Berita

Perjuangan Merestorasi Hutan Terdegrasi di Sejumlah Negara di Lembah Kongo

Restorasi bentang alam hutan menjadi prioritas utama – namun hambatan structural masih mengganjal
Bagikan
0
Persemaian pohon di Desa Ngon di Ebolowa, Kamerun. Foto oleh: Ollivier Girard/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Hutan Afrika Tengah yang sejak lama terjaga, kini semakin terdeforestasi dan terdegradasi. Dalam menghadapi ancaman kritis terhadap keberadaan ekosistem ini, para ahli mengatakan bahwa restorasi bentang alam hutan (FLR) telah ditetapkan sebagai prioritas, dan respon nasional di negara-negara di sub-kawasan ini tampak kuat. Dalam laporan terbaru mengenai kondisi hutan Lembah Kongo yang disusun oleh Pusat Observasi Hutan Afrika Tengah (OFAC), para penulis mencatat bahwa sejumlah komitmen dan strategi negara dimulai dalam kerangka FLR, sementara pendanaan signifikan digelontorkan dan beberapa proyek kecil yang sudah berjalan.

Para penulis Bab 12 laporan ini mendefinisikan FLR sebagai “sebuah proses jangka panjang yang berupaya menekan degradasi ekosistem hutan yang ada dan/atau memperbaikinya, agar dapat memperbaiki lingkungan hidup masyarakat lokal secara berkelanjutan”. Hal ini memerlukan perubahan peraturan.

Interaksi antara dinamika alam dan sosial, dan dapat mencakup upaya rehabilitasi hutan seperti perkebunan, bantuan regenerasi alami, atau pengelolaan air dan tanah pada kawasan yang merupakan milik pribadi atau milik bersama.

Dua penyebab utama hilangnya tutupan hutan di zona lembab Afrika Tengah adalah tebang-dan-bakar serta pertanian subsisten. Eksploitasi kayu bakar, penggunaan api pastoral secara berlebihan, peternakan, agroindustri, pertambangan, dan pendirian kamp pengungsi merupakan faktor pendorong utama lain yang mempunyai dampak lokal signifikan. Selain pembuatan jalur untuk penebangan hutan yang memicu pembukaan ladang akibat meningkatnya populasi, inkonsistensi dalam kebijakan publik internasional juga menjadi penyebab, melalui proyek hutan tanaman yang bertujuan mengurangi tekanan terhadap hutan alam namun ditinggalkan pada 1990-an.

Melalui Tantangan Bonn, sebuah upaya global untuk menghutankan kembali 350 juta hektare bentang alam terdegradasi dan terdeforestasi pada 2030, sejumlah negara Afrika Tengah berkomitmen untuk membalikkan tren degradasi hutan dan lahan. Targetnya mencakup restorasi 12 juta hektare di Kamerun, 8 juta hektare di Kongo, 3,5 juta hektare di Republik Afrika Tengah, masing-masing 2 juta hektare di Burundi, Rwanda, dan Kongo, serta 1,4 hektare di Chad. Komitmen ini dilaksanakan di bawah Inisiatif Restorasi Lanskap Hutan Afrika (AFR100), yang merupakan Tantangan Bonn versi Afrika. AFR100 juga berkontribusi pada Inisiatif Bentang Alam Resilien Afrika (ARLI), Agenda Uni Afrika 2063 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Struktural jadi tantangan

Pada 1975, pemerintah Kamerun membentuk komite provinsi untuk memerangi kekeringan di wilayah utara yang gersang; melalui kampanye bernama Operasi Sahel Hijau, dilakukan reboisasi besar-besaran. Kampanye ini diluncurkan kembali pada 2006, setelah Kamerun merancang Rencana Aksi Nasional untuk Memerangi Desertifikasi (NAP/LCD) dalam upaya untuk mematuhi komitmennya terhadap UNCCD. Kamerun juga telah menerapkan sistem restorasi berbasis petak untuk mengatasi degradasi lahan di kawasan penanaman kapas di bagian utara: antara 2004 dan 2017, tindakan untuk mengembangkan kebiasaan menjaga kesuburan tanah di kalangan produsen kapas diperkirakan dilakukan pada 2 juta hektare lahan terdegradasi. Selain itu, negara ini telah berkomitmen untuk melaksanakan inisiatif Tembok Hijau Raksasa, untuk meningkatkan jumlah lahan subur di wilayah Sahel. Hal ini juga memvalidasi Program Pembangunan Hutan Tanaman Nasional (NPFDP) pada 2019 dan mendukung kontribusi penelitian pada pengembangan aksi FLR.

Namun, banyak upaya besar Kamerun ini terhambat oleh masalah struktural. Damas Mokpidie, pakar tata kelola kehutanan di Komisi Kehutanan Afrika Tengah (COMIFAC) dan salah satu penulis laporan, mengatakan berbagai kementerian pemerintah beroperasi dan bertindak secara terpecah, padahal FLR memerlukan tindakan lintas sektor. “Hal ini menghasilkan pendekatan lokal yang kontradiktif dan berujung pada konflik pertanahan,” katanya. Permasalahan struktural lainnya adalah lemahnya penelitian nasional di bidang ekologi hutan, kehutanan, agronomi, dan hutan tanaman. Hal ini “terutama terkait dengan kurangnya stabilitas pendanaan, yang menjadi hambatan dalam merangsang inovasi yang diperlukan untuk FLR di lapangan,” kata Mokpidie.

Seperti Kamerun, Kongo juga mengalami kelemahan struktural dalam implementasi FLR. Selain kurangnya mekanisme koordinasi antarsektor di tingkat provinsi, lokal, dan kepala suku, para peneliti mengatakan bahwa kapasitas kelembagaan dan teknis negara ini tidak cukup untuk menerapkan pendekatan restorasi yang terintegrasi dan efektif hingga memungkinkan untuk memerangi degradasi lahan dan mewujudkan pengelolaan keberlanjutan. Pemerintah mengembangkan strategi FLR di tingkat provinsi dan nasional, namun belum tervalidasi.

Republik Afrika Tengah, sesuai perannya, berkolaborasi dengan World Resources Institute untuk melakukan studi pada 2016-2018 menggunakan Metodologi Penilaian Peluang Restorasi (ROAM), yang mengarah pada pengembangan makalah strategi untuk memandu kebijakan FLR. Sementara itu, di Burundi, upaya untuk memperlambat degradasi hutan alam dan mendorong penghijauan sudah dimulai sejak 1940-an dan pemerintah kolonial Belgia. Setelah kemerdekaan, negara ini menerbitkan kertas kebijakan ‘Pembangunan Sektor Kehutanan Burundi’ pada 1969, yang menetapkan kuota eksploitasi hutan alam nasional sebesar 650 hektare per tahun, dan reboisasi 100.000 hektare selama 30 tahun. Program reboisasi yang diluncurkan pada 1978 menghasilkan sekitar 75.000 hektare lahan ditanami pada 1992, namun upaya ini terhenti karena perang pada 1993 hingga 2003, yang menyebabkan degradasi sumber daya hutan.

Mengingat hutan di Lembah Kongo terus terancam, para peneliti menyatakan bahwa meningkatkan hubungan manusia dengan alam sangatlah penting, karena menanam pohon saja tidak cukup. Peneliti juga merekomendasikan pemantauan yang konsisten terhadap dampak ekologi dan sosio-ekonomi dari FLR, karena restorasi merupakan proses yang kompleks. Selain itu, pendanaan FLR untuk sub-kawasan ini sangat bergantung pada donor dan sektor swasta, yang keduanya cenderung melaksanakan proyek Pembangunan selama empat hingga lima tahun, dengan indikator kinerja dikaitkan dengan jangka waktu tersebut. Para peneliti mengatakan para donor harus mengubah praktik itu, karena rehabilitasi merupakan proses jangka panjang.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org