BOGOR, Indonesia (27 September 2013) – Sertifikasi hutan dinilai sebagai suatu cara menjanjikan guna meningkatkan manajemen hutan, namun ada kebutuhan-kebutuhan kuat untuk penilikan ulang (evaluasi) terkait jejaring rumit beragam faktor penegakan nilai sejatinya bagi beragam pemangku kepentingan, demikian menurut analisis baru.
Sertifikasi adalah skema berbasis pasar di mana perusahaan atau masyarakat yang mengelola hutan secara sukarela untuk diaudit oleh pemeriksa independen. Jika mereka memenuhi kriteria pertanggungjawaban manajemen hutan, produk kayu merek mereka akan diakui oleh skema sertifikasi terkemuka, Forest Stewarship Council (FSC).
“Bagaimanapun, sertifikasi yang sering diklaim memberi manfaat terhadap lingkungan dan sosial tetap perlu dievaluasi secara empirik,” kata ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Dunia (CIFOR) dalam makalah laporan kerangka kerja untuk melakukan evaluasi tersebut.
Para ilmuwan telah menganalisa literatur yang ada mengenai sertifikasi hutan. Walaupun banyak informasi telah dikumpulkan, mereka menemukan bahwa tidak satupun pendekatan yang mereka kaji berisi apa yang dinilai sebagai evaluasi terdesain-baik, dan independen.
“Hanya 14 desain yang secara layak mempertimbangkan efek pengganggu dari bias seleksi, dan hanya satu yang menyorot manajemen hutan,” kata ahli biologi Universitas Florida, Claudia Romero, salah seorang penulis laporan, merujuk pada survei sebelumnya terhadap 134 publikasi mengenai sertifikasi beragam produk pertanian dan kehutanan.
Ini berarti bahwa hampir semua pengetahuan yang ada mengenai sertifikasi berpotensi tidak utuh akibat beragam faktor yang mempengaruhi mengapa dan kapan pengelola hutan memilih untuk masuk skema, dan di mana ilmuwan memilih melakukan risetnya.
MENIMBANG MANFAAT
Evaluasi ilmiah sertifikasi hutan penting untuk mengiformasikan penyokong apakah mereka mendapatkan nilai dari uang mereka, kata laporan CIFOR.
Semua pemangku kepentingan hutan tropis, dari masyarakat lokal hingga pengambil keputusan dan pasar internasional, akan mengambil manfaat dari mengetahui bagaimana sertifikasi hutan memberi manfaat lebih besar terhadap sosio-lingkungan, ekonomi dan kebijakan dari pilihan lain seperti konsesi penebangan tak-bersertifikat atau area konservasi.
Yayasan amal dan pemerintah pendukung sertifikasi juga perlu mengetahui apakah pendanaan yang mereka berikan memberi dampak sesuai harapan.
“Kita perlu menentukan apakah ada sertifikasi atau tidak ada sertifikasi memberi dampak,” kata Manuel Guariguata, ilmuwan utama CIFOR dan penulis pendamping laporan.
“Dari sudut pandang donor, kita bicara jutaan jika tidak lusinan juta dolar yang diinvestasikan dalam sertifikasi, dan sejauh ini tidak ada bukti bahwa mereka diinvestasikan secara efisien.”
Untuk menilai dampak sertifikasi, riset menyarankan sebuah peta jalan evaluasi-ganda yang melihat pada dampak sosial, ekonomi, kebijakan, dan lingkungan yang diharapkan dari sertifikasi sejalan dengan proses yang tengah dilakukan.
Kesulitan dengan evaluasi dampak adalah hutan menjadi subjek banyak pengaruh, dan sertifikasi adalah salah satunya. Mengukur indikator-indikatornya menjadi tidak cukup dengan menentukan keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan tertentu yang diatribusikan pada sertifikasi.
“Seseorang perlu bilang: OK, Anda mencapai target itu, tetapi bagaimana Anda melakukannya,” kata Romero.
KERANGKA KERJA DAMPAK
Sebagai contoh, laporan menjelaskan bahwa lebih sedikit cedera terkait pekerjaan di antara pekerja kehutanan—salah satu harapan hasil sertifikasi—bisa malah menghasilkan peningkatan regulasi keselamatan dibanding sertifikasi itu sendiri. “Kita perlu sebuah teori bagaimana tujuan sertifikasi bisa dicapai. Bagaimana kita akan memisahkan efek sertifikasi dari faktor lain seperti kebijakan pemerintah,” kata Romero.
Peneliti menyebut jalur terarah menuju pengelolaan manajemen hutan lebih baik sebagai “teori perubahan”.
“Ini adalah model mental yang membantu penilai melihat dimana aktivitas spesifik diharapkan membesarkan hasil yang diharapkan, dan bagaimana sertifikasi berinteraksi dengan faktor lain,” kata Guariguata.
Sementara laporan menyediakan blok bangunan yang dibutuhkan untuk membangun teori perubahan dimana saja di dunia, laporan ini juga mengingatkan peneliti bahwa mereka perlu mengikuti pendekatan partisipatoris dengan pemangku kepentingan lokal sebelum mereka bisa dengan jelas memetakan model untuk memeriksa dampak sertifikasi di lapangan.
“Pada dasarnya Anda harus mengajak orang mengelilingi meja dan berdiskusi apa yang membuat hutan bersertifikasi menjadi lebih diharapkan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan,” kata Guariguata.
Sebagai tambahan terhadap evaluasi dampak sertifikasi terhadap teori perubahan yang diharapkan, peneliti juga perlu untuk melihat kualitas proses sertifikasi sendiri.
“Di sini ada aspek adminisitratif: laporan harus ada, dll. Kita mungkin berada dalam kasus dimana kita tidak mencapai pengelolaan hutan bertanggungjawab bukan karena teorinya salah, tetapi karena diterapkan secara sangat buruk,” kata Romero.
MENGINCAR KEADILAN
Tantangan lain dalam evaluasi sertifikasi adalah mendeteksi and menghindari bias ketika memilih area contoh untuk dikaji. Karena sertifikasi adalah proses sukarela, hutan bersertifikasi dan non-sertifikasi tidak secara acak dialokasikan untuk tiap perlakuan, kata laporan mengingatkan. Pilihan di balik keputusan perusahaan untuk mengikuti atau meninggalkan skema sertifikasi merupakan hasil dari beragam faktor, yang juga berpengaruh pada hasil.
“Risiko utama adalah ketika masuk ke satu negara dan membandingan hutan bersertifikat dengan yang non-sertifikat terdekat. Walaupun mereka bisa sangat dekat secara ekologis, mereka bisa sangat berbeda dalam cara lain,” kata Guariguata, menambahkan bahwa perbedaan juga bisa muncul dari berapa lama hutan tersebut bersertifikat.
Menemukan titik perbandingan tepat bagi bagi ilmuwan yang mempelajari dampak sertifikasi—yang mereka sebut kontra-faktual—tampaknya akan menjadi satu tantangan besar untuk dihadapi.
Romero menyatakan lebih banyak riset akan menolong menelurkan model evaluasi, termasuk kajian berlanjut mengenai variasi ukuran, pengalaman dan karakteristik lain di antara unit manajemen hutan sejalan dengan dinamika yang mengarahkan mereka bergabung atau mengabaikan sertifikasi serta perubahan dalam faktor kontekstual yang mempengaruhi pengambilan keputusan terkait manajemen hutan.
“Kami berada di tahap awal,” kata Guariguata.
“Kami memiliki kerangka kerja yang kami pikir bisa diterapkan secara global, tetapi ini sifatnya generik dan perlu diadaptasikan dalam kondisi negara. Ini tidak bisa dibilang protokol atau sesuatu yang tertulis di batu tetapi kami pikir sebuah langkah maju yang baik.”
Untuk informasi lebih mengenai topik yang didiskusikan dalam artikel ini, silakan hubungi Manuel Guariguata di m.guariguata@cgiar.org
Riset ini merupakan bagian dari Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri dan didukung oleh USAID
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org