Dada terendam di payau, air berwarna teh kecoklatan, suatu kelompok ilmuwan, menembus muara menuju hutan mangrove raksasa di Kalimantan Barat.
Tempat ini bukan tempat yang mudah untuk melakukan penelitian. Pepohonan dengan tinggi sampai 25 dengan kerapatan padat, dengan jaringan akar tunjang lebar seperti gaun menjuntai dari masing-masing pokok. Pasang laut membanjiri hutan, sementara air surut berarti bernegosiasi dengan isapan lumpur dan kawanan serangga penggigit.
Namun demikian, tim dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (FORDA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetap berkomitmen untuk mencari tahu lebih jauh mengenai ekosistem yang unik ini.
“Kami melakukan suatu penelitian dengan cara kotor,” ujar pimpinan proyek penelitian, Joko Purbopuspito, post-doctoral fellow dari CIFOR. “Anda akan basah, anda akan terkena lumpur dimana-mana, hal ini adalah tantangan.”
“Tapi pekerjaan ini krusial – kami tengah mengisi kesenjangan ilmu pengetahuan tentang total karbon yang tersimpan di ekosistem mangrove,” katanya.
Penelitian CIFOR yang terbit tahun lalu mengungkapkan betapa pentingnya hutan mangrove bagaimana hutan mangrove bisa terpuruk dalam keadaan kritis di tengah perjuangan memperlambat perubahan iklim. Seperti halnya lahan gambut tropis, hutan mangrove menyerap sejumlah besar karbon dioksida dari atmosfer, menyimpan karbon di dalam pepohonan dan tanah.
Jika hutan dialihfungsikan, semua karbon yang tersimpan akan terlepas menuju atmosfer dan memberi sumbangan pada pemanasan global.
Penelitian membuktikan bahwa hutan mangrove mengandung rata-rata seribu ton karbon per hektar, tiga kali lebih besar dari kandungan hutan daratan.
Penelitian ini krusial – kami mengisi kesenjangan ilmu pengetahuan tentang total karbon yang tersimpan di dalam ekosistem hutan-hutan mangrove.
Artinya, penggundulan hutan mangrove menyebabkan sekitar 10 persen emisi karbon dari deforestasi secara global. Padahal, luas global tutupan hutan mangrove hanyalah 0,7 persen.
Menjelajahi bawah tanah
Para ilmuwan CIFOR menemukan bahwa sekitar 49 – 98 persen karbon di hutan mangrove disimpan di bawah tanah tempat material organik membusuk dengan amat perlahan.
Mereka kini mencoba mencari tahu lebih detail mengenai jumlah karbon yang disimpan di bawah tanah – tidak hanya di tanah, namun juga pada akar.
Untuk melakukannya, mereka mendatangi muara di daerah Kubu Raya, Kalimantan Barat, lokasi konsesi pembalakan milik PT Kandelia Alam – perusahaan yang bertujuan memanen kayu mangrove untuk produksi arang dan kayu potongan secara lestari.
Ini merupakan awal dari proyek penelitian baru yang tujuannya mengukur kandungan karbon di setiap inci ekosistem mangrove – dedaunan, cabang pohon, batang pokok, tanah, sampah kayu yang terserak di lumpur – serta akar.
Spesies mangrove di dalam ekosistem ini (ada beberapa, namun yang dominan adalah Rhizopora apiculata) memiliki dua jenis akar: akar tunjang yang bergantungan dari batang pokok hingga melesak ke dalam lumpur, dan akar-akar yang menyebar di bawah tanah.
Banyak hal tentang akar tunjang telah mendapat jawaban. Namun, belum ada pengukuran yang akurat mengenai sistem akar bawah tanah mangrove pada tingkatan ekosistem (yakni mencakup seluruh spesies di wilayah tertentu).
Yang penting, panduan yang kini digunakan oleh Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB (IPCC) untuk menghitung cadangan karbon menunjukkan akar bawah tanah hanya menanggung sekitar 10 persen total biomassa pohon.
“Namun, kami percaya itu bukan angka sesungguhnya,” ujar Purbopuspito. “Angka itu berasal dari pengukuran hutan dataran tinggi – dan hutan mangrove berbeda.”
“Pada lahan basah, tanah yang halus dan berlumpur menunjukkan bahwa pepohonan yang tumbuh membutuhkan sistem akar bawah tanah yang luas untuk menopangnya,” ujarnya.
Purbopuspito dan tim gabungan CIFOR dan Litbang Kehutanan mengumpulkan dan mengukur tiap material organik pada petak melingkar dengan radius tujuh meter – salah satu dari enam petak contoh sepanjang 150 meter itu mengarah ke hutan yang banjir.
Artinya, pohon ditebang menggunakan gergaji mesin, dedaunan dipisahkan dari ranting, dahan dan akar tunjang dipotong-potong, sampah kayu dihitung, dan akar bawah tanah dicabut dari dalam lumpur dengan tangan kosong.
Lalu, mereka menimbang semua temuan di tempat serta mengumpulkan sampel-sampel kecil dari tiap jenis temuan untuk dibawa ke laboratorium. Di sana, mereka akan menganalisa kandungan karbon.
Ketimpangan pengetahuan
Dengan memiliki sekitar tiga juta hektar lahan mangrove, Indonesia menawarkan pasokan 21 persen kandungan yang tersisa di dunia.
Selain menyimpan karbon, hutan mangrove menyokong hewan-hewan yang terancam punah, termasuk kera bekantan; menyediakan sumber makanan bagi ikan-ikan santapan masyarakat pesisir; dan melindungi garis pantai dari pasang akibat badai, tsunami, dan efek lain perubahan iklim.
Kita kehilangan hutan mangrove dengan cepat, jadi kita perlu tahu secara persis apa yang tengah terjadi tentang simpanan karbon, dan bagaimana dampaknya terhadap perubahan iklim.
Namun, tembok perbatasan hijau Indonesia kian rusak karena beralih fungsi menjadi tambak udang dan perkebunan sawit.
Sayangnya, meskipun ancaman mengintip, hutan mangrove di Indonesia belum mendapat perhatian cukup untuk penelitian, kata Adi Susmianto, Direktur Kepala Pusat Konservasi dan Rehabilitasi, Litbang Kehutanan.
“Sejujurnya, penelitian mangrove sedikit tertinggal dibandingkan dengan masalah-masalah hutan tropis,” ujarnya.
“Tidak banyak pakar masalah mangrove – hanya sedikit sekali ilmuwan yang punya kapasitas mengkaji ekosistem mangrove.”
“Secara teknis, penelitian mangrove juga butuh banyak sumber daya. [Hutan mangrove] menjadi lokasi penelitian yang mahal,” tegasnya.
Ilmuwan senior CIFOR, Daniel Murdiyarso tengah bekerja dengan IPCC guna mengembangkan pedoman baru perhitungan cadangan gas rumah kaca di lahan basah – yang diharapkan mencakup hasil penelitian di Kalimantan.
Menurut Murdiyarso, banyak negara –negara dan para pengambil kebijakan kekurangan data tentang mangrove, bahkan data dasar tentang mangrove.
“Ekosistem ini tidak diindahkan. Lahan ini telah lama dianggap sebagai tanah buangan, atau lahan pinggiran – dan orang cenderung tidak memperhatikannya secara serius.”
Namun, menurutnya, penemuan terbaru menunjukkan bahwa hutan mangrove terlalu penting untuk dilupakan.
“Situasinya gawat,” ujarnya.
‘Kita kehilangan hutan mangrove dengan sangat cepat, jadi kita harus benar-benar tahu apa yang sedang terjadi terkait dengan cadangan karbon dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi perubahan iklim.”
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR tentang Forests, Trees and Agroforestry dan didukung oleh USAID.
Untuk keterangan lebih lengkap tentang riset lahan basah CIFOR, kunjungi: Sustainable Wetlands Adaptation and Mitigation Program (SWAMP)
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Addressing climate change adaptation and mitigation in tropical wetland ecosystems of Indonesia
Carbon storage in mangrove and peatland ecosystems
Mangrove conservation grapples against development
Qatar’s mangroves: Why they matter for climate change
Why negotiators at Doha should care about the world’s forgotten mangroves
Boosting Indonesia’s wetlands science is key to tackling climate change
Mangroves being destroyed at “an alarming rate” yet not mentioned in Rio+20’s zero draft