Catatan Editor: The Forest Dialogue diselenggarakan dalam sebuah sesi diskusi di Pertemuan Puncak Forests Asia, 5-6 Mei di Jakarta. Forum ini, Dialogue on changing outlooks for food, fuel, fiber and forests (4Fs) in Indonesia: The case of Central Kalimantan (Dialog untuk merubah pandangan terkait pangan, bahan bakar, kayu dan hutan (4Fs) di Indonesia: Kasus Kalimantan Tengah), menyajikan sebuah ‘mini dialog’, yang diambil dari Field Dialogue yang secara aktif mengikat para partisipan dalam Pertemuan Puncak Forests Asia berdiskusi bagaimana mendukung transisi lanskap yang lebih berkelanjutan di Asia. Baca di sini untuk detil lebih lanjut. Artikel ini telah dipublikasikan dalam edisi 24 April di harian Jakarta Globe.
Masalah asap yang terus-menerus, berdampak besar dan dalam skala besar di Riau, telah menjadi sebuah pengingat yang berharga mengenai betapa sulitnya mengelola lanskap ketika “tipping points/titik balik” telah dilewati. Seperti kata pepatah yang menyatakan memperbaiki sesuatu baru setelah masalah muncul. Namun isu terkini di Riau hanyalah sebuah contoh dari banyak contoh lainnya di dunia – semisal sejarah konflik tata guna lahan di Amazon, atau yang disebut sebagai “perebutan lahan” untuk ekspansi pertanian di Afrika.
Lanskap telah ditransformasikan oleh masyarakat sejak nenek moyang kita memulai praktik pertanian. Skala dan laju perubahan telah meningkat pesat dalam 100 tahun terakhir, terutama di 50 tahun terakhir. Dengan adanya kebutuhan sosial dan ekonomi, seperti peningkatan kebutuhan akan pangan dan biofuel, serta perubahan demografis, akan terus merubah lanskap secara global.
Mengelola transformasi lanskap dengan baik adalah kunci untuk mewujudkan hasil yang berkelanjutan sekaligus menyediakan manfaat sosial dan ekonomi tanpa menghabiskan biaya sosial dan lingkungan yang tidak perlu. Indonesia, dan negara-negara lain yang memiliki sumber daya alam dan lahan yang kaya, akan terus menjadi fokus bagi transformasi ini. Namun mengelola transformasi lanskap dengan baik memang sulit – bahkan kerap kali, sangat sulit. Yang telah terjadi, proses-proses yang direncanakan seperti yang telah dirancang oleh para akademik atau birokrat, yang terlihat bagus di peta dalam layar komputer, kebanyakan hampir tidak mungkin terwujud secara praktik. Terdapat banyak kepentingan yang harus direkonsiliasikan: dimana beberapa diantaranya sangat menekan dan penting, semisal meningkatkan pendapatan penduduk miskin; beberapa bahkan sulit untuk dinilai, semisal keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu, di semua negara, terdapat batas kekuasaan sebenarnya bagi pemerintah untuk mengelola perubahan di lapangan.
Karena alasan-alasan itulah, transformasi lanskap biasanya berantakan ketimbang rapi, bersaing ketimbang sepakat, dan kerap membawa hasil yang suboptimal – bagi masyarakat dan lingkungan, dan antara kepentingan jangka pendek dan panjang. Proses perubahan menuntut mereka agar menjadi lebih dari yang lain, dan kerap mengabaikan kaum miskin; pemerintah, pebisnis dan masyarakat berada di dalam konflik; serta hasil yang buruk dan tak diharapkan – semisal adanya kebakaran lahan gambut – menjadi sesuatu yang umum.
Jadi, apa yang harus dilakukan?
Sebuah konklusi pembelajaran dari pengalaman-pengalaman yang terjadi di dunia adalah kebutuhan untuk memahami lanskap – bukan hanya secara geografis dan ekosistem, namun juga masyarakat dan nilai-nilainya – secara keseluruhan, serta berbagi dan mengintegrasikan ilmu pengetahuan tersebut secara lintas kepentingan sektoral. Konklusi pembelajaran lain yang dirasa sulit adalah bahwa hal ini sangat mudah dikatakan namun sulit dipraktikkan. Dan ketiga, akan ada banyak manfaat jika bisa mendudukkan bersama semua kelompok pemangku kepentingan dalam sebuah lanskap, lewat sebuah pembicaraan dan negosiasi, lebih cepat sebelum kondisi semakin gawat.
Sebulan lalu, inilah yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research, sebuah lembaga penelitian interpemerintah global yang berkantor pusat di Bogor, dan The Forests Dialogue, sebuah platform multipemangku kepentingan yang berkantor di Universitas Yale, melakukannya dengan dukungan dari pemerintah Kalimantan Tengah dan kementerian terkait di Indonesia. 70 orang berpartisipasi, termasuk 30 partisipan dari luar Indonesia yang memiliki pengalaman terkait tantangan situasi ini di wilayah mereka, serta bentangan beragam kepentingan lanskap yang ada; masyarakat lokal dan tradisional; organisasi nonpemerintah dan berbasis komunitas; badan pemerintah dengan tanggung jawab lintas spektrum untuk perencanaan, pengelolaan dan pengembangan lahan; perusahaan kelapa sawit beserta badan perwakilan mereka; serta para peneliti dan praktisi.
Mereka berdiskusi selama empat hari di kota dan sekitar Palangkaraya untuk memahami serta belajar tentang bagaimana pemerintah tingkat lokal, provinsi dan nasional merencanakan dan mengelola perubahan lanskap di Kalimantan Tengah – dimana gubernur dan pemerintah provinsi sedang mempromosikan pertumbuhan hijau yang akan menguntungkan penduduk lokal, dimana tengah terjadi degradasi lanskap yang telah menguntungkan investor skala besar semisal lewat perkebunan kelapa sawit, dan dimana banyak tersedia nilai-nilai lingkungan hidup yang penting secara global semisal cadangan karbon di lahan gambut dan keanekaragaman hayati dengan adanya orangutan di kawasan tersebut.
Partisipan diminta untuk mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yang relevan, tidak hanya bagi Kalimantan Tengah, namun juga bagi hampir 40 negara perwakilan atau tempat dimana mereka bekerja.
Prioritas pertama adalah mereka mengidentifikasi rencana pembangunan provinsi (untuk memajukan ekonomi dan kehidupan sosial) dengan rencana spasial (untuk menentukan dimana dan bagaimana rencana dilaksanakan).
Kedua adalah kebutuhan untuk memperkuat kapasitas penduduk lokal – termasuk lewat inklusi yang lebih luas, transparansi, dan pertukaran informasi – untuk berkontribusi terhadap rencana ini, serta memastikan bahwa rencana yang ada dapat menjadi sarana hingga selesainya pelaksanaan, bukan justru untuk mengakhirinya.
Ketiga adalah kebutuhan untuk meningkatkan status petani skala kecil dan pemilik tanah sebagai agen-agen pembangunan, lewat pilihan yang lebih bebas, kemitraan yang lebih setara dan koneksi pasar yang lebih baik.
Keempat, melengkapi yang ketiga, adalah keterlibatan sektor swasta, apakah itu korporasi multinasional atau perusahaan kecil maupun menengah, sangat penting untuk mewujudkan pembangunan secara lestari.
Dan prioritas keempat yang menyeluruh adalah bahwa seluruh partisipan menyadari akan kebutuhan untuk memahami hutan sebagai bagian dari lanskap yang lebih luas, subjek bagi upaya pembangunan dan perekonomian yang lebih luas; dan bahwa isu-isu sosial – termasuk masyarakat adat dan hak asasi manusia, serta penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat – merupakan bagian yang sama banyak dengan lanskap yang ada seperti halnya pepohonan dan perkebunan.
Dialog Kalimantan Tengah hanyalah salah satu dari sekian banyak langkah yang dibutuhkan untuk membantu mengelola transformasi lanskap. Dibutuhkan lebih banyak lagi dialog antar pemangku kepentingan, lebih kuat lagi komitmen untuk aksi dan lebih banyak lagi penelitian untuk mendukung keputusan yang benar.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
The persistent, high-impact and high-profile haze problem in Riau, Sumatra, has been a salutary reminder of how difficult it can be to manage landscapes once some “tipping points” have been passed.