Salah satu keberhasilan utama intelektual dan aktivis feminis dalam 40 tahun terakhir adalah membuka jalan isu jender diakui dalam kebijakan, intervensi kelembagaan lingkungan.
Sumber daya dan perhatian yang diarahkan pada peningkatan penghidupan perempuan dan anak perempuan meluas. ‘Pengarusutamaan jender’ pada organisasi lingkungan makin diterima sebagai ukuran keberhasilan relatif dan keterbukaan kelembagaan.
Meskipun ilmuwan jender makin menyadari bahwa di samping kemajuan teori jender dalam dekade terakhir, jalan pendekatan jender dalam kebijakan dan praktiknya tetap lumayan sulit.
Jadi bagaimana kita menjembatani celah antara teori dan praktik jender? Bagaimana ilmuwan jender memanfaatkan kepakarannya membuat perubahan? Apa yang perlu dilakukan, tantangan dan potensi apa yang perlu kita perhatikan?
Itulah pertanyaan-pertanyaan inti yang didiskusikan dalam lokakarya gabungan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Universitas Ilmu Pertanian Swedia (SLU). Lokakarya berjudul “Menegaskan Jender dalam Ketidaktegasan Lingkungan: Ketegangan dalam praktik lingkungan hidup dan pembangunan di Utara dan Selatan,” digelar dalam Konferensi Internasional Jejaring Ekologi Politik Eropa (ENTITLE) di Stockholm, pada 20-24 Maret.
Diskusi tersebut memberi sejumlah ‘gizi bagi pikiran’ pada topik ini dari beragam perspektif. Termasuk di dalamnya ilmuwan jender yang secara rutin memberi masukan pada lembaga pemerintah agar lebih mengintegrasikan jender dalam kebijakan dan programnya, peneliti akademis yang berkomitmen meningkatkan penelitian mereka dalam memperkaya informasi perubahan inklusif jender, dan spesialis jender di organisasi lingkungan (seperti CIFOR).
JENDER DALAM TEORI
Peserta lokakarya menyoroti rumitnya teoritisasi jender dalam khazanah intelektualitas feminis dan kajian jender kontemporer. Identitas jender dipandang cair, dinamis dan plural – tidak hanya mencakup lelaki dan perempuan.
Jender bersifat relasional dan bergantung konteks. Relasi berlatar jender beririsan dengan relasi sosial lain (seperti ras, etnisitas dan kelas), oleh karena itu menghasilkan pengalaman spesifik yang tidak bisa ditangkap analisis biner perempuan dan lelaki semata.
Norma, struktur dan praktik jender berkelindan dengan kebebasan sosial, ekonomi dan politik yang bisa dilakukan individu, sementara hal itu juga secara konstan menjadi subyek perubahan melalui perjuangan politik, negosiasi dan perubahan sosial.
JENDER DALAM KEBIJAKAN DAN PRAKTIK
Ketika jender memasuki arus utama penelitian lingkungan, kebijakan dan praktik, peserta mengungkap kekhawatiran bahwa jender dilepaskan dari politiknya dan terlalu disederhanakan. Seperti dinyatakan penyaji dalam sebuah sesi, jender berubah menjadi “kotak centang dan bukannya transformasional.”
Sebuah presentasi penelitian terkaji yang dipublikasikan CGIAR dalam topik jender dan perubahan iklim dalam empat tahun terakhir menemukan, di samping meningkatnya seruan dari ilmuwan jender untuk pendekatan lebih bernuansa dan relasional, jender sering didekati sebagai penyederhanaan biner lelaki-perempuan. Penelitian ini menggambarkan perbedaan statistikal dan kualitatif sebagai bagian lelaki dan perempuan, bukannya sebagai produk struktur sosial dan pengalaman sehari-hari.
Hal ini menjadi masalah karena analisis jender seharusnya dilakukan dengan cara ini, dan juga karena makalah seperti ini, yang menargetikan pengambil kebijakan dan praktisi perubahan iklim, secara tidak sengaja berisiko menghasilkan atau melanggengkan stereotip berbahaya mengenai jender.
Bagaimana menyeimbangkan teori dan praktik, dan apakah jender yang terlalu teoritis bermakna atau bermanfaat?
Di sisi lain, wawasan teoritis jender dan feminis memiliki banyak tawaran untuk kebijakan dan praktik lingkungan jika dilakukan secara tepat. Menerapkan teori jender secara benar membantu pengambil kebijakan dan praktisi lebih memahami siapa menang, siapa kalah, mengapa dan apa yang perlu dilakukan.
Presentasi lain dalam lokakarya menunjukkan bahwa program REDD+ di Meksiko memberikan insentif perempuan, pemuda dan kelompok adat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun keseluruhan partisipasi perempuan rendah dan mereka yang berpartisipasi kebanyakan lebih tua, lebih kaya dan lebih terkoneksi. Pengambil kebijakan yang berkehendak mendorong partisipasi perempuan dalam REDD+ mengetahui jenis perempuan terkait dan mengidentifikasi titik masuk untuk memperkuat inklusi luas.
MENERJEMAHKAN TEORI JENDER
Menggabungkan teori agar membuat teori jender lebih bermakna dan bisa diterapkan bagi praktisi disarankan sebagai jalan menjembatani celah antara teori jender kontemporer dan praktik saat ini. Konsep perlu diterjemahkan menjadi alat dan metode yang memungkinkan diterapkan oleh para peneliti, pengambil kebijakan dan praktisi agar menjauhi penyederhanaan asumsi dan binaritas.
Contohnya, ilmuwan jender di bidang perubahan iklim mempertanyakan klaim luas bahwa perempuan lebih rentan perubahan iklim dibanding lelaki, seperti yang didengungkan beberapa lembaga pembangunan. Lembaga tersebut mengasumsikan perempuan sebagai ‘termiskin di antara miskin’, dan cenderung meninggal akibat bencana alam dibanding lelaki, dan oleh karena itu, perlu pelatihan ketahanan.
Meskipun sedikit data terpercaya yang dapat menguatkan generalisasi itu. Dengan menempatkan perempuan sebagai korban dalam keperluan ‘pelatihan ketahanan’, tanggungjawab menghadapi perubahan iklim jadi bergantung pada individu, bukannya pemerintah dan masyarakat global dalam mengatasi masalah ini sejak awal.
MENGAKUI DAN MENGEMBANGKAN BATAS
Peserta menunjukkan pentingnya mengetahui batas-batas teori kontemporer dan advokasi jender dan lingkungan. Diskusi berfokus pada bagaimana intelektual jender yang menangani masalah lingkungan dapat meluaskan aplikasi teori jender.
Berbagi informasi mengenai bagaimana maskulinitas opresif dan pervasif dapat merugikan banyak lelaki dan perempuan dalam menghadapi perubahan iklim dipandang sebagai area penting kerja di masa depan. Ilmuwan jender mengulang kembali bagaimana dan mengapa etnisitas, kelas, ras dan variabel sosial serupa menjadi penting diintegrasikan dalam analisis jender.
Sebagai tambahan, penelitian yang ada sangat terbatas terkait hubungan antara perubahan lingkungan dan teori aneh dan/atau masalah LGBT. Lebih sedikit lagi karya yang ada pada area itu (seperti di Rusia dan China) ketika penelitian dan diskusi kesetaraan jender menjadi kontroversi politik.
Inisiatif atas-ke-bawah mendorong ‘agenda kesetaraan jender internasional’ juga perlu berhati-hati pada konteks ketika makna terdefinisi global ‘jender’ dan ‘kesetaraan jender’ tidak dengan mudah atau diterjemahkan secara seragam. Misalnya, satu penyaji menyebut bahwa di masyarakat Indonesia, tempat ia melakukan penelitian etnografi, tidak ada definisi jelas mengenai ‘jender’ dalam bahasa lokal dan ‘kesetaraan jender’ tidak menjadi masalah bagi perempuan dan lelaki.
Apakah analisis jender dalam konteks tersebut benar-benar memasukkan jender dalam masyarakat egaliter jender? Hal ini, tentu saja, bergantung pada bagaiman jender dipahami – jika dipahami sebagai kategori penada biner lelaki-perempuan, menggunakan ‘jender’ bisa memberi perbedaan. Tetapi analisis jender yang hati-hati dan kontekstual dapat memberi aspek terang pada sesuatu yang tak terlihat dalam hal pengaturan kekuasaan dalam masyarakat.
Diskusi seperti ini menjadi pengingat pentingnya mengadopsi pendekatan reflektif, khususnya dalam penelitian lintas-budaya. Metodologi partisipatori yang memungkinkan peneliti dan yang diteliti meng-‘koproduksi’ pengetahuan dipandang sebagai salah satu jalan menggabungkan prioritas dan konsepsi lokal dengan komitmen normatif global kesetaraan jender.
MENCARI KESEIMBANGAN
Lokakarya ini berbagi informasi mengenai masalah terkait interpretasi bener jender dan asumsi terlalu sederhana mengenai perempuan, dengan pula menyoroti keuntungan pendekatan lebih canggih terhadap jender. Walaupun titik pijaknya beragam, ada konsensus kuat mengenai perlunya mentransformasikan bagaimana jender dikonseptualisasi dalam kebijakan dan praktik terkini masalah kehutanan dan lingkungan hidup.
Tetapi bagaimana menyeimbangkan teori dan praktik, dan apakah terlalu banyak teoritisasi jender akan bermakna atau bermanfaat? Dalam menggambarkan perubahan ini dan mengambil langkah ke depan, ilmuwan jender perlu terus mengingat pertanyaan intinya: “Untuk apa atau untuk siapa penelitian jender ini?”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org