Menilai kesuksesan restorasi bentang alam hutan: Menyorot isu tenurial
Inisiatif ambisius Tantangan Bonn 2011 tentang restorasi bentang alam hutan global (FLR) yang bertujuan memulihkan 150 juta hektar lahan terdeforestasi dan terdegradasi di tahun 2020, suatu tujuan bahwa Deklarasi New York tentang hutan di tahun 2014 perlu untuk diperluas menjadi 350 juta hektar pada tahun 2030.
Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (ROAM) yang dikembangkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan World Resources Institute (WRI) telah menjadi salah satu alat penting memfasilitasi rencana pembangunan nasional dan sub-nasional.
Sering digunakan bersamaan dengan sistem Diagnosis Restorasi dari WWF, metode ini menilai sejauh mana faktor-faktor kunci keberhasilan pelaksanaan FLR, termasuk menyediakan kerangka kerja analisis yang memungkinkan negara-negara mengidentifikasi kesesuaian teknik dan prioritas wilayah restorasi.
Hasil riset yang menganalisis insentif bagi masyarakat dan petani kecil untuk terlibat dalam praktik restorasi hutan, seperti perbaikan hutan alam, agroforestri, dan penanaman kayu, diketahui bahwa kejelasan dan keamanan hak penguasaan (lahan) berkontribusi sebagai faktor utama pelaksanaan praktik-praktik restorasi.
Menyadari akan pentingnya isu tenurial, dalam buku panduan ROAM dituliskan petunjuk-petunjuk yang mendorong para praktisi untuk menilai bagaimana hak kepemilikan di wilayah target restorasi yang ditujukan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan restorasi bentang alam hutan. Proses ROAM diselenggarakan secara fleksibel agar negara-negara dapat menyesuaikan proses sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas masing-masing.
Untuk mengetahui apakah dan bagaimana proses ini mempertimbangkan kepemilikan dan isu-isu terkait tata kelola dan keadilan, pada 2017, Rebecca McLain (penulis) bekerja sama dengan peneliti CIFOR yaitu Steven Lawry, Manuel Guariguata dan James Reed meninjau laporan ROAM di negara Brasil, Etiopia, Ghana, Guatemala, Pantai Gading, Malawi, Rwanda, dan Uganda.
Tim peneliti menemukan bahwa hamper di seluruh laporan ROAM terdapat analisa kebijakan dan kelembagaan yang membahas tenurial dan isu-isu tata kelola terkait. Namun, satu sama lain sangat berbeda dalam jumlah detil yang dimasukkan. Beberapa memberikan sedikit atau tidak ada sama sekali informasi tentang kepemilikan yang aman atau tidak aman, namun ada laporan yang mengidentifikasi sub-kelompok tertentu dengan kepemilikan yang tidak aman (seperti petani migran di Ghana, perempuan di Malawi) termasuk memberi gambaran lembaga-lembaga yang tidak memiliki kapasitas untuk menegakkan hukum dan kesulitan penegakan undang-undang khusus.
Dilaporkan juga identifikasi ketidakberdayaan hak sebagai salah satu faktor penghambat upaya peningkatan restorasi bentang alam hutan. Namun, dalam banyak kasus, cakupan hak dan tanggung jawab individu atau masyarakat terhadap pohon, hutan, atau lahan di bawah undang-undang atau hukum adat tanpa ada perhatian khusus. Hanya laporan dari negara Malawi yang membahas perbedaan jender dalam hak penguasaan, namun tidak ada laporan yang mempertimbangkan bagaimana hak-hak masyarakat yang mengandalkan hidup dari beternak sekaligus berkebun dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pelaksanaan restorasi bentang alam hutan.
Sisi bagusnya laporan ROAM memberikan wawasan tentang tantangan-tantangan terkait isu tenurial yang kemungkinan dihadapi oleh para praktisi saat pelaksanaan restorasi bentang alam hutan. Hasil identifikasi laporan ditemukan tantangan-tantangan utama seperti lemahnya hak dan ketidakamanan hak bagi masyarakat dan individu, termasuk lemahnya penegakan hukum, keterbatasan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang hutan, dan kurangnya koordinasi antar sektor, aktor dan berbagai tingkat.
Laporan dari lima negara yaitu Ghana, Guatemala, Malawi, Rwanda, dan Brasil menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak konsisten di seluruh sektor dapat mengacaukan insentif restorasi. Laporan dari Ghana, Malawi, Rwanda, dan Uganda mengidentifikasi konflik atas cadangan hutan atau woodlots antara negara dan masyarakat sebagai tantangan. Laporan dari Ghana, Malawi, dan Ethiopia (Negara Bagian Amhara) ditemukan skema pembagian manfaat yang tidak adil dianggap sebagai masalah. Usulan solusi untuk mengatasi masalah tenurial dan tata kelola termasuk pengakuan hak adat/ masyarakat, sertifikasi masyarakat dan lahan yang dimiliki secara individual, memperluas hak penggunaan masyarakat atas hutan alam, dan mengadopsi pendekatan yang lebih partisipatif untuk pengelolaan hutan.
Peninjauan oleh tim CIFOR menunjukkan adanya kebutuhan mendesak melakukan diagnosa spesifik penguasaan lahan untuk melengkapi buku pegangan ROAM dan Diagnosis Restorasi. Diagnosis semacam itu dapat memfasilitasi deskripsi sistematis tentang hak dan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemilik lahan dan pengguna lahan berkaitan dengan pohon, hutan dan lahan, serta apakah dan bagaimana hak dan keamanan hak tersebar secara diferensial di seluruh kelompok sosio-demografis. Diagnosa penguasaan lahan yang diintegrasikan ke dalam penilaian ROAM akan memungkinkan perencanaan restorasi mengidentifikasi dan memasukkan ke dalam area analisis di mana sejumlah besar masyarakat kekurangan atau memiliki hak lemah akan lahan, hutan dan pohon, serta dimana terdapat kekurangan insentif akan investasi tersebar luas dalam rencana restorasi.
Akan tetapi, agar efektif, diagnosis tenurial ROAM perlu difokuskan tidak hanya pada alokasi hak di atas kertas (atau pada prinsipnya dalam kasus hak-hak adat yang tidak diratifikasi), tetapi juga pada penilaian hak-hak sebagaimana terjadi dalam praktik. Meskipun hak di atas kertas (atau pada prinsipnya) adalah penting, pada akhirnya keputusan investasi restorasi didorong oleh hak-hak yang sebenarnya terlihat baik oleh pemilik tanah atau pengguna lahan. Menambahkan diagnosis spesifik penguasaan lahan ke perangkat ROAM akan memudahkan penilaian hak dalam praktik dan mendapatkan perhatian yang layak terhadap kesempatan hak tenurial.
This article originally appeared on Landscape News.
This research was supported by funding from the CGIAR research program on Policies, Institutions and Markets.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org