Bagikan
0

Bacaan terkait

Pada September, para pakar global, pemimpin dunia dan pejabat tinggi PBB berkumpul di New York dalam rangka  upaya negosiasi menghentikan krisis iklim yang tengah terjadi. Solusi berbasis-alam, antara lain konservasi hutan dan reforestasi menempati posisi penting dalam agenda. Duo aktivis Greta Thunberg dan George Monbiot menyebut pepohonan sebagai “mesin ajaib penyerap karbon dari udara dengan biaya sangat murah.”

Hutan dan pohon memang menyimpan banyak janji: Melindungi dan merestorasi hutan dunia, berbarengan dengan solusi berorientasi lahan lainnya, mampu menghasilkan sepertiga reduksi emisi yang diperlukan untuk menjaga agar pemanasan global pada 2030 tetap berada di bawah 2 derajat Celsius sebagaimana telah disepakati dalam Perjanjian Paris PBB. Sayangnya, konservasi hutan dan restorasi pada skala yang diperlukan membutuhkan upaya lebih besar dari pada sekadar membacakan mantra. Upaya ini menghadapi tantangan besar dan rumit.

Dalam lebih dari satu dekade, REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) diharapkan mampu menjadi bagian dari solusi. Namun, di tengah kegembiraan awal menyambut implementasi inisiatif REDD+ di tingkat nasional, daerah dan lokal, masih jarang bukti mengenai bagaimana, kapan dan dalam kondisi apa REDD+ berjalan baik.

“Saya sangat berharap pengukuran dampak menjadi bagian integral dari upaya REDD+,” kata Arild Angelsen, seorang profesor ekonomi Ilmu Hayati Universitas Norwegia dan ketua editor publikasi ilmiah Transformasi REDD+: Pelajaran dan arah baru, yang dipublikasikan pada 2018. “Ternyata saya terlalu optimis, dan saya kecewa atas betapa sedikitnya penelitian dampak yang telah dilakukan.”

Pekan lalu, para peneliti dan mitra Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menyajikan beberapa penelitian yang sedang dilakukan terkait evaluasi dampak dalam konteks REDD+ pada Kongres Dunia XXV IUFRO 2019 di Curitiba, Brasil dengan menyajikan sebagian isi buku.

Dua temuan mengejutkan

Transformasi REDD+, telah merangkum  implementasi REDD+ sejauh ini dan mendedikasikan tiga bab untuk menelaah asesmen dampak yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun lokal. Bab-bab tersebut menjelaskan mengapa kurang solidnya evaluasi dampak – termasuk skenario kontra-faktual dan data dasar – menjadi masalah, sekaligus menunjukkan peluang untuk melakukan evaluasi secara lebih baik di masa datang.

Amy Duchelle, ilmuwan senior CIFOR, pemimpin tim penelitian perubahan iklim dan salah seorang editor buku tersebut menyatakan, penelitian terkait evaluasi dampak REDD+ menghadirkan dua kejutan:

“Meskipun setiap jenis bukti memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri, kami terkejut dengan sangat sedikitnya evaluasi dampak yang telah dilakukan dalam ruang REDD+, apalagi hal ini sudah menjadi topik hangat selama lebih dari 10 tahun,” katanya.

Padahal, fokusnya terletak pada mengevaluasi dampak proyek dan tidak terlalu pada elemen kebijakan REDD+, meski REDD+ dirancang untuk diimplementasikan di tingkat nasional. Menjelaskan preferensi untuk evaluasi tingkat proyek, Angelsen menambahkan, “Harus diakui, tantangannya lebih besar untuk menyusun kontrafaktual yang realistis untuk yurisdiksi nasional atau subnasional.”

Dalam menelaah evaluasi yang masih sedikit mengenai kebijakan konservasi hutan, penulis menemukan, meski tampaknya berkontribusi pada konservasi hutan, kebijakan nasional tidak se-efektif tujuan semula.

“Kedua, kami terkejut dengan kurangnya fokus pada dampak terhadap hutan dari intervensi REDD+, mengingat bahwa perubahan tutupan hutan dan stok karbon relatif lebih mudah terukur dibanding dampak sosial,” kata Duchelle.

Berdasar pada kelangkaan bukti yang tersedia mengenai dampak REDD+ di tingkat lokal, bab lain dalam buku menyimpulkan, terkait pada konservasi hutan dan karbon, upaya-upaya tingkat lokal memberikan hasil yang kurang menggembirakan. Bab ketiga buku menelaah lebih dekat pada apa yang diketahui mengenai bagaimana intervensi REDD+ memberi dampak pada kesejahteraan dan penghidupan masyarakat. Terkait hal ini, hasilnya kecil atau tercampur, namun akan menjadi positif saat ditawarkan insentif.

Angelsen menyatakan, sejatinya evaluasi dampak sulit dilakukan, meskipun ia juga menunjukkan potensi alasan lain mengapa sedikit sekali penelitian dilakukan. “Asesmen proyek dan kebijakan berisiko menjadi proponen, dan jika pun mereka meminta evaluasi independen, mereka tidak punya kendali.”

Era baru REDD+

Meski terdapat kekurangan bukti dari evaluasi dampak yang teliti, jelas bahwa inisiatif REDD+ belum sampai menghentikan deforestasi tropis. Secara umum, hutan tropis terus menyusut, meski beberapa tren menggembirakan dapat teramati di negara seperti Indonesia. Walaupun, kebakaran baru-baru ini makin menegaskan untuk mengelola  hutan tersisa.

Namun, REDD+ bisa jadi memasuki era baru.

Pertama, Perjanjian Paris mendorong implementasi REDD+ untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Melangkah maju, negara harus melaporkan komitmennya, dikenal sebagai Komitmen Kontribusi Nasional (NDC), termasuk reduksi emisi berbasis hutan. Lebih dari 50 negara telah memasukkan REDD+ dalam NDC-nya, meski di banyak tempat masih diperlukan kebijakan dan tindakan yang transparan dalam menghadapi deforestasi.

Inilah alasannya mengapa evaluasi tindakan kebijakan yang memberi dampak di tingkat nasional dan subnasional menjadi penting – karena tanpa pembelajaran dari apa yang berjalan di masa lalu, mengambil keputusan kebijakan yang terinformasi menjadi sulit.

Kedua, pembiayaan berbasis hasil REDD+ mulai mengalir. Tahun ini, Dana Iklim Hijau berjanji membayar 96 juta dolar AS kepada Brasil atas penurunan deforestasi. Pemerintah Norwegia telah memberi Indonesia dan Gabon pembiayaan berbasis hasil untuk perlindungan hutan. Selain itu, Kalifornia telah menyepakati Standar Hutan Tropis, yang memberi jalan bagi negara bagian tersebut berinvestasi untuk konservasi hutan tropis.

“Beberapa gagasan orisinal REDD+, khususnya komitmen pada pembayaran berbasis hasil pada tingkat yurisdiksi, mulai terwujud saat ini,” kata Duchelle. “Dalam konteks inilah, penelitian kami menjadi lebih penting, karena dapat membantu menginformasi apa yang akan terjadi di lapangan.”

Banyak belajar, banyak perolehan

Agar bisa benar-benar memenuhi janji REDD+, diperlukan pemantauan dampak yang lebih teliti dan meluas. Perencanaan dini, investasi di muka dan pengumpulan data dasar menjadi salah satu rekomendasi buku bagi pelaksana REDD+.

“Para donors bisa membuatnya menjadi syarat bagi penerima dana: Masukkan asesmen dampak independen dan teliti dalam rencana dan anggaran Anda,” kata Angelsen.

Memang, Dana Iklim Hijau, yang mampu menyediakan jutaan dolar untuk konservasi hutan di tahun-tahun mendatang, telah siap menuju ke arah ini. Berkolaborasi dengan pelaksana, Unit Evaluasi Independen-nya bekerja untuk menjaga agar asesmen dampak yang teliti terintegrasi dalam proyek sejak awal. Menimbang besaran dana yang tersedia, hal ini bisa menjadi langkah awal untuk maju mewujudkan persyaratan ini menjadi sesuatu yang normal.

Duchelle menyatakan, kontribusi CIFOR dalam diskusi REDD pada Kongres IUFRO dan tempat lain bermaksud memberi kritik konstruktif, bukan bertujuan meruntuhkan apa yang telah ada.

“Kami mengambil langkah ke belakang dan mencoba memahami apa yang berhasil, di mana, bagaimana, mengapa dan dengan biaya berapa, agar tujuan utama REDD+ dapat tercapai – bukan hanya untuk kemanfaatan iklim, namun manfaat pembangunan berkelanjutan lebih luas yang sejalan dengan upaya menghindari deforestasi.”

 

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Amy Duchelle di a.duchelle@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org