Hutan tanaman skala besar meluas di seluruh dunia, begitu pola kontroversi yang diakibatkan.
Hutan tanaman tropis seringkali dihujat karena dampak negatif sosial dan lingkungan, selain juga dipuji karena kemampuannya mendorong pembangunan lokal dan menyediakan jasa lingkungan seperti sekuestrasi karbon – keunggulan penting pada saat sulit mencari jalan memitigasi perubahan iklim.
Sebuah penelitian baru oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) bertujuan membedah kontroversi ini dan melaporkan dampak hutan tanaman skala besar pada populasi lokal, sebagaimana dipersepsi secara lokal. Menjelajah dalam wilayah kontroversial ini, perhatian khusus diberikan untuk mengumpulkan data dari lokasi yang tidak terlalu berada pada sisi positif maupun negatif, misalnya menghindari area desa percontohan atau desa yang dilaporkan berkonflik.
Untuk penelitian ini, ilmuwan CIFOR melakukan ratusan wawancara di beragam hutan tanaman di kepulauan Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa persepsi lokal bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, antara lain spesies pohon, periode rotasi, tingkat pembangunan ekonomi wilayah, atau masa hidup hutan tanaman.
PENTINGNYA JENIS POHON
Hutan tanaman bubur kayu cepat tumbuh dan rakus-lahan, menggunakan spesies seperti akasia dan eukaliptus, termasuk yang paling negatif diterima. Hutan tanaman bubur kayu ini tersebar menutupi jutaan hektare lahan sepanjang pulau Sumatera dan Kalimantan di Indonesia pada dekade terakhir ini. Dalam wawancara, masyarakat lokal mengeluhkan terbatasnya akses lahan untuk pemanenan, sedikit kontribusi positif pada pencaharian lokal dan beberapa dampak negatif keragaman hayati dan jasa lingkungan dihasilkan perkebunan. Walaupun terdapat beberapa tingkat pengakuan atas kapasitas hutan tanaman membuka area dengan keterbatasan infrastruktur.
Sebaliknya, hutan tanaman jati dan pinus, seperti yang telah sejak lama berdiri di pulau Jawa, lebih diterima positif. Hutan tanaman ini dipuji karena menyediakan lapangan kerja, pemasukan dan meningkatkan jasa lingkungan, termasuk air bersih dan regulasi iklim lokal. Secara khusus, hutan tanaman pinus menawarkan distribusi manfaak hak menyadap minyak pinus, sementara hutan tanaman jati dipandang meningkatkan akses terhadap lahan, barang dan jasa.
Di salah satu lokasi di Kalimantan Timur, metoda Q diterapkan untuk menunjukkan beda pandangan penduduk lokal atas dampak hutan tanaman bubur kayu akasia. Menggunakan metoda ini, tiga kelompok berbeda ditemukan dalam responden: satu yang secara umum kecewa atas hutan tanaman di wilayah mereka, satu yang mengeluhkan hal lebih spesifik terkait kesulitan pembangunan lokal akibat pemanfaatan lahan industri skala besar, dan satu kelompok dengan pandangan positif atas perkebunan. Analisis statistik lebih jauh menemukan bahwa kelompok terakhir adalah minoritas.
Hutan tanaman pinus dan jati dengan sejarah panjang pembangunan dan rotasi lebih panjang tampaknya terintegrasi dengan baik dalam bentang sosial Jawa
Beberapa pelajaran berharga dapat ditarik dari dua penelitian komplementer ini. Temuan utamanya adalah bahwa hutan tanaman skala besar terkelompok secara heterogen, dan dampaknya sangat bergantung pada spesies pohon yang ditanam dan terkait dengan tata kelola hutan. Ini menyarankan perlunya kehati-hatian dalam memilih spesies pohon untuk hutan tanaman baru.
Periode rotasi ditemukan menjadi faktor pengaruh terhadap persepsi lokal. Hutan tanaman pinus dan jati dengan sejarah panjang pembangunan dan rotasi lebih lama tampaknya terintegrasi dengan baik dalam bentang sosial Jawa. Sementara, hutan tanaman bubur kayu akasia yang relatif baru berdiri dengan rotasi singkat tampak memincu pandangan lebih antagonistik dan sulit mendapatkan pengakuan dampak positif lokal.
JANGAN ADA LAGI BUBUR KAYU?
Apakah ini berarti bahwa hutan tanaman bubur kayu ditakdirkan menyebabkan konflik dan kesulitan karena dampak buruk pada populasi lokal? Jawabannya tidak, untuk beberapa alasan.
Pertama, populasi lokal mengakui ada kemampuan tertentu hutan tanaman bubur kayu membuka area terpencil dengan infrastruktur dan dinamika pasar, bahkan jika perubahan tersebut tidak cukup termaterialisasi. Misalnya, sekitar separuh populasi survey di lokasi terkait pernah bekerja dengan jenis hutan tanaman tersebut. Terlepas dari menyalahkan perusahaan, hal ini menunjukkan persepsi ketidakhadiran negara dalam memenuhi fungsi tersebut.
Kedua, pengalaman lebih lama pinus dan jati di Jawa dapat memberi tawaran pelajaran dalam meningkatkan tata kelola hutan tanaman bubur kayu yang baru berdiri. Memang, lembaga perantara menunjukkan melakukan hal yang bermanfaat di sana, buruh terorganisir dan penguatan komunikasi dengan masyarakat lokal.
Ketika, peningkatan substansial dapat dicapai melalui perubahan tata kelola: rotasi hutan tanaman pinus sesekali diperpanjang untuk menjaga agar periode penyadapan minyak pinus menarik lebih lama, dan kebalikannya rotasi jati sesekali diperpendek untuk meningkatkan peluang panen-antara pada tahun-tahun awal. Hutan tanaman bubur kertas dapat belajar dari inovasi itu untuk memberi manfaat bagi populasi lokal.
Akhirnya, pelibatan lokal dalam mendesain rencana tata kelola hutan tanaman, seperti organisasi buruh dan kontrak kerja, dapat membantu mengakomodasi kebutuhan lokal berbagi lahan dan manfaat lain sejak awal, menjamin dampak positif pada jalurnya.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org