JAKARTA, Indonesia — Kebakaran lahan gambut di timur Sumatera, Indonesia pekan terakhir menimbulkan asap tebal di wilayah itu, membuat sekolah tutup, penerbangan batal, dan penangkapan petani yang dituduh pemicu kebakaran.
Saat ini, kondisi cuaca menjaga asap jauh dari negara tetangga Singapura dan Malaysia, yang ketika Juni 2013 angin meniup asap kebakaran Sumatera hingga tercatat sebagai tingkat pencemaran udara tertinggi. Krisis tahun lalu disorot dalam tajuk utama internasional dan respon cepat pemerintah: Pertemuan tingkat tinggi regional di bulan September yang mengusulkan sistem pemantauan asal lintas batas, dan awal bulan ini, Singapura menyusun undang-undang yang memungkinkan denda bagi perusahaan penyebab kebakaran di perkebunan Sumatera. Terjadinya kembali kebakaran bulan ini, bagaimanapun, menggambarkan perlunya solusi jangka panjang dan holistik masalah asap.
“Situasi ini lebih rumit daripada gambaran media, sangat fokus pada ‘titik api’, yang walaupun penting tetapi hanya berupa gambaran kasar, indikasi dari luar angkasa,” kata Peter Holmgren, direktur jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) pada audiens. “Kita perlu mendokumentasikan secara lengkap masalah di lapangan, memahami lebih baik bagaimana prioritas disusun dan keputusan diambil, dan kemudian secara aktif berbagi informasi dan pengetahuan.”
Pada titik ini, sebuah lokakarya digelar Januari di Jakarta menjadi langkah besar pertama ke arah program riset untuk lebih memahami penyebab kebakaran, menggerakan kolaborasi lebih luas pemangku kepentingan di Indonesia dan regional di semua tingkat, serta melepas hambatan kebijakan dan regulasi yang mengatur penggunaan lahan dan perlindungan kebakaran di Indonesia. Lokakarya, diselenggarakan oleh CIFOR, menarik lebih dari 50 orang – termasuk periset, pejabat pemerintah, dan tokoh komunitas, masyarakat sipil, sektor swasta dll. CIFOR telah secara ekstensif meneliti kebakaran di hutan tropis Indonesia, khususnya krisis 1997 dan kebakaran 2013.
Pertemuan ini menyoroti betapa kompleks-nya situasi di lapangan.
Terdapat kesamaan pada beberapa masalah – salah satu yang terbesar, adalah bahwa kebakaran yang menyebabkan asap tahun lalu bukan karena kebakaran hutan. Dibakar sengaja untuk membersihkan lahan gambut dan deforestasi wilayah untuk pertanian, kebakaran “disebabkan oleh manusia,” tegas Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR, pada sesi pertama lokakarya.
Sejalan dengan berlangsungnya kegiatan, lokakarya mengungkap pandangan telanjang beragam persepsi peserta mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam memicu kebakaran dan siapa yang bertanggung jawab memadamkannya; lembaga mana yang memiliki yurisdiksi dalam kebakaran, dan hukum yang diterapkan; mengapa kebakaran menyebabkan asap tebal; hingga mengenai siapa yang menderita dampak terbesar. Dari beragam presentasi dan diskusi terpisah, sebuah konsensus mula terbentuk ditengah keinginan tata kelola lebih kuat, pemantaun lebih baik, dan riset lebih banhyak.
“Masalah utama”
Banyak dari presentasi pada lokakarya menekankan pada dua tema utama: klaim tumpang tindih kepemilikan lahan, dan kontradiksi regulasi lahan dan kebakaran. Penggunaan lahan, kepemilikan lahan dan pemadaman kebakaran di Sumetera dikelola oleh kelindan hukum nasional, provinsi dan adat. Situasi ini, menurut peserta, diperburuk oleh migran pencari lahan; investasi perluasan pertanian oleh perusahaan; serta ketegangan di antara petani skala kecil, perkebunan skala menengah dan investor, dan perusahaan perkebunan. Lemahnya koordinasi di berbagai tingkat pemerintahan; kurangnya pemantauan; tidak memadainya kapasitas penegakkan hukum dan tata kelola pemadaman yang sangat tidak efektif.
“Tata kelola,” kata seorang peserta, “adalah masalah utama (di balik) semuanya.”
Dalam sebuah presentasi, peserta lain menjelaskan, sedikitnya delapan regulasi nasional mengatur kebakaran dan bencana, termasuk kebakaran Juni 2013; banyak regulasi itu bertentangan satu sama lain, katanya. Pembicara, seorang pejabat senior pemerintah, menyatakan bahwa pemerintah lokal tidak memiliki prosedur tetap memerangi api – dan dalam setiap kasus mereka lebih mengkhawatirkan kebakaran gedung daripada lahan. “Tidak satupun yang mengingatkan pemerintah lokal,” katanya, “bahwa kebakaran (lahan) di bawah kewenangan mereka.”
Menimbang tata kelola penggunaan lahan, menurut sang pejabat, hutan konservasi ada di bawah kewenangan pemerintah pusat – tetapi perkebunan (seperti sawit) dan lahan gambut di bawah kewenangan pemerintah lokal, menjadi penyebab kebingungan lebih jauh. Celah legal memungkinkan pemerintahan lokal mengijinkan perkebunan di hutan produksi yang dikontrol pemerintah pusat, sementara migran pencari lahan menguasi lahan itu secara ilegal tetapi didukung elit lokal. Hukum adat, kemudian, bertentangan dengan hukum kepemilikan lahan provinsi dan nasional.
Skenario ini menambah ketidakpastian terhadap kepemilikan lahan, kata ketua masyarakat asli di Provinsi Riau, yang terbakar paling luas pada Juni 2013. Hal ini cenderung terjadi, katanya, akibat lanskap berhutan yang dikuasai pemerintah pusat di Sumatera makin tinggi nilainya sebagai sumber pemasukan untuk dieksploitasi, memicu masuknya masyarakat migran dan bisnis agro-industri ke Riau yang memperebutkan lahan di wilayah ini. Masuknya migran ini menyingkirkan masyarakat lokal – dan pengetahuan tradisional mengenai cara membersihkan lahan dengan api tanpa menyebabkan api menyebar.
“Api dan asap adalah konsekuensi perang ini,” kata tokoh komunitas tersebut.
Peserta lain, mewakili perusahan kehutanan, tidak setuju dengan pernyataan yang menyalahkan pemilik perkebunan besar, menurutnya, kebakaran pada wilayah perusahaannya tidak hanya melanggar kebijakan jangka panjang “dilarang membakar”, tetapi juga menjadi ancaman besar pada aset mereka. “Kami bertindak cepat untuk mendeteksi dan memadamkan api di konsesi kami dan konsesi dekat kami,” katanya. Ketika kebakaran terjadi pada konsesi perusahaan, katanya, “Kami adalah korban.”
Kesenjangan dalam penelitian
David Gaveau, ilmuwan CIFOR yang mempresentasikan penelitiannya dalam lokakarya, memetakan klaim tumpang tindih kepemilikan lahan menggunakan teknologi satelit dan peta batas konsesi dari pemerintah pusat dan provinsi. Karyanya menunjukkan bahwa lebih dari separuh wilayah yang terbakar Juni 2013 berada dalam wilayah konsesi yang dialokasikan untuk industri perkebunan sawit dan akasia – walaupun 60 persen lahan ini dikuasai oleh petani kecil. Petani kecil menyatakan bahwa lahan yang mereka kuasai dalam konsesi adalah milik mereka.
Data tersebut, bagaimanapun, tidak menjelaskan siapa yang menyulut api, kata Gaveau, tetapi investigasi lapangan menegaskan bahwa pembakaran digunakan dalam konflik antara petani kecil dan perusahaan. Tidak ada alasan bisnis, katanya, bagi perusahaan membakar perkebunan produktif, walaupun data historis satelit menunjukkan bahwa perusahan menggunakan pembakaran untuk mengubah lahan hutan menjadi perkebunan pada 2005. Gaveau menyatakan bahwa cukup adil untuk menyimpulkan bahwa baik perusahaan maupun petani kecil menggunakan metode pembakaran pada waktu tertentu dalam proses konversi lahan menjadi pertanian.
Isu-isu tersebut, kata Louis Verchot, direktur hutan dan lingkungan CIFOR, hanya sebagian bidak yang bisa dibantu susun oleh riset. Program riset besar mengenai masalah asap, katanya dalam lokakarya, bisa berkontribusi pada pengurangan kebakaran, emisi karbon dan asap melalui pemahaman lebih baik penyebab sosioekonomi kebakaran; dampak kebakaran terhadap iklim dan kesehatan manusia; serta tantangan dan peluang peningkatan tata kelola.
Langkah berikut dari usulan program riset asap akan semakin terfokus pada bulan mendatang dan menjadi salah satu topik diskusi pada Pertemuan Puncak Forest Asia, 5-6 Mei – tepat saat musim kering Sumatera dimulai.
Untuk informasi lebih mengenai masalah ini, silahkan hubungi ilmuwan CIFOR David Gaveau di d.gaveau@cgiar.org
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org