah hak asasi konstitusional di Indonesia. Tantangan bagi kita sekarang adalah selama 50 tahun terakhir, kita tidak memiliki administrasi atau prosedur operasional untuk mendaftarkan hak itu. Jadi kita harus mulai dari nol terkait sistem administrasi dan juga bagi penatakelolaan kelembagaan.
Bagi kami di AMAN, tidak sulit untuk menghasilkan peta yang tegas dari lapangan. Saat ini kami sudah memetakan hampir 10 juta ha wilayah adat. Kami sudah mulai memetakan sejak 15 tahun lalu. Kami hanya perlu tempat meletakkannya di peta, dan (otoritas) siapa yang akan memverifikasinya. Itu saja. Dan jika ada konflik atau klaim, mari bersama menyelesaikannya.
Gerakan masyarakat adat berkomitmen membantu pemerintah menyelesaikan pengalihan 12,7 juta ha lahan.
Jika pemerintah meminta bantuan dari masyarakat adat, memetakan 12,7 itu tidak terlalu sulit untuk dicapai. Kami optimis bisa mencapai itu pada pada 2019.
Apa yang kita perlukan sekarang tidak hanya kemauan politik dari Presiden, tetapi kepemimpinan Presiden untuk mereformasi birokrasi.
Lawry:
Ini terdengar seperti kita membangun strukturtata kelola hutan yang benar-benar baru, melibatkan hak masyarakat dan pemerintah. Sesuatu yang diperlukan, tetapi apakah arahnya ke situ?
Wiratno:
Kami merevisi regulasi kehutanan sosial, melibatkan rangkaian dialog dengan masyarakat sipil, mitra dan beragam eselon satu (Direktur Jenderal) di Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan. Ini budaya baru dan sangat penting dari awal sudah ada dialog terbuka.
Safitry:
Dalam amatan saya ini adalah proyek raksasa, jika berbicara soal mengubah budaya birokrasi. Ini berarti kita harus menemukan andalan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti Pak Wiratno. Tantangan utamanya adalah bagaimana melindungi kelompok minoritas (andalan) ini dan membantu mereka mengartikulasikan perubahan.
Masalah lain adalah kita tidak hanya berhadapan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja dalam pengalihan lahan untuk masyarakat. Terdapat Kementerian lain (terlibat), misalnya Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, Kementerian Soasial dan Kementerian Dalam Negeri. Seperti kata Abdon, kita tidak bisa menunggu dan kita tidak bisa menggarap mereka satu demi satu untuk berubah. Apa yang kita perlukan saat ini adalah kepemimpinan Presiden, karena ia yang menetapkan target. Presiden seharusnya bertanggung jawab memimpin proses ini, dengan meminta Kementerian lain bekerja, dan juga meminta pemerintah lokal sejalan dengan arah kebijakan ini.
Wiratno:
Reformasi birokrasi membutuhkan waktu, tetapi ini bukan tidak mungkin.
Kami akan menempatkan Instruksi Presiden untuk usulan area kehutanan sosial. Instruksi ini akan mencakup beberapa kementerian, selain juga gubernur dan bupati, yang semuanya akan diberi mandat mendukung agenda nasional ini.
Penting menjamin bahwa 12,7 juta ha bukan hanya angka politis.
Salah satu tantangannya adalah bekerja sama dengan pemerintah lokal mengimplementasikan skema kehutanan sosial dan memfasilitasi pengalihan lahan. Tetapi banyak provinsi menunjukkan minat seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara menunjukkan minatnya. Mereka ingin bekerja dalam kebijakan baru ini dan menerapkan kebijkan ini untuk rakyat mereka.
Lawry:
Apa peran masyarakat sipil dalam proses ini?
Nababan:
Strategi baru AMAN adalah bergerak dari konfrontasi ke pelibatan – berbagi kekuatan dan berbagi visi. Kini kita punya itu dalam Nawa Cita dan komitmen dari Presiden.
Tetapi untuk membuatnya berjalan, kita perlu bekerja sama.
Itulah mengapa kami mengusulkan membentuk Satuan Tugas Kepresidenan sebagai instrumen bagi Presiden memimpin proses ini.
Strategi kami akan bekerja dengan Kantor Kepresidenan untuk menempatkan masalah hak sebagai inti proses politik.
Safitry:
Kita harus sering melakukan dialog terbuka untuk bertukar gagasan. Kita tahu bahwa sesekali kita datang dengan perspektif berbeda, tetapi ini bukan masalah. Kita dapat belajar satu sama lain. Masyarakat sipil juga perlu memahami cara birokrasi bekerja, karena kita tidak dapat mengusulkan gagasan dan meminta pemerintah menerapkannya jika gagasan ini tidak sesuai dengan struktur organisasi, otoritas dan tugas.
Bagi masyarakat sipil, tantangannya adalah bagaimana mentransformasikan ideologi jadi langkah praktis, yang dapat mudah diadopsi pemerintah.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org