Berbagi tawa dan saling menyemprot, Yasuke Okimoto (Oki) dan Sigit Deni Sasmito membersihkan diri setelah melakukan riset seharian di hutan mangrove di Kalimantan.
“Meneliti mangrove di lapangan itu seperti bermain-main dalam lumpur – layaknya taman bermain, kami harus memanjat dan menuruni akar-akar tunjang seperti kera,” ujar Oki, ilmuwan Jepang dari Center for International Forestry Research (CIFOR) yang telah bertahun-tahun bekerja di hutan-hutan mangrove di Indonesia, Vietnam, dan Thailand.
Sigit, peneliti muda Indonesia yang baru satu tahun berkarir di CIFOR – namun ia sudah bekerja di salah satu lingkungan hutan paling menantang.
“Saya memakai sepatu selam untuk scuba diving, karena jika memakai sepatu bot akan terjebak di lumpur. Saya juga terlindung dari gigitan serangga-serangga kecil,” ujarnya.
“Mencabut akar mangrove dari dalam lumpur untuk menilai cadangan karbon butuh tenaga ekstra.”
“Kami harus tangguh,” tambah Oki.
Namun, tak peduli lumpur dan nyamuk, keduanya menikmati pekerjaannya.
“Saya mencintai pekerjaan di hutan mangrove – ini lebih baik daripada bekerja di kantor,” kata Sigit.
“Berat badan saya ketika bekerja di lapangan bahkan bertambah karena kami menyantap begitu banyak makanan nikmat seperti kepiting, udang dan ikan yang hidup di lingkungan mangrove – dan kami bisa memancing ikan bersama para pekerja dan mitra.”
“Saya mendapat tujuh ikan dan Oki hanya dapat enam. Saya pemenang lomba memancing ini!”
Kedua ilmuwan muda itu mengerjakan proyek CIFOR yang berkaitan dengan pengukuran total tangkapan karbon dari berbagai jenis ekosistem mangrove dengan perhatian khusus pada biomassa akar bawah tanah pepohonannya, yang hingga kini belum banyak diteliti.
Ini kali pertama dalam sejumlah kunjungan ke lokasi yang sama – konsesi pembalakan di Kubu Raya, Kalimantan Barat – dan para ilmuwan belum sanggup mendapat informasi akurat mengenai jadwal pasang-surut laut setempat.
Artinya, selama sepekan penelitian, air surut terjadi ketika malam. Hal ini menimbulkan sejumlah tantangan ekstra.
Tim peneliti harus menembus mangrove ketika air masih setinggi dada – dan hal itu menyebabkan pengambilan sampel tanah menjadi sulit. Pasalnya, sampel-sampel itu harus dikumpulkan dekat dengan waktu air surut.
“Kami diperingatkan oleh warga setempat bahwa buaya muara mulai muncul di malam hari, yakni mulai pukul 6 sore hingga 6 pagi,” ujar Oki.
“Namun, karena kami kesulitan dengan ketinggian air pasang, kami harus menunggu hingga petang dalam mengumpulkan sampel tanah serta melakukan pengukuran tingkat keasaman serta kadar garam.”
“Atasan kami memberitahukan bahwa ketika larut malam, ketinggian air akan cukup bagi kami untuk melakukan pengukuran. Ia bilang, “Oki, Sigit, ayo kita ke lapangan malam-malam saat buaya berkeliaran. Kalian berani atau tidak?”
Untungnya, ia hanya bergurau – dan mereka berhasil mengambil sampel tepat sebelum senja datang dan kembali ke base camp tanpa harus berhadapan dengan reptil berukuran besar.
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR tentang Forests, Trees and Agroforestry dan didukung oleh USAID.
Untuk keterangan lebih lengkap tentang riset lahan basah CIFOR, kunjungi: Sustainable Wetlands Adaptation and Mitigation Program (SWAMP)
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org