Menandai Hari Air Dunia 22 Maret, kami menyoroti kaitan esensial antara hutan dan air. Lebih dalam mengenai topik, ikuti simposium virtual langsung ‘Wacana sejuk untuk dunia yang panas’, pada 21-22 Maret 2017 bagian dari Program Penelitian CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri (Forests, Trees and Agroforestry/FTA).
Penelitian terbaru mengungkap beragam cara hutan menciptakan hujan dan mendinginkan iklim lokal, sekaligus mendesak untuk melihat lebih dekat kapabilitas hutan, lebih dari sekadar mitigasi perubahan iklim.
Dalam sebuah makalah terbarunya, 22 peneliti dari berbagai institusi, menyerukan pergeseran paradigma masyarakat internasional dalam memandang hutan dan pohon, dari model karbon-sentris menuju pengakuan pentingnya siklus air lintas-benua, selain siklus di tingkal lokal.
“Masyarakat terbiasa mendengar gagasan bahwa hutan sangat penting, namun kini kita memiliki wawasan lebih dalam mengapa hilangnya tutupan hutan berdampak besar pada ketersediaan air – khususnya masyarakat di hilir angin,” kata salah seorang penulis, Douglas Sheil dari Universitas Ilmu Hayati Norwegia.
“Kaitannya lebih kuat dari apa yang terpikir sebelumnya. Jika pengambil kebijakan dan perencana pemanfaatan lahan tidak menyadarinya, akan terjadi kesalahan besar pengambilan keputusan.”
Jadi apa yang sekarang kita tahu mengenai hutan dan air?
Hutan membantu terbentuknya hujan
Setiap hari, hutan mengisi suplai uap air di atmosfer. Hutan mengangkat air dari akar, dan melepasnya dari daun melalui transpirasi. Bersama dengan evaporasi dari lautan dan badan air lain, proses ini memutar siklus air dan mengisi atmosfer dengan uap air.
“Proses ini begitu kuat hingga dapat dilihat dari luar angkasa,” kata salah seorang penulis, David Gaveau dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). “Jika Anda lihat citra satelit (di atas) Amazon, Afrika tengah, atau Asia Tenggara, kita bisa melihat kilau uap air menggelembung naik.”
“Kita selalu menggunakan istilah ‘paru-paru bumi’, tetapi di sini kita benar-benar bisa melihat ritme alami hutan menghembuskan uap air ke atmosfer.”
Penelitian terbaru menunjukkan, 70 persen kelembaban atmosfer dari wilayah permukaan lahan dihasilkan dari tanaman (dibedakan dengan evaporasi dari danau atau sungai), jauh lebih banyak dari dugaan sebelumnya.
Penelitian baru mengungkap bahwa hutan juga berperan penting ketika uap air membentuk awan dan kemudian jatuh sebagai hujan.
Pohon mengeluarkan aerosol yang mengandung partikel biologis kecil – spora jamur, serbuk sari, mikroorganisme dan debu biologis lain – yang tersapu ke dalam atmosfer. Hujan hanya dapat turun ketika air atmosfer terkondensasi menjadi butiran, dan partikel kecil ini mempermudahnya dengan memberi permukaan agar air terkondensasi.
Sebagian mikroorganisme berbasis tanaman ini bahkan membantu molekul air membeku pada temperatur lebih tinggi – langkah krusial dalam formasi awan di zona hangat.
“Sejak awal, partikel tersebut sangat penting untuk turunnya hujan,” kata ketua peneliti, David Ellison dari Ellison Consulting dan Universitas Ilmu Pertanian Swedia. “Jika mereka tidak ada, hujan bisa tidak terjadi, atau frekuensinya sedikit.”
Pohon dapat meningkatkan ketersediaan air
Penelitian lain juga menjadi “pengubah keadaan”, membongkar asumsi ortodok di kepala kita, bahwa pohon mencuri air dari tangkapan, dan bahwa menanam pohon mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat lokal.
“Di lingkungan minim-air, masyarakat menggali sumur lebih dalam lagi karena air permukaan menghilang. Ini dipercaya sebagai timbal-balik antara menanam pohon dengan kebutuhan air,” kata Sheil. “Banyak donor menghindari menanam pohon di wilayah arid dunia, karena mereka memandang ini sebagai konflik.”
Namun, penelitian Ulrik Ilstedt dari Universitas Ilmu Pertanian Swedia, dan salah seorang penulis penelitian menunjukkan bahwa di bentang alam kering, pohon (dengan kepadatan tertentu) dapat meningkatkan ketersediaan air, dengan membantu mengisi kembali air permukaan.
“Ulrik menunjukkan, jika kita mulai menanam pohon di lahan kering Afrika, kita memperoleh kenaikan awal jumlah air di bentang alam, karena pohon menggunakan lebih sedikit air dibanding suntikan jumlah air yang diinfiltrasikan pohon ke dalam tanah,” kata Sheil.
Akar pohon – dan binatang yang mereka tarik seperti semut, rayap dan cading – membantu membuat lubang di tanah agar air mengalir.”
“Sangat menarik,” kata Sheil. “Di keluasan Afrika, kini masyarakat dapat mulai menanam pohon. Jika kita hanya tertarik pada karbon, memang banyak manfaat karbon,” katanya. “Di sini semuanya menang,”
Hutan pendingin lokal dan global
Di wilayah tropis dan hangat, hutan mendinginkan permukaan bumi. Hutan tidak saja menjadi peneduh – air transpirasi juga mendinginkan udara sekitar.
“Satu pohon setara dengan dua pendingin udara, dan dapat menurunkan suhu hingga 2 derajat,” kata salah seorang penulis, Daniel Murdiyarso, dari CIFOR.
Oleh karena itu, menurut para penulis, menjaga tutupan hutan dapat mengurangi tinggiya suhu dan menyangga kemunculan ekstremitas terkait perubahan iklim.
Efeknya bahkan dapat dilihat di lingkungan kota, kata Gaveau. “Kita semua merasakannya – jika di hari yang panas kita pergi ke taman, dan berada ke bawah pohon, kita langsung merasa efek dingin.”
Hutan bisa menarik kelembaban ke jantung benua
Para penulis juga menyoroti sebuah teori baru yang mengusulkan bahwa hutan menciptakan angin, menarik hujan ke jantung benua – dan tanpa jalur tutupan hutan dari pesisir ke dalam benua, hujan akan secara drastis berkurang.
Teori ‘pompa biotik’ yang didasari mekanisme fisika tidak ditampilkan dalam model iklim saat ini, dan masih belum terbukti, namun ilmuwan CIFOR percaya teori ini kredibel.
Model ini menyatakan bahwa hutan menciptakan tekanan atmosfer rendah, menyedot udara lembab dari lautan ke daratan, menciptakan putaran balik positif.
“Salah satu nilai teori ini adalah membuat kita dapat menjelaskan bagaimana terjadi curah hujan tinggi di dalam benua – Basin Amazon di Amerika Selatan dan Basin Kongo di Afrika – ketika sumber asli air, lautan, jauh dari tempat hujan turun,” kata Sheil.
Penulis lain, Dominic Spracklen, sebelumnya menunjukkan bahwa di wilayah tropis, udara yang melewati vegetasi ekstensif dalam beberapa hari sebelumnya, menghasilkan hujan sedikitnya dua kali lebih banyak dibanding udara yang melewati sedikit vegetasi Hal ini menunjukkan efek langsung deforestasi terhadap pola hujan.
Hutan mempengaruhi ketersediaan air di hilir angin – bukan sekadar hilir sungai
Kelembaban atmosfer yang dihasilkan hutan tidak hanya menjadi tangkapan lokal. Faktanya, sebagian besarnya ditiup angin ke wilayah, negara, atau bahkan benua lain.
“Makin kita menggunduli hutan dan tutupan vegetasi dari permukaan bumi, makin besar kerusakan ransportasi air lintas-benua,” says Ellison.
Konsekuensi geo-politik tersebut belum cukup dipahami.
“Kita ingin masyarakat mulai berpikir dinamika ‘hulu angin dan hilir angin’. Dari mana air-mu datang, dan bagaimana basin tangkapan di wilayah kita berkontribusi pada hujan di hilir angin?’
“Jika Anda seorang perencana pemanfaatan lahan atau perencana tata kelola air, apa yang terjadi jika Anda menggunduli hutan? Bagaimana dampaknya pada masyarakat di hilir angin? Jika anda tinggal di daerah tangkapan air yang mengalami penurunan suplai air, bagaimana kita bisa mempengaruhi hal tersebut melalui intervensi hulu angin?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan kolaborasi ekstensif antar negarai, kerangka kelembagaan baru yang belum ada saat ini, dan cara berpikir baru mengenai tangkapan air.
Misalnya, kemitraan internasional Inisiatif Basin Sungai Nil saat ini hanya melibatkan negara yang menjadi bagian basin tangkapan dan pengguna air Nil, kata Ellison. Tetapi negara-negara Afrika tengah di mana hujan turun tidak dilibatkan.
“Jadi pertanyaannya, siapa yang seharusnya terlibat dalam tata kelola basin tangkapan air, jika sumber kelembaban satu negara datang dari tempat lain? Bagaimana mereka dilibatkan? Dapatkah Anda membuat mereka mengakui bahwa apa yang terjadi di negara mereka bisa sangat terkait dengan apa yang terjadi di negara Anda?’
“Kita dengan mudah memahami bagaimana hal ini menjadi dilema,” katanya.
Seruan beraksi
Kaitan antara hutan dan iklim bersifat intuitif, dan mudah dipahami oleh semua orang, kata Gaveau. “Ketika kita lihat kabut pagi muncul dari hutan, kita menjadi saksi bahwa hutan mentranspirasi uap air. Jika kita duduk di bawah pohon di kota yang panas, kita merasa lebih sejuk.”
“Pada saat ini, hubungan antara hutan dan air terabaikan hanya sebagai manfaat sampingan cerita karbon, meski seharusnya berada di depan dan di tengah. Karbon bisa tampak abstrak bagi banyak orang, namun segelas air minum lah bentuk nyatanya.”
Menggunungnya bukti ilmiah yang menunjukkan kuatnya hubungan ini, mendorong sejumlah penulis penelitian mengeluarkan “seruan beraksi”.
Kita perlu cara baru melihat hutan dengan memprioritaskan air, kata mereka – bahkan di dalam kerangka kerja perubahan iklim global.
Melindungi hutan untuk menjaga akses air akan sekaligus meningkatkan simpanan karbon, mitigasi perubahan iklim, dan manfaat langsung lainnya,” kata Murdiyarso.
“Jika kita berbicara mengenai karbon, kita akan melihat hasilnya 15, 50, atau 100 tahun. Namun kita menyaksikan siklus proses air ini setiap hari.”
“Harapannya, pendekatan ini dapat mengubah paradigma, serta arah perdebatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org