Bagikan
0

Bacaan terkait

Produksi minyak sawit berkelanjutan di Indonesia memerlukan strategi lebih besar yang mendorong petani mandiri mengadopsi standar sertifikasi non-negara yang didesain untuk memberi akses pada pada pasar global dan meningkatkan panen berkelanjutan, kata para ilmuwan.

Meskipun kebijakan publik vital dalam mencegah ekspansi pertanian di titik penting keanekaragaman hayati dan kawasan konservasi tinggi, mekanisme berbagi biaya dan risiko dalam mensertifikasi petani yang memproduksi 40 persen minyak sawit Indonesia tetap diperlukan. Termasuk dalam hal ini, dukungan dari pemangku kepentingan lain dalam rantai pasok, serta juga dari anggota Meja Bundar Sawit Berkelanjutan (RSPO), salah satu kelompok sertifikasi global terbesar untuk  petani.

Hal-hal tersebut merupakan temuan sebuah penelitian terbaru yang didukung Badan Pembangunan Internasional AS dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Pada 2025, Indonesia membutuhkan tambahan 6 juta hektare perkebunan untuk memenuhi permintaan global minyak sawit. Di tengah upaya mencapai target ini, pemerintah mengadopsi kebijakan untuk melakukan intensifikasi perkebunan yang ada secara berkelanjutan, meningkatkan produktivitas melalui program peremajaan dan secara permanen berhenti mengeluarkan izin kelapa sawit di hutan primer dan lahan gambut.

Standar wajib yang lebih kokoh dan implementasi sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) juga dirancang untuk menjamin produksi kelapa sawit berkelanjutan.

Partisipasi dalam RSPO juga turut memperkuat standar, dengan memberi insentif pada produsen agar mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial dalam usaha mereka.

Menurut data 2019, lebih dari separuh dari total kawasan perkebunan sawit dunia yang tersertifikasi RSPO berada di Indonesia, dan sebagian besar dikelola oleh perusahaan besar. Petani produsen – yang mulai mengadopsi kelapa sawit di Indonesia pada akhir 1970-an, dalam program pembangunan desa pemerintahan Soeharto – berkembang pesat dalam segmen ini. Sebagian petani tersebut mengelola lahan secara mandiri dan bergantung pada lembaga swadaya masyarakat (LSM), perusahaan atau aktor lain untuk mendapatkan pembiayaan, pelatihan dan akses pasar. Melalui Kementerian Perkebunan, pemerintah juga memberikan dukungan.

“Fasilitasi LSM pada organisasi petani menjadi krusial, bukan hanya pada fase awal tetapi juga ketika kelompok mendapat manfaat langsung dari sertifikasi,” kata Ernawati Apriani, ketua penulisan laporan yang terdaftar di Sekolah Kehutanan Universtias Northern Arizona di bawah supervisi Yeon-Su Kim. “Pembagian manfaat organisasi petani dengan seluruh anggota terdaftar terbukti meningkatkan minat petani lain untuk menjadi anggota.”

Dalam upaya lebih memahami bagaimana beragam pemangku kepentingan mempersepsi sertifikasi RSPO, penulis melakukan survei terhadap 181 petani mandiri tersertifikasi di dua lokasi di Provinsi Jambi. Menurut penelitian ini, sebagian besar responden kurang memahami tantangan dalam proses sertifikasi, namun mengakui perlunya dukungan LSM.

Manfaat finansial langsung menjadi faktor pendorong bagi petani melanjutkan sertifikasi dan untuk petani lain mau bergabung dengan kelompok, ketika manfaat tersebut dibagikan secara merata dalam bentuk yang bukan uang dan komunal, seperti pembagian pangan, tulis penelitian. Meningkatnya pengakuan sosial terhadap petani tersertifikasi dan akses pada wahana perdagangan PalmTrace atas kredit RSPO juga memengaruhi keputusan petani untuk mendapatkan keanggotaan.

RSPO adalah sistem sertifikasi sukarela yang mengharuskan produsen sawit mematuhi kriteria berkelanjutan agar dapat memasuki pasar internasional. Sistem ini berperan sebagai peluang dan sekaligus hambatan bagi petani. Mempertimbangkan banyak elemen umum RSPO dan ISPO dalam mempromosikan kelapa sawit berkelanjutan, berbagai upaya dilakukan untuk menerapkan sistem sertifikasi yang lebih efisien dan memuaskan keinginan perusahaan dan petani.

Baru-baru ini pemerintah memperkuat sistem ISPO, yang kini menjadi mandatori bagi seluruh pelaku termasuk petani. Langkah ini tidak hanya membantu mengamankan tenurial lahan bagi petani – sebagai salah satu persyaratan keanggotaan RSPO – tetapi juga memberi insentif untuk mengadposi praktik berkelanjutan. Kedua sistem bisa mendapat manfaat dari makin besarnya penerimaan dari konsumen global, kata Ernawati.

“Pemerintah Indonesia perlu memfasilitasi isu tenurial lahan serta hambatan legal yang sering dihadapi para petani yang berminat pada keberlanjutan dan memasuki pasar global,” tambahnya. “Regulasi kuat perlu diikuti dengan implementasi kolaboratif. Pendekatan yurisdiksional sawit yang tengah berlangsung merupakan salah satu jalan untuk menjaga aksi kolaboratif yang dilakukan untuk seluruh aktor di rantai nilai.”

Viabilitas dan skalabilitas jangka panjang sertifikasi RSPO bergantung pada peningkatan kapasitas mereka yang ada di bawah rantai pasok, seraya memersiapkan strategi keluar bagi LSM ketika petani telah tersertifikasi, kata para penulis. Meskipun demikian, Uni Eropa yang telah berencana menghapus kelapa sawit dari sumber terbarukan biofuel pada 2030, mengancam perdagangan internasional dan memicu pertanyaan mengenai kesinambungan upaya sertifikasi.

Pelarangan kelapa sawit, menurut para penulis, hanya akan menggeser masalah lingkungan pada tanaman lain. Justru, pemerintah dan aktor non-pemerintah perlu bekerja sama untuk mengelola produksi kelapa sawit secara berkelanjutan, sementara kelompok masyarakat sipil terus mendorong kesadaran publik mengenai manfaat sertifikasi sukarela maupun mandatori, tulis para peneliti.

“Temuan ini dapat digunakan untuk menargetkan partisipasi dini proses sertifikasi RSPO, yang kemudian memotivasi kelompok petani untuk terlibat,” kata Himlal Baral, ilmuwan senior CIFOR yang berkontribusi dalam penelitian ini. “Informasi ini akan juga membantu desain strategi yang sesuai dalam fasilitasi keanggotaan bagi petani mandiri.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Himlal Baral di h.baral@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org