Berita

“Kehidupan Masyarakat Amat Kompleks”: Mengapa Pembayaran Bersyarat Tidak Memadai untuk Perlindungan dan Pemulihan Hutan

Menurut para peneliti, REDD+ sebaiknya mengkombinasikan pembayaran dengan berbagai tindakan gabungan
Bagikan
0
Penggembalaan sapi di hutan ngitili yang dikelola secara tradisional di Shinyanga, Tanzania. Foto oleh: CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Jika Anda hidup di era 1990-an, Anda mungkin teringat iklan “bantu seorang anak” yang banyak muncul di TV. Di tengah tantangan besar dan keras seperti kemiskinan dan kekurangan nutrisi, membantu satu anak yang hanya membutuhkan “satu dolar saja sehari” menjadi usulan yang menarik.

Namun demikian, populer dan meratanya persoalan tersebut pada waktu itu, badan-badan lembaga yang melalukan iklan tersebut pada akhirnya didesak untuk mengubah patokan. Mesponsori satu orang anak dalam komunitas yang penuh dengan orang-orang yang memiliki tantangan sama yang menyebabkan perpecaham keluarga, kebingungan kultural, dan gagal menjawab problem sistematis. Kebanyakan lembaga sekarang berporos pada komunitas, lanskap, dan pendekatan-pendekatan nasional – yang mungkin kekuatan pemasarannya tidak sama, namun menawarkan lebih banyak peluang bagi perubahan yang adil dan bisa bertahan lama.

Pergeseran yang terjadi dalam persoakan REDD+, skema PBB untuk mengurangi deforestasi dan degradasi dan meningkatkan cadangan karbon. Konsep awal skema tersebut amat sederhana: untuk membantu perubahan mitigasi iklim, dengan membayar mereka yang hidup di dalam dan di sekitar hutan untuk menghentikan penebangan pohon.

Penelitian secara mendalam tentang bagaimana proyek percontohan REDD+ yang diterapkan dilapangan menunjukkan bahwa gambaran masyarakatnya lebih komplek. Hal ini menjadi bayang-bayang persoalan yang muncul dalam program-program REDD+ daerah dalam skala besar.

Perbedaan ini disorot dalam penelitian yang baru di Global Environmental Change yang berusaha untuk menghilangkan dampak REDD+ pada perilaku masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Dengan sampel 17 REDD+ inisiatif yang aktif di level subnasional di negara-negara Selatan, penulis pendamping menemukan bahwa pembayaran bersyarat (pembayaran yang dilakukan hanya jika ada bukti perlindungan hutan yang secara konsep menjadi inti dari REDD+) tidak dipahami oleh masyarakat lokal bahwa itu menjadi faktor utama untuk Keputusan-keputusan tata guna lahan oleh masyarakat lokal.

“Kami memperkirakan bahwa pembayaran bersyarat akan menjadi hal penting, namun ternyata pada akhirnya, hal itu nampaknya tidak menjadi faktor yang mendorong rumah tangga untuk melakukan perubahan penggunaan lahan yang bermanfaat bagi iklim,” ujar Erin Sills, Kepala Departemen Sumberdaya Kehutanan dan Lingkungan di Negara Bagian Carolina Utara yang juga menjadi penulis pendamping laporan tersebut. “Yang kami temukan justru, semakin banyak intervensi maka semakin besar kemungkinan Anda melihat perubahan tata guna lahan yang positif (mengurangi emisi karbon) oleh rumah tangga. Hal ini lebih mungkin jika dilakukan dengan intervensi campuran yang bersifat negative dan positif: Anda membutuhkan keduanya “hal baik dan hal buruk”.

Ini merupakan kombinasi yang meliputi dukungan pendapatan alternatif, peningkatan kapasitas, edukasi tentang manfaat yang didapatkan dari ekosistem hutan yang utuh, dan pemantauan untuk mencegah aktivitas ilegal.

​Salah satu studi kasus yang paling sukses, yang terjadi di Wilayah Shinyanga, Tanzania, menunjukkan nilai dari pendekatan multiaspek. Dalam hal ini, komunitas lokal didoring untuk melindungi dan memulihkan hutan kering setempat yang telah dikelola secara berkelanjutan di masa lalu dengan sistem ngitili yaitu menutup hutan berkayu di musim kemarau, namun pada tahun-tahun terakhir ini terancam dan terdegradasi dari penggembalaan berlebihan dan pengumpulan kayu bakar.

Dalam intervensi tersebut, penghargaan finansial untuk perlindungan hutan ngitili ditambah dengan penyediaan energi alternatif-teknologi yang efisien, mata pencaharian alternatif, dan perbaikan teknologi pertanian. Proyek REDD+ juga menyediakan pendidikan dan informasi, memperkuat hak-hak atas lahan, dan pemberian penghargaan bagi komunitas sebagai pengakuan pencapaian restorasi hutan. Hukuman dan denda diberikan untuk perusakan ngitili, juga untuk kuota dan perizinan untuk penggembalaan, kebutuhan pakan ternak, dan panen kayu.

“Kehidupan masyarakat amat kompleks (para peserta proyek REDD+), seringkali mencoba untuk mencari mata pencaharian di area yang jauh, tanpa cadangan sistem yang biasanya ada (di daerah yang lebih berkembang),” ujar Sills. “Jadi masuk akal, jika melihat lagi ke belakang, bahwa mungkin mereka hanya berkata, “oh hebat, pembayaran tunai – saya akan mengubah total kegiatan saya”, terlalu menyederhanakan bagi suatu aksi untuk menyeimbangkan kehidupan pedesaan di tempat-tempat ini.”

Di lokasi yang ada insentif bersyarat, implementasinya tidak selalu seperti apa yang direncanakan oleh para ilmuwan dan para ekonom.

“REDD+ bisa naik atau turun dalam arti pendanaan berkaitan dengan apakah sudah terdapat perjanjian internasional dan sudah ada permintaan pasar atau tidak. Baru-baru ini terjadi pergeseran fokus dari kuantitas ke kualitas dari kredit pengalihan karbon – dan sistemnya sedang disesuaikan, namun itu bagus,” ujar Sills.

“Apabila Anda di lapangan, dan sedang mencoba membangun kontrak (untuk pembayaran bersyarat REDD+), Anda membutuhkan kepastian. Jadi, ketiadaan kepastian bisa berarti bahwa insentif bersyarat  juga tidak terlalu bisa diimplementasikan seperti yang kita harapkan – dan orang juga tidak merespons seperti yang kita harapkan.”

Sementara, inisiatif-inisiatif awal REDD+ yang kami periksa dalam penelitian ini sebagian besar adalah proyek-proyek subnasional, fokus REDD+ pada umumnya beralih dari intervensi berbasis proyek menuju pada kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat nasional dan wilayah.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa tidak ada satu jawaban yang manjur: Anda tidak bisa hanya sekedar membangun program REDD+ nasional dengan pembayaran bersyarat untuk konservasi hutan dan berasumsi bahwa hanya dengan pembayaran tersebut akan mewujudkan kontribusi negara Anda untuk mitigasi perubahan iklim; perlu untuk melihat pada keseluruhan paket kebijakan dan tindakan  yang keduanya bertujuan agar berdampak pada hutan dan secara tidak langsung berdampak insentif untuk hutan,” ujar Sills.

“Jadi tidak ada jawaban yang mudah: bukan karena kami tahu bahwa insentif bersyarat itu tidak baik; hanya itu tidak memadai. Itu seperti respons rumah tangga yaitu satu set tindakan: beberapa bersyarat, yang lainnya tidak bersyarat, beberapa positif, dan beberapa yang lainnya lebih berorientasi pada penegakan peraturan. Dan menurut rumah tangga, kombinasi tindakan yang efektif yang akan membawa perubahan.”

(Visited 1 times, 1 visits today)
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org