Di Jepara, Jawa Tengah, usaha meubel lokal mengukir keunikan di pasar global
Duduk di ruangan kecil kantor Mbak Njum di sebuah kota pesisir Jawa Tengah, Jepara, apa yang dibincangkan adalah soal ekspor, tren gaya furnitur, kontainer kargo dan logistik.
“Dulu bisnis jauh lebih baik, dan Eropa Barat adalah pasar terbesar saya,” kata Mbak Njum, yang merintis bisnisnya sejak 1997. Ia menambahkan, kini pelanggan Indonesia mengisi 10 persen penjualannya. Sebuah papan tulis putih di kantornya tertulis ke mana barang menuju: Saudi Arabia, Kanada, Australia.
Ekonomi Jepara – hampir seluruhnya tercurah untuk produk kayu – sempat mengalami masa emas selama beberapa dekade. Krisis finansial Asia 1998 malah membuka pasar ekspor, namun kejatuhan ekonomi global 2008 membuat lesu dan menjadi titik balik pada pembeli lokal.
Ilmuwan Herry Purnomo dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang telah mendalami area ini selama bertahun-tahun, mendorong penggunaan kayu legal dan tersertifikasi serta membenahi rantai suplai untuk dapat memberi manfaat lebih pada banyak usaha kecil dan menengah di Jepara.
“Hampir 30 persen ekonomi Jepara bergantung pada furnitur. Jika furnitur menghilang dari Jepara, budaya ukir juga akan menghilang. Ukiran kayu dan pembuatan meubel sangat penting bagi Jepara. Mereka memerlukan bahan mentah, dan bahan mentah tersebut adalah pohon kayu – khususnya jati dan mahoni,” katanya.
ANEKA RAGAM PEKERJA
Baru pada tahun lalu, sistem penjaminan legalitas kayu (SVLK) Indonesia merupakan sistem yang pertama disetujui dunia untuk lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Uni Eropa. Lisensi ini memungkinkan kayu dan produk kayu legal dapat secara mulus memasuki pasar Eropa. Lisensi ini diharapkan masyarakat menjadi berkah bagi usaha kecil Jepara.
Menyatakan bahwa kehidupan ekonomi Jepara berkisar pada kayu dan kerajinan kayu seakan meremehkan. Jalan-jalan kota dipenuhi pemandangan balok kayu yang dinaikkan dan diturunkan dari truk, perempuan mengukir desain rumit di kios pinggir jalan, para lelaki memotong dan mengukur papan jati, serta beraneka ragam furnitur dijual di toko besar dan kecil.
Pak Tafrikhan memiliki sebuah toko, lengkap dengan bengkel ukiran di belakangnya. Di tempat itu furnitur dibuat dan dijual pada orang Jakarta serta masyarakat di Dubai dan Taiwan. Seperti setiap pengusaha sejati, ia sangat mencintai kerajinan kayu dan sangat memperhatikan tren.
“Ayah saya punya prinsip, jangan takut berkarya; pasti bisa dijual. Saya masih ingat pesan itu, dan saya tidak pernah ragu. Hasilnya pasti bisa dijual karena furnitur memiliki rentang pasar yang luar biasa lebar. Bergantung pada segmen yang kita sasar,” katanya, seraya menunjuk pada meja kopi kayu jati yang dirancangnya sendiri.
Jepara menguasai pasar di Indonesia, dan kini pertanyaannya adalah bagaimana agar sertifikasi dan lisensi meluas. Di kota itu, masih banyak yang belum mengetahui bagaimana agar produknya tersertifikasi, atau enggan berurusan dengan birokrasi.
“Apakah SVLK memberi keuntung finansial? Mungkin belum. Namun jika ini bisa dituntaskan, setidaknya akan mengubah budaya industri furnitur di Jepara,” kata Pak Trisno, pemilik usaha kecil yang sedang mengalami penurunan.
PERMAINAN HASRAT
Diiringi lagu Beatles, para lelaki membungkus meja kopi dan perempuan mempersiapkan bangku dan kursi untuk dikirim ke Australia, sebuah ukiran Jesus tergeletak di sampingnya, menunggu sentuhan akhir di bagian tangan dan salibnya – dan harapan akan ada gereja yang mau membeli.
Nur Hamidah, yang melakukan aktivitas mengukir kayu dekoratif bersama dengan sekelompok perempuan lain, menyatakan, “Ini pekerjaan yang telah kami akrabi sejak kecil – pekerjaan ini seperti keluarga kami sendiri, sudah ada dalam darah kami.”
Di sini, pasar, sertifikasi dan perjanjian internasional hanya sentuhan akhir bagi industri yang berbasis pada tradisi, hasrat dan kreativitas.
“Masyarakat di sini telah memanfaatkan kayu jati selama berabad-abad, dan selama ratusan tahun telah menyangga hidup masyarakat Jepara. Telah lahir banyak pengrajin dan karya besar. Karya ukir, patung dan banyak produk kayu – dari jati – diekspor ke banyak negara, serta membuat Jepara terkenal di seluruh dunia,” kata Purnomo.