Pe Ligit* menyaksikan perubahan besar dalam hidupnya, ketika gelombang migrasi, penebangan dan pembangunan sawit mengubah Kalimantan, Indonesia. Pada usia 65 tahun, perempuan Dayak ini tinggal di Long Segar, Kalimantan Timur sejak masih anak-anak.
“Saya dan saudara laki-laki dibawa dengan keranjang besar ketika pindah ke sini,” katanya. “Kami menggunakan perahu… kemudian berjalan sepanjang sungai untuk tiba di tempat ini.”
Saat itu masih hutan tropis. Tidak ada jalan, dan perlu dua hari berperahu dari ibukota provinsi, Samarinda. Ayah Pe Ligit membersihkan lahan untuk menanam padi, mendirikan rumah, dan membantu membangun masyarakat. Mereka hidup dari pertanian – dan dari hutan, berburu, memancing, serta mengumpulkan rotan dan bambu.
Long Segar tidak berubah banyak ketika pada 1970 antropologis Carol Corfer, kini mitra senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), pertama kali masuk ke masyarakat itu untuk meneliti interaksi antara masyarakat dan hutan di Kalimantan. Hal pertama yang ia catat adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan – lebih egaliter dibanding sebagian Amerika Utara pada saat itu.
“Seberapa banyak orang dalam keluarga dan bagaimana pengaruhnya lebih menjadi soal kepribadian daripada jender,” katanya. “Lelaki sangat terbuka terlibat dalam pembicaraan domestik – mereka memang tidak mencuci pakaian dalam perempuan tetapi tetap saja mencuci pakaian.”
“Setiap orang mengasuh anak-anak – perempuan melakukan lebih, tetapi tidak ada alasan bahwa ini pekerjaan perempuan dan bukan lelaki. Jadi ini melegakan buat saya!”
Kedua jender bekerja di sawah, kata Colfer, tetapi dipandang sebagai profesi utama perempuan. Perempuan seperti Pe Ligit, pada waktu gadis diajarkan bahwa peran utama hidupnya adalah menghasilkan beras.
“Hal ini penting bagi citra perempuan itu sendiri, dan mereka bangga kemampuan itu,” katanya.
Di sisi lain, lelaki fokus berburu, memancing dan kerja berupah, dan beranjak dewasa mereka berharap melakukan “ekspedisi”, atau bekerja selama beberapa tahun jauh dari masyarakat.
“Mereka kembali dari perjalanan tersebut dan punya sesuatu untuk diceritakan, orang-orang berkumpul mendengarkan – itu bagian utama identitas lelaki, atau itulah setidaknya,” kata Colfer.
Colfer kembali ke Long Segar beberapa kali dalam dua dekade berikutnya, dan menjejak perubahan masyarakat ketika penebangan dan perusahaan tanaman industri masuk, selain juga pemerintah Indonesia menempatkan puluhan ribu ‘transmigran’ Jawa di sekitarnya. Pendatang baru ini punya gagasan sangat berbeda soal jender.
“Mereka berpikir bahwa lelaki harus menjadi kepala keluarga, dan berbicara hanya pada kepala keluarga, bukan pada perempuan – kecuali mencoba mengajak tidur, karena kemerdekaan perempuan Dayak membuat orang luar berpikir mereka liar, dibanding perempuan dari kelompok etnis lain,” kata Colfer.
“Mereka berpikir Dayak itu liar, terbelakang, bodoh, menggunakan sihir, bahkan punya buntut – ini stereotip sangat buruk mengenai Dayak.”
Aktivitas perempuan mulai dibatasi karena khawatir pelecehan pihak luar. Colfer menilai hal ini dan kuatnya narasi baru mengenai jender mulai mengubah masyarakat.
“Ada misionaris masuk dan memberi kuliah, orang pemerintah, orang industri, program televisi, semuanya membawa ide baru bahwa lelaki harus bekerja dan perempuan tinggal di rumah,” kata Colfer.
“Saya tidak berpikir orang harus menerima begitu saja, tetapi saya takut tekanan dari pihak luar memberi efek buruk.
SETELAH GELOMBANG
Pada awal 2000, ketika Colfer melakukan perjalanan terakhir ke desa itu, banyak ketakutannya terwujud. Tetapi pada 2004, gelombang besar sawit yang membelah Kalimantan mencapai Long Segar.
Ketika Rebecca Elmhirst dari Universitas Brighton menawarkan penelitian kembali ke masyarakat itu untuk menilai dampak pembangunan sawit terhadap jender, Colfer menyambut peluang untuk terlibat walaupun ia tidak bisa secara personal kembali ke Kalimantan.
“Saya sangat penasaran dan sangat khawatir, karena berbagai tekanan pada masyarakat – penebangan, tanaman industri, transmigrasi, kemudian sawit – mengurangi akses lahan mereka dan, saya curiga, mendorong semua gagasan gila soal jender,” kata Colfer.
Pada 2014, Elmhirst dan Mia Siscawati dari Universitas Indonesia, bersama dengan asisten peneliti dari Kalimantan Timur menginap selama dua pekan di Long Segar, melakukan penelitian yang kemudian menjadi bagian buku yang dipublikasikan CIFOR: Jender dan Hutan.
“Bagi saya, hal menakjubkan adalah pergi ke sebuah tempat yang telah banyak saya baca dari laporan Carol,” katanya. “Kami benar-benar memanfatkan fakta bahwa kami memiliki kekayaan data etnografis yang dirangkai Carol bertahun-tahun, yang dapat kami manfaatkan sebagai basis dasar, atau sebagai cara interpretasi beberapa hal yang kami lihat hari ini.”
Tim Elmhirst mewawancarai individu dan menggelar diskusi kelompok terfokus, tidak hanya mengingat, tetapi juga mengangkat konsep baru jender yang belum terbentuk saat penelitian Colfer.
“Kami ingin coba membangun gambaran bernuansa mengenai dampak sawit dari banyak cerita sebelumnya, yang cenderung memberi gambaran seragam wanita sebagai korban. Hal ini tidak lantas benar buat saya, sesuai analisis awal Carol mengenai posisi perempuan di Long Segar. Kami juga tertarik melihat apakah ada keragaman pengalaman, berdasar pada pemahaman mengenai bagaimana jender berperan sangat berbeda di tempat berbeda, serta bagaimana jender bekerja terkait etnisitas, usia, kelas sosial, dengan sejarah tiap tempat tertentu.
Elhmirst menemukan bahwa “banyak norma jender yang diidentifikasi Colfer pada 1980-an tetap resilien berhadapan dengan perubahan bentang alam skala besar. Sentralitas budidaya padi masih menjadi pilar penting, tidak hanya bagi ketahanan pangan rumah tangga tetapi bagi identitas keperempuanan di masyarakat.”
Mengingat padi menjadi penghasilan kurang diandalkan, Pe Ligit, seperti juga perempuan Long Segar lain, kini melakukan pekerjaan berupah di perkebunan sawit. Tetapi tarikan tradisi masih kuat. Banyak perempuan menjalani ‘tiga shift’, bekerja untuk upah di pagi hari, di sawah serta rumah pada siang hari. Seringkali mereka meninggalkan kerja berupah ketika banyak yang perlu dikerjakan di sawah.
“Saya tidak ingin mengolah sawah, tetapi ketika melihat orang melakukannya, jadi tidak enak (jika tidak ikut),” kata Pe Ligit.
Salah satu perubahan kunci yang diamati Elmhirst adalah sawah di dekat desa diambil alih oleh sawit. Mereka kini bergantung pada sepeda motor untuk mencapai sawah yang jauh, dan karena sulitnya medan dan beratnya sepeda motor, perempuan lebih tua seperti Pe Ligit, yang dulu mandiri, kini perlu bergantung pada lelaki untuk mengantar mereka.
Perempuan muda, seperti Hero (20 tahun), memiliki aspirasi berbeda. Ia membantu orangtuanya di sawah ketika masih kecil, tetapi kemudian sekolah menjadi prioritas. Seperti banyak rekan sebaya, ia ingin menjadi pegawai negeri atau bekerja di kantor perusahaan perkebunan.
“Perempuan lebih muda makin kurang terlibat di sawah, dan banyak tekanan agar mereka mengikuti pendidikan formal, jadi mendaftar sekolah makin penting,” kata Elmhirst. “Ini juga yang mulai dilihat Carol ketika ia meneliti, tetapi makin besar saat ini.”
“Anda bisa berpikir itu hal yang bagus, dan sepertinya dapat menjauhkan perempuan dari situasi tidak sehat jender (seperti pelecehan seksual orang luar) dan aspirasi mereka untuk tidak berurusan dengan tekanan yang ada secara lokal.”
Berada di sekolah berarti para gadis tidak belajar secara khusus pengetahuan budidaya padi – dan faktanya, sangat terbatas peluang bagi pemuda berpendidikan di Long Segar.
“Apa yang akan mereka lakukan ketika kembali dari pendidikan SMA? Nyatanya tidak banyak kerja kantoran.”
RAKUS LAHAN
Ada tekanan lain di Long Segar. Penelitian Elmhirst menemukan bahwa kedatangan sawit meningkatkan ketidakadilan sosial di masyarakat.
“Sawit tampak sangat transformatif dibanding apa yang tidak bisa dilakukan penebangan,” katanya.
Meskipun kayu-kayu telah hilang, orang Dayak tetap dapat memanfaatkan hutan untuk mengumpulkan produk hutan dan berburu. Meski sistem pencaharian terganggu, mereka tidak tersingkir sepenuhnya. Cara sawit diperkenalkan – menggunduli hutan dan menanami persawahan – sangat berbeda.
“Sawit rakus lahan – orang bilang seperti itu,” kata Elmhirst.
Sementara apa manfaat keberadaan sawit tidak secara adil terdistribusikan.
Pe Ligit adalah salah satu yang tertinggal. “Saya punya sepetak lahan, dan perusahaan menyewanya,” katanya. “Tetapi mereka tidak memberi saya kompensasi sedikitpun.”
“Saya menangis saat itu. Saya tidak dilibatkan dalam negosiasi. Saya sangat sedih… sebagian orang dapat uang, tetapi saya tidak. Orang pertama yang melangkah ke tanah ini adalah kakak dan ayah saya, tetapi saya tidak mendapat apapun.”
Sawit tampak sangat transformatif dibanding apa yang tidak dilakukan penebangan.
Jurang antara yang lebih baik dan lebih buruk di masyarakat melebar, kata Elmhirst.
“Ini cerita klasik nyata penguasaan, ketika perjanjian dibuat oleh orang tertentu di masyarakat dengan perkebunan dan ini tidak bermanfaat bagi mayoritas masyarakat,” katanya. “Sangat memecah belah.”
“Carol Colfer masih merasa ada hubungan dengan tempat yang lama ia tinggali untuk meneliti. Ia masih berhubungan dengan beberapa orang di Long Segar melalui Facebook – seperti banyak orang Indonesia lain, mereka punya telepon pintar.
“Orang berubah, ini bukan berarti akhir dunia jika mereka tidak seperti biasanya,” katanya. “Hanya sedikit sedih melihat ini dijejalkan ke tenggorokan orang, khususnya ketika sesuatu jadi kurang adil dibanding sebelumnya.”
*Nama telah diganti.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org