Bagikan
0

Kisah ini bermula pada abad ke-16, seorang perajin dari Campa datang dan mengajari penduduk Jepara sebuah gaya baru dalam mengolah kayu. Kedatangan itu mengubah kota – yang dulu dikelilingi hutan jati – menjadi pusat kerajinan ukiran.

Saat ini, meskipun hutan jati alam telah hilang, namun masyarakat masih terus membentuk, menghaluskan dan memahat kayu yang diperoleh dari hutan tanaman dari tempat yang lebih jauh.

“Sudah ada dalam darah kami,” kata Nur Hamidah, seorang ahli ukiran dan perajin unggulan yang telah bekerja dengan kayu di Jepara selama 25 tahun.

“Pekerjaan ini lah yang kami tahu sejak kami masih kecil – pekerjaan ini sudah seperti keluarga sendiri,” lanjutnya, sambil bergerak seperti orang berdoa.

Industri Jepara didominasi oleh usaha kecil dan menengah (UKM) yang membentuk barisan usaha besar dan kecil di kota berpenduduk dua juta ini. Usaha kecil ini bergantung pada kerja perajin yang menjadi profesi unik pilihan sebagian besar penduduk.

   Perempuan mengukir kayu di halaman sebuah bengkel usaha kecil di Jepara. Deanna Ramsay/CIFOR

“Jepara memiliki sejarah panjang kerajinan kayu dan usaha kecil, baik lelaki maupun perempuan turut berperan. Bahkan, perempuan mungkin berkontribusi terhadap separuh pekerjaan lelaki,” kata ilmuwan Herry  Purnomo dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Purnomo telah bertahun-tahun bekerja dalam proyek yang bertujuan meningkatkan kapasitas perempuan dalam industri tersebut dan mendorong pemanfaatan bahan baku kayu lestari, yang berkontribusi pada terbukanya akses pasar dan peningkatan prioritas konservasi.

GESEKAN

Zaekah bekerja di salah satu tempat kerajinan kecil Jepara. Ia adalah seorang nenek yang melakukan pekerjaan fisik memproduksi mebel untuk kafe-kafe di Sydney dan hotel-hotel di Abu Dhabi.

Debu bertebaran di sekelilingnya dan rekannya ketika ia membengkokkan papan kayu jati, atau saat menghaluskan dengan sabuk amplas atau amplas tangan saat mereka duduk di bangku kecil.

“Saya mendapat Rp 35.000 (2,60 USD) per hari,” jawabnya singkat ketika ditanya upah.

   Zaekah mengamplas mebel setiap hari di bengkel kerja kecil di Jepara. Deanna Ramsay/CIFOR
   Seorang laki-laki memuat kayu jati ke sebuah mobil pengangkut kayu di Jepara, Jawa Tengah. Deanna Ramsay/CIFOR

Pemilik bengkel dan bos Zaekah, Mbak Njum mengaku makin sulit menemukan perempuan seperti Zaekah untuk pekerjaan mengamplas dan pekerjaan tahap akhir mebel di tokonya. Pekerjaan ini umumnya dilakukan perempuan. Namun, pabrik pakaian memasuki kota ini, dan menawarkan peluang pekerjaan pada perempuan muda, dengan gaji lebih baik dan kondisi kerja yang bebas debu dan serpihan kayu.

Narasi industri baru ini bisa mengubah gaung kisah asli perajin Jepara, menuju peralihan modernitas bisnis global.

KEKHUSUSAN

Triana, manajer kantor Mbak Njum, memaparkan kemampuan khusus yang dibutuhkan dari perempuan di bengkel kerja.

“Saya pikir, perempuan lebih telaten ketika menghaluskan mebel. Tidak sekadar menggosok kayu, mereka memahami tekniknya. Pekerjaan kami mungkin tidak sempurna, tetapi memiliki pekerja yang mengerjakan proses penghalusan adalah alasan usaha tetap bisa berjalan,” katanya.

Tidak diragukan lagi, pekerjaan ini berbasis gender. Perempuan menangani tugas-tugas tahap akhir, seperti mengamplas dan menempel, sementara lelaki mengerjakan batang kayu jati di penggergajian, mengukir dan melakukan kerajinan yang lain. Tentu saja terdapat kekhususan, seperti Nur Hamidah dan sekelompok perempuan pekerja, yang merupakan bagian dari kelompok perajin perempuan yang berdedikasi di wilayah tersebut.

“Perempuan biasanya hanya memiliki sedikit peran atas pengendalian sumber daya, pengambilan keputusan dan bahan baku pembuatan produk, dan juga sangat rentan terhadap perubahan permintaan dan pasokan, serta gangguan lain yang terjadi di pasar,” kata Purnomo.

“Kondisi perempuan perlu ditingkatkan,” tambahnya. Salah satu langkahnya adalah mendirikan Ikatan Wanita Pengusaha Jepara (Jepara Women Entrepreneur/JWE) beberapa tahun lalu. Kelompok ini memperjuangkan peluang lebih baik bagi perempuan di seluruh aspek perdagangan.

Dengan nilai ekspor sekitar 150 juta dolar AS per tahun—atau 10 persen dari total ekspor negara—industri mebel Jepara menjadi penting, khususnya di negara yang presidennya adalah pedagang mebel. Jadi meningkatkan upah dan kondisi perempuan di bidang ini akan menjadi langkah besar dalam industri yang sangat penting ini.

   Seorang perempuan berhenti sejenak dari aktivitasnya mengukir kayu di Jepara. Deanna Ramsay/CIFOR

Triana merindukan kembalinya masa ketika Jepara diramaikan bisnis ekspor. “Lebih banyak pembeli datang, lebih banyak permintaan, dan ini membantu menjaga keberlangsungan industri. Di Jepara, industri mebel menciptakan lapangan kerja yang menyangga penghidupan masyarakat. Saya masih berharap masyarakat Jepara terus bekerja di bidang ini,” katanya.

Bagi Zaekah, mengamplas tetap menjadi pilihan pekerjaan, dan satu dari sedikit pekerjaan yang tersedia untuknya. Salah seorang putrinya sempat bekerja sebagai pengamplas, namun kemudian pergi untuk “ladang lebih hijau”, bekerja di pabrik pakaian. Pilihan itu, meskipun jika dia mengingkan, tidak mungkin lagi bagi Zaekah, karena harus berusia di bawah 30 tahun. Namun, bagi Zaekah yang tinggal di rumah sederhana bersama suami, anak perempuan, seorang cucu baru, dan seekor sapi yang baru dibeli untuk penghasilan tambahan, ia mengaku mencintai pekerjaannya dan tetap akan bekerja di bidang ini.

   Seorang perempuan mengamplas mebel di sebuah bengkel kerja di Jepara, Indonesia. Deanna Ramsay/CIFOR
   Seorang perempuan membungkus bangku untuk diekspor ke Sydney di sebuah bengkel kerja di Jepara. Deanna Ramsay/CIFOR
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Penelitian ini didukung oleh bantuan Inggris dari pemerintah Inggris.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org