Awalnya adalah kehadiran perusahaan kayu, kemudian datang perkebunan karet dan sawit. Selama tiga dekade terakhir, hutan di pulau Kalimantan rusak dalam kecepatan yang tak terduga. Estimasi antara 1973 hingga 2015, 18,7 juta hektare hutan tua Kalimantan digunduli, sementara hutan industri meluas 9,1 juta hektare. Hal tersebut terungkap dalam penelitian pada 2016 yang dilakukan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Kondisi ini didorong oleh tingginya keuntungan produksi sawit. Menurut Asosiasi Produsen Minyak Sawit Indonesia dan Kementerian Pertanian, pada 2016 saja, Indonesia mengekspor minyak sawit senilai 18,6 miliar dolar AS.
Untuk menyelamatkan keragaman hayati yang tersisa di pulau Kalimantan, diluncurkan lah inisiatif Heart of Borneo 10 tahun lalu. Inisiatif ini merupakan kerja sama Indonesia, Malaysia dan Brunei untuk melindungi 22 juta hektare wilayah berhutan di pulau yang dihuni tiga negara tersebut. Meski tinggal di dalam wilayah hutan hujan lintas batas terbesar di dunia, banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada 2012, sekelompok peneliti dari CIFOR dan lembaga mitra menuju provinsi Kalimantan Barat Indonesia tersebut, dan mengunjungi desa-desa di wilayah lindung Heart of Borneo. Mereka meneliti bagaimana masyarakat menghadapi pesatnya ekspansi perkebunan industri. Setiap tahun, para peneliti kembali untuk mencatat perubahan.
Baru-baru ini mereka mempublikasikan hasil kajian, bagaimana petani kecil dan masyarakat adat menghadapi peluang dan ancaman dari kecepatan perluasaan perkebunan industri.
“Bahkan dalam periode waktu singkat seperti itu, kami temukan perubahan nilai masyarakat, dan hal ini sering kali terkait dengan pembangunan,” kata James Langston, kandidat Ph.D di Universitas James Cook. “Ketika orang makin terlibat dalam ekonomi pasar, mereka harus menemukan jalan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan nilai bentang alam lain.”
Masyarakat di wilayah ini telah lama menghormati tradisi hutan lahan adat – lahan yang dipandang berada dalam domain masyarakat tertentu – dan memanfaatkan lahan sebagai sumber tanaman untuk upacara dan obat-obatan. Namun, insentif ekonomi membuat lahan ini diubah jadi perkebunan.
Ketika agribisnis masuk, masyarakat lokal meninggalkan diversifikasi tanaman dan mengarah pada sistem mono-kultur – biasanya karet atau sawit. Kemauan mereka untuk menjaga lingkungan dan budaya terkalahkan oleh kebutuhan hidup dan keinginan menjadi kaya.
Para peneliti juga menemukan, tidak ada model bisnis yang jelas di wilayah tersebut. Keterlibatan masyarakat dengan perusahaan perkebunan berlangsung dalam beragam cara. Masalah perjanjian legal formal kurang dinegiosiakan secara langsung dengan perusahaan pada sebagian masyarakat lokal, dibanding negosiasi keuntungan informal – atau perjanjian bagi hasil. Keluarga dipandang lebih berhasil, ketika mereka memiliki koneksi lebih baik ke luar kota atau ke pasar.
“Peluang ekonomi terbangun akibat akses jalan yang awalnya distimulasi oleh industri membuat kehidupan meningkat,” kata responden lokal, dikutip dalam penelitian tersebut. “Ada biaya sosial, namun kami sekarang lebih menginginkan peralatan modern dan hidup sejahtera.”
RESEP UNTUK KONSERVASI?
Banyak pakar pertanian internasional menyebut konservasi yang dikelola masyarakat sebagai satu solusi dalam melibatkan aktor lokal dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi lingkungan mereka. Namun di Kalimantan, para peneliti menemukan bahwa kemiskinan merupakan ancaman terbesar keberhasilan metode ini.
Hal ini mendorong para peneliti melembagakan pendekatan lebih komprehensif dalam merekonsiliasikan konservasi dan pembangunan yang secara simultan mengatasi isu kemiskinan, keamanan pangan, perubahan iklim dan keragaman hayati. Para ahli mengakui, hampir tidak mungkin membangun keseimbangan untuk seluruh empat area ini di satu bentang alam; tujuannya jadi lebih pada mengelola timbal balik dengan lebih baik.
“Tantangan nyatanya kini adalah bagaimana kita menyeimbangkan biaya dan manfaat,” kata Langston. “Apalagi, kita perlu mempertimbangkan urbanisasi – lebih banyak generasi muda ingin pergi dan mencari peluang baru di perkotaan.”
Ketika insentif ekonomi yang tinggi bermain untuk mengubah lahan, para peneliti menemukan bahwa insentif yang disediakan REDD+ — meski berbekal reputasi sebagai resep penyelesaian masalah – tetap tidak cukup.
“Saya pikir ada masalah, REDD+ yang terlalu heboh,” kata Langston. “Banyak uang dihabiskan untuk urusan birokratis, sementara tidak cukup uang yang mengalir ke masyarakat. Jadi sebagian masyarakat mengeluh. Biaya riil agar perusahaan besar menjauh dari hutan lebih dari dugaan awal, jadi seluruh inisiatif REDD+ di Indonesia perlu benar-benar diperiksa lagi.”
Lebih jauh, penelitian mengungkap bahwa sejumlah LSM yang bekerja sama dengan masyarakat lokal seringkali bekerja dengan asumsi yang lemah.
“Seringkali LSM mempengaruhi pemikiran masyarakat tanpa memberi bukti, dan meyakinkan masyarakat bahwa satu hal itu buruk tanpa ada bukti timbal baliknya,” kata Langstong.
Para peneliti menemukan bahwa masalah dengan beberapa organisasi ini adalah bahwa mereka berbicara mewakili sebagian masyarakat, meski sebenarnya pandangan mereka berbeda. Hal ini mengarah pada hasil yang tidak memuaskan bagi masyarakat lokal.
“Agar lebih efektif, LSM jangan berbicara mewakili kelompok, namun mendesentrasilasi cara mereka bekerja dan berbicara dengan kelompok lokal yang mereka berdayakan, dan membangun koalisi konsensus lokal,” kata Langston.
Para peneliti juga menemukan, terdapat keyakinan umum bahwa masyarakat lokal mengamati kebijaksanaan adat mengenai hidup harmoni dengan alam, padahal kelompok tersebut saat ini ingin meningkatkan penghasilan dan memberikan kehidpan lebih baik untuk anak-anak mereka. Alam di prioritas kedua.
“Ada organisasi konservasi, dikenal sebagai ‘pencaplok hijau,’ yang menguasai lahan untuk melindungi – dengan alasan yang baik,” kata Langstong, “Namun penelitian kami menunjukkan bahwa hal ini tidak bisa terjadi jika masyarakat di wilayah itu masih hidup dalam kemiskinan, atau tertutupi dari jalur pembangunan yang menarik.”
Singkatnya, lahan perlu dilindungi, namun masyarakat juga perlu dikelola agar konservasi berhasil.
MENYEIMBANGKAN KEDUA SISI
Terdapat pandangan bahwa kemiskinan dan deforestasi terkait dalam hubungan menang-kalah. Deforestasi menjadi harga yang harus dibayar untuk pembangunan. Namun, para peneliti menemukan jalan menyeimbangkan keduanya jika seluruh hal-hal yang baik ditempatkan secara sesuai.
Mereka menunjuk sebuah wilayah di hulu Sungai Kapuas. Pemerintah dan masyarakat lokal mampu melawan kekuatan perkebunan besar dan menjaga lingkungan dengan menyusun rencana tata ruang secara demokratis, membuat perusahaan dan masyarakat ko-eksis.
Langston menyatakan bahwa hal ini dapat lebih sering dicapai dengan kepemiminan yang baik di tingkat provinsi dan kabupaten, disertai pemetaan, pemantauan dan metode evaluasi yang lebih baik dalam mendukung kebijakan lahan yang jelas.
“Lembaga tata kelola perlu memikirkan kebijakan jangka panjang, menyediakan jalan pembangunan yang memberi manfaat bagi masyarakat dan peradaban saat ini,” katanya. “Konservasi bisa tidak menghalangi pembangunan. Pembangunan lah yang perlu mengarahkan konservasi – bukan sebaliknya.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org