Jalan panjang dan berliku menuju sawit berkelanjutan
Polemik seputar ekspansi perkebunan minyak sawit di wilayah tropis terus berlanjut, dan melibatkan konsumen yang makin peduli atas kelestarian. Inti perdebatan ada pada masalah timbal-balik konservasi dan pembangunan. Menselaraskan timbal-balik itu masih menjadi tantangan besar yang dihadapi pemerintah dan perusahaan.
Bukti yang ada menunjukkan bahwa produksi minyak sawit memberi dampak kontradiktif. Sawit memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional, serta pengurangan kemiskinan. Namun, perkebunan sawit juga memicu konflik sosial saat pembangunannya, serta merusak hutan dan lahan gambut saat ekspansinya. Hingga memunculkan dampak negatif hilangnya keragaman hayati dan emisi gas rumah kaca (GRK).
Sektor sawit menderita akibat tiga isu performa, yaitu: konflik lahan antara penduduk desa dengan perusahaan dan pendatang, perbedaan hasil panen petani mandiri dan perkebunan industri, serta hutang besar karbon akibat ekspansi sawit pada lahan hutan dan gambut. Tantangannya saat ini adalah menemukan jalan menjaga keberlanjutan rantai suplai sawit, dalam menyangga manfaat ekonomi seraya mendukung konservasi dan aksi iklim.
MENUJU PERUBAHAN
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, perusahaan dan organisasi masyarakat sipil pada berbagai lini dan level untuk meningkatkan performa sektor sawit. Komitmen terhadap keberlanjutan telah diikrarkan berbagai perusahaan sawit besar, diiringi dengan menguatnya wacana keberlanjutan dari pemerintah, dan banyak organisasi masyarakat sipil mulai memainkan peran baru sebagai fasilitator implementasi standar dari perusahaan, atau sebagai perantara antara aktor swasta dan pemerintah.
Di Indonesia, pemerintah sebelumnya melakukan langkah penting merespon agenda iklim global, melalui moratorium izin baru atas hutan primer atau lahan gambut, meski pada praktiknya kurang berdampak dalam mengurangi deforestasi. Ikrar Sawit Indonesia (Indonesian Palm Oil Pledge/IPOP) membawa perspektif baru dalam menurunkan deforestasi, dengan melakukan intervensi rantai nilai, yang kemudian memicu respon politik yang kuat dari pemerintah, dan diwujudkan dalam regulasi induk nasional.
Dua lini baru kemudian muncul. Pada salah satu lini, berbagai upaya dilakukan untuk menyempurnakan standar wajib sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang disertai oleh regulasi untuk intervensi dan restorasi di lahan gambut. Pada lini lain, upaya untuk menjaga performa ekonomi sektor sawit dilakukan dengan mengembangkan pasar biodiesel domestik dan penerapan subsidi sebagai insentif produk biodiesel yang kurang kompetitif. Walaupun, di tengah kuatnya argumen untuk mendukung agenda sosial, investasi yang diarahkan untuk menyokong petani masih minim.
Peristiwa menarik yang mengubah arah adalah lolosnya resolusi Uni Eropa, yang menyepakati perlunya pendekatan lebih ketat pada impor sawit. Perkembangan ini tidak lantas menjadi pandangan yang disepakati oleh sebagian aktor di Indonesia. Mereka menekankan pentingnya bergantung pada regulasi nasional. Bagaimanapun beberapa tanda muncul, mengisyarakatkan bahwa pemerintah akan melakukan langkah yang diperlukan untuk sepenuhnya menerima kerangka kerja keberlanjutan. Sejauh ini, instrumen untuk itu adalah penguatan ISPO, untuk dikelola secara independen. Namun, pertanyaan masih menggantung terkait biaya implementasi, dan kesiapan kelembagaan di tingkat lokal.
Perselisihan tentang peraturan mana yang harus diikuti menimbulkan persaingan gagasan-gagasan metode keberlanjutan