Video

Pendekatan bentang alam sebagai prinsip utama tata guna lahan

Pendekatan bentang alam bisa menjadi salah satu kunci sukses pengelolaan lahan
Bagikan
0

Bacaan terkait

Kabar Hutan melakukan wawancara singkat dengan Ani Adiwinata Nawir, peneliti CIFOR di sela-sela konferensi Global Landscapes Forum, Desember tahun lalu tentang sinergi penggunaan lahan oleh berbagai pihak. Apa yang diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih dan tujuan pengelolaan lahan dapat terlaksana.

Apakah pendekatan bentang alam itu?

Pendekatan berbasis bentang alam atau kita biasa sebut dengan landscape approach itu adalah pendekatan yang memastikan adanya sinergi antara berbagai penggunaan lahan oleh berbagai pihak atau stakeholder (pemangku kepentingan -red) yang saling melengkapi dan tidak saling tumpang tindih dan memperhatikan berbagai faktor terutama faktor ekologi, lingkungan, sosial budaya dan juga memastikan tujuan ekonomi dari masing-masing pemangku kepentingan bisa tercapai.

Dari hasil penelitian kami, yang kami lakukan, pendekatan bentang alam ada tiga klasifikasi apa yang kita sebut dengan bentang alam atau landscape.

Yang pertama adalah mozaic forest landscape di mana hutan itu tidak merupakan satu blok area dan lebih kepada spot-spot dan biasanya di antara tanaman-tanaman atau pun penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan atau pun lain-lainnya.

Dan kategori lain untuk bentang alam adalah yang kami coba identifikasi di project penelitian kami adalah berbasis hutan. Jadi hamparan hutan yang masih utuh, karena misalnya di situ ada taman nasional atau pun hutan lindung, atau pun hutan konservasi lainnya. Jadi itu kita sebut dengan bentang alam berbasis hutan.

Apakah pendekatan ini hal baru bagi Indonesia?

Sebenarnya kalau dibilang baru sekali tidak. Cuma memang selama ini pendekatan bentang alam yang paling banyak, mungkin sudah dicoba di arahkan oleh pemerintah atau departemen kehutanan dan departemen lainnya adalah pengelolaan DAS terpadu, daerah aliran sungai terpadu.

Biasanya di dalam bentang alam berbasis hutan ini ada banyak DAS atau pun sub-sub DAS. Nah, DAS di dalam hutan ini bisa menjadi suatu bentuk lain dari bentang alam yang saya sebutkan menjadi kategori bentang alam yang ketiga, yaitu daerah aliran sungai.

Dan daerah aliran sungai ini hanya mencakup satu sub sungai besar bersama anak-anak sungai yang mengalir dari hulu sampai ke hilir. Dan tidak hanya air di permukaan tetapi juga air di tanah (ground water). Jadi itu memang tiga kategori bentang alam yang kita bisa pakai sebagai unit manajemen kalau kita mau mencoba membuat strategi pengelolaan berbasis bentang alam.

Hanya memang ini sangat complicated, complex karena melibatkan banyak sektor dan juga mencakup area hulu sampai ke hilir dan kadang-kadang area DAS ini memang melewati beberapa kabupaten bahkan provinsi. Sehingga walau banyak pihak yang merasa walaupun ini pendekatan berbasis bentang alam yang harus didorong, tetapi karena berbagai masalah dalam pengelolaannya ataupun memastikan semua pihak bisa duduk bersama maka mulai ditinggalkan. Dan memang sudah ada aturannya tetapi ternyata di lapangan petunjuk teknisnya belum ada, misalnya seperti itu.

Pendekatan bentang alam khususnya untuk mengelola sumber daya alam di Indonesia harus lebih mainstreaming (menjadi arus utama – red), sebagai prinsip utama khususnya bagaimana berbagai pihak antar sektor itu bisa lebih mengembangkan program juga mempertimbangkan target bersama.

Tujuannya adalah justru untuk bagaimana bentang alam itu bisa dikelola secara lebih sustainable (berkelanjutan – red) dan tentunya nanti akan efek peningkatan bentang alam untuk menjaga lingkungan atau merestorasi hutan dan fungsi-fungsi ekosistem yang sudah rusak tapi juga mempertimbangkan sosial ekonomi, kohesi sosial dan budaya yang ada, tapi tidak mengesampingkan juga tujuan ekonomi dari masing-masing pihak.

Memang pendekatan bentang alam ini agak kompleks, makan waktu lama, mungkin transaction cost (biaya transaksi-red) cukup tinggi tapi in the long term (jangka panjang –red), manfaatnya tentu akan lebih banyak kita rasakan dibandingkan pendekatan satu sektor saja berbasis target.

Menurut Anda, apakah pendekatan bentang alam dapat menjawab masalah-masalah kehutanan?

Di Indonesia sendiri, pendekatan berbasis bentang alam ini memang harus lebih banyak didorong menjadi suatu mainstream di berbagai basis pengelolaan penggunaan lahan khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk kehutanan.

Kita ketahui banyak sekali konflik kepentingan untuk mengelola lahan yang sama oleh berbagai pihak dan tujuannya itu saling tumpang tindih atau saling bertolak belakang sehingga menjadi suatu konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, pemerintah, pihak swasta dan juga pemerintah setempat.

Ya mungkin sudah banyak di kasus ya. Di mana suatu lahan itu ada berbagai pihak yang mengklaim bahwa mereka berhak untuk mengelola lahan tersebut. Misalnya kelapa sawit atau pun dengan HTI atau dengan HPH ataupun dengan masyararakat yang juga merasa berhak mengelola lahan tersebut di lahan yang sama yang berdasarkan kepada hak yang dia peroleh atas lahan turun menurun.

Pendekatan berbasis bentang alam memang harus lebih banyak didorong menjadi suatu mainstream di berbagai basis pengelolaan penggunaan lahan khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam.

Ani Adiwinata Nawir, Peneliti CIFOR

Apakah CIFOR melakukan riset pendekatan bentang alam di Indonesia?

Ada dua penelitian yang sedang kami lakukan dengan mitra kerja ICRAF, WWF Indonesia, Universitas Mataram, Universitas Gadjah Mada, pemerintah setempat dan juga partner-partner NGO di lokasi kami.

Yang pertama penelitian melalui aksi partisipatif mempromosikan pengelolaan DAS yang terpadu dari hulu sampai hilir. Entry point (pintu masuk -red) penelitian ini ada tiga aspek, yang pertama bagaimana kita bisa memakai pendekatan DAS terpadu ini untuk mempromosikan landscape based biodiversity Jadi pengelolaan biodiversity berbasis bentang alam. Misalnya analisa bagaimana peran lokal spesies untuk me-maintain hidrological function suatu DAS.

Juga policy aspect (aspek kebijakan -red). Tadi sudah saya sampaikan kebijakan-kebijakan di lapangan belum mendukung arah pengelolaan berbasis bentang alam. Jadi bagaimana kita bisa mendorong lebih banyak kebijakan yang mendukung pengelolaan ini supaya bisa diadopsi oleh pemerintah lokal dan juga ada alokasi budget untuk pelaksanaannya di lapangan.

Sedangkan yang lain adalah untuk livelihood (penghidupan -red)Jadi entry point-nya adalah bahwa sepanjang DAS itu banyak masyarakat yang terlibat. Walaupun misalnya di daerah hulu banyak masyarakat yang sudah melakukan konservasi sumber air di sepanjang DAS ini tapi mereka belum mendapat kompensasi yang adil atas konservasi yang sudah mereka lakukan. Sehingga kita mau mendorong bagaimana user (pengguna –red) di downstream (hilir – red) seperti PDAM bisa mengkompensasi secara fair (adil -red) masyarakat yang sudah melakukan konservasi di daerah hulu.

Apakah ada dampak dari riset tersebut?

Di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat kita sudah membuat grand strategy document (dokumen strategi besar -red) yang sudah diadopsi oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa menjadi bagian dari dokumen RPJM  (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dari pemerintahan di tingkat kabupaten. Kita memastikan pengelolaan bentang alam menjadi prinsip yang diadopsi oleh pemerintah setempat untuk melakukan pembangunan di wilayahnya secara regional itu lebih terintegrasi dan mempertimbangkan berbagai aspek yang sudah saya sebutkan tadi.

Di Nusa Tenggara kami melakukan advokasi kebijakan untuk meneruskan kebijakan berbasis bentang alam dan saat ini sudah diadopsi oleh pemerintah provinsi di NTT. Sehingga ada regulasi atau perda (peraturan daerah) di tingkat provinsi yang spesifiknya mengatur bagaimana pengelolaan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) bisa berbasis bentang alam dan dilakukan untuk seluruh provinsi dan akan diadopsi oleh seluruh kabupaten yang ada di provinsi tersebut.

Untuk pendekatan DAS terpadu lembaga mitra kami di Sulawesi Selatan yaitu BALANG sudah melakukan participatory mapping (pemetaan partisipatif – red) yang diikuti oleh masyarakat lokal, pemerintah desa mulai dari hulu sampai hilir.

Dan ini merupakan base line (data dasar –red) yang merupakan data spasial yang cukup lengkap dan baik dan dipakai oleh pemerintah setempat dan masyarakat untuk sama-sama mendiskusikan misalnya tata batas dan bisa dipahami lebih jauh bagaimana dampak atau implikasi pengelolaan lahan dan air yang ada di wilayah sepanjang DAS tersebut dan rekomendasi arahannya seperti apa itu bisa dihasilkan dari penelitian kami.

Apa kontribusi kearifan lokal dalam riset pendekatan bentang alam ini?

Kearifan lokal biasanya menjadi bagian penting saat kita melakukan rumusan kebijakan atau pun regulasi yang akan kita usulkan untuk pemerintah setempat.

Memang kita harus secara objektif juga meneliti di awal, mapping dulu kira-kira siapa yang akan terlibat, stakeholder-nya yang akan kita libatkan dalam proses itu seperti apa jadi kita lakukan stakeholder analysis.

Dan memang banyak sekali kearifan lokal yang membantu mencapai pengelolaan bentang alam yang lebih terintegrasi. Tetapi kita harus tetap berhati-hati karena kepastian hukum memang diperlukan untuk melindungi kearifan lokal tersebut, cuma kita tetap harus lebih berhati-hati untuk menentukan mekanisme atau bentuk legalitas apa yang diperlukan, karena banyak sekali bentuk-bentuk legalitas yang bisa melindungi kearifan lokal tersebut.

Jadi kita tidak mau juga kalau kita mengusulkan sesuatu efeknya menjadi kontraproduktif, jadi memang ada beberapa option (pilihan -red) jadi memang harus harus hati-hati dalam menentukannya.

Kearifan lokal menjadi bagian penting saat kita melakukan rumusan kebijakan atau pun regulasi yang akan kita usulkan untuk pemerintah setempat.

Ani Adiwinata Nawir, Peneliti CIFOR
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org