Ilmuwan menyoal polusi asap kebakaran hutan di Indonesia
Sementara mata dunia terpaku pada mengerikannya kebakaran hutan Amazon, di sisi lain bumi, hutan hujan Indonesia juga membara.
Dalam delapan bulan pertama 2019, lebih dari 300.000 hektare lahan hangus terbakar. Pekan ketiga September terjadi lonjakan peringatan kebakaran di Indonesia. Menurut Global Forest Watch, sejumlah 8.903 peringatan kebakaran tercatat dua kali lebih banyak daripada rata-rata periode yang sama tahunan.
Situasinya menjadi lebih rumit karena 43 persen kebakaran terjadi di lahan gambut. Rawa kaya karbon ini menjadi rentan api saat dikeringkan dalam proses konversi menjadi perkebunan komersial, seperti kelapa sawit. Terbentuk selama ratusan tahun, karbon purba yang terkunci di dalam lapisan padat gambut terlepas saat kebakaran. Akibatnya, tingkat CO2 meningkat dan berkontribusi pada perubahan iklim global.
Inilah alasannya, mengapa kebakaran di ekuator Asia, wilayah termasuk negara seperti Indonesia yang memiliki hutan rawa gambut luas, bengkontribusi atas 8 persen emisi karbon global dan 24 persen emisi metana meski hanya 0,6 persen wilayah dunia yang terbakar.
Lahan gambut Indonesia merupakan salah satu ekosistem paling unik di bumi, rumah bagi spesies terancam seperti orangutan endemik Sumatera. Dalam Daftar Merah IUCN spesies ini masuk dalam kategori terancam punah.
Kebakaran lahan gambut bisa membara di bawah permukaannya selama berbulan-bulan, hingga sangat sulit dideteksi dan dipadamkan. Material lembap justru menciptakan lebih banyak asap dibanding kebakaran hutan lain.
Kabut asap beracun akibat kebakaran tersebut memicu kekhawatiran bagi Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sejauh ini, lebih dari 300.000 orang mengalami infeksi saluran pernafasan akut di Provinsi Riau dan Jambi, di Indonesia saja. Sekolah terpaksa ditutup di Indonesia dan Malaysia, sementara penerbangan juga dibatalkan akibat pendeknya jarak pandang.