Analisis

Refleksi isu jender di perundingan iklim COP22

Secerah harapan langkah maju penting dari keputusan perundingan iklim Maroko.
Bagikan
0
Aris Sanjaya/CIFOR

Bacaan terkait

Kita perlu memberikan apresiasi kepada kelompok advokasi kesetaraan jender. Pada perundingan iklim Marrakesh telah menghasilkan keputusan penting yaitu memperpanjang mandat Program Kerja Jender Lima (LWPG) selama tiga tahun ke depan.

Program kerja dua tahun – pertama kali diadopsi di COP20 Lima – meliputi dua tujuan utama: 1) Meningkatkan keseimbangan jender dalam perundingan dan 2) Memberikan panduan kebijakan iklim responsif-jender kepada para pihak.

Aksi dalam program ini meliputi pelatihan bagi para delegasi mengenai kebijakan iklim responsif-jender, peningkatan kapasitas delegasi perempuan, dan mengembangkan panduan implementasi pertimbangan jender dalam aktivitas perubahan iklim

Seberapa jauh tujuan LWPG telah tercapai memang bisa diperdebatkan, namun terbuka ruang diskusi dan rekomendasi lebih spesifik dalam meningkatkan berbagai kebijakan dan mekanisme responsif-jender di bawah UNFCCC. Oleh karena itu, keputusan memperpanjang mandat program kerja mendapat banyak apresiasi dari para pendukung kesetaraan jender di COP22.

Mari kita lihat dimensi kunci keputusan tersebut dalam konteks lebih luas perdebatan seputar jender dan perubahan iklim.

MENYELARASKAN KEBIJAKAN DAN KOMITMEN IKLIM

Di luar mandat yang dimiliki, salah satu kritik terhadap poin-poin LWPG sebelumnya  adalah “kegagalan mengartikulasikan upaya dari kebijakan iklim responsif-jender pada kewajiban internasional lebih luas terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan jender”. Hal ini, pada gilirannya menimbulkan sejumlah kebingungan terkait dengan makna sebenarnya ‘kebijakan iklim responsif-jender’.

Oleh karena itu, menjadi hal yang positif bahwa dalam pembukaan keputusan baru tetap menuliskan “pentingnya koherensi antara kebijakan iklim berbasis jender… serta penyediaan instrumen dan hasil internasional’, yang meliputi Deklarasi Beijing, Konvensi Eliminasi Semua Bentuk Diskriminasi Perempuan, dan kini Tujuan Pembangunan Berkelanjutan  (SDG).

Apa makna sebenarnya teks tersebut dalam rancangan kebijakan, implementasi dan pemantauan tetap belum jelas. Namun, menjadi penting bahwa provisi tersebut memandu upaya LWPG baru, dengan membuka ruang bagi konseptualisasi peran kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan dalam kebijakan dan aksi iklim dalam lingkup lebih luas.

Apa makna sebenarnya teks tersebut untuk rancangan kebijakan, implementasi dan pemantauan tetap belum jelas. Namun, menjadi penting bahwa provisi tersebut memandu upaya LWPG baru, dengan membuka ruang konseptualisasi peran kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan dalam kebijakan dan aksi iklim dalam lingkup lebih luas.

Markus Ihalainen

Lebih dari sekadar memandang pemberdayaan atau kesetaraan sebagai kendaraan mencapai tujuan kebijakan lain, cara pandang ini ini memungkinkan kita membalikkan keadaan dan melihat bagaimana berbagai kebijakan dapat berdampak pada kesetaraan atau pemberdayaan pada lintas indikator politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Meski begitu, kerangka pandang ‘berbasis-hak’ ini berangkat dari argumen ‘bisnis’ populer, yang menilai bahwa pemberdayaan perempuan akan membawa pada hasil ekonomi, lingkungan atau sosial lebih baik. Argumen ‘berbasis-hak’ memang tidak mengabaikan kontribusi perempuan dalam mendorong pembangunan dan konservasi; meski juga tidak menjamin kontingensi hak perempuan untuk secara efektif berkontribusi pada konservasi.

Kerangka berbasis hak yang kuat sangat penting ketika kebijakan dan program makin menselaraskan diri pada kerangka SDG. Menempatkan ‘pemberdayaan perempuan’ dalam konvensi internasional lebih luas dapat membantu mitigasi kecenderungan tak diinginkan arus pemberdayaan pada partisipasi formal tokenistis hanya agar kebijakan dan program ‘menyentuh sebanyak mungkin SDG’.

Lebih dari sekadar mengasumsikan menang-menang antar tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan, pendekatan berbasis-hak juga memungkinkan kita berbicara lebih jelas dan lebih jujur dalam meningkatkan sinergi – selain merekonsiliasi potensi ketegangan – antar berbagai SDG.

DARI IKRAR GLOBAL KE AKSI NASIONAL

Sebagai tambahan terhadap lanjutan mandat, keputusan baru juga mengharuskan Badan Implementasi (SBI) ‘mengembangkan rencana aksi untuk mendukung implementasi keputusan dan mandat terkait-jender dalam proses UNFCCC’.

Meski pengembangan rencana aksi jender di bawah UNFCCC bukan sesuatu yang telah ditetapkan, hal ini mengikuti jalur konvensi Rio lain, yang telah ada. Area prioritas rencana aksi masih perlu ditentukan, dan keputusan ini mengundang Para Pihak, pemantau dan pemangku kepentingan lain memberi masukan pada formulasi rencana aksi.

Rencana Aksi Jender (GAP) yang dikembangkan bersama dan komprehensif akan bermanfaat bagi berbagai lembaga dan pemangku kepentingan, menyalurkan dana menuju aksi spesifik yang digariskan GAP, dan untuk mengembangkan indikator penting evaluasi berbagai kebijakan iklim responsif-jender.

Namun, penting dicatat bahwa isi GAP perlu ditetapkan untuk tahun mendatang. Dengan urgensi dimulainya implementasi Perjanjian Paris, prioritas utama kesetaraan jender dalam kebijakan iklim adalah perlunya jaminan bahwa seluruh Pihak peserta Perjanjian mengambil langkah substansial pada tingkat nasional dalam menjaga hak perempuan dan meningkatkan responsivitas-jender pada kebijakan dan aksi iklim seperti digariskan dalam Komitmen Kontribusi Nasional  (INDC).

Hal ini penting, khususnya dengan adanya fakta bahwa 188 NDC yang telah didaftarkan pada Sekretariat UNFCCC menjelang COP21, hanya 63 yang secara spesifik merujuk pada perempuan atau jender. Apalagi jika dilihat lebih dekat, rujukan-rujukan tersebut seringkali terlalu umum dan superfisial. Sebagian besar hanya menuliskan perempuan sebagai ‘populasi rentan’.

Perjanjian Paris – sayangnya – juga tidak sepenuhnya mampu bergerak mengatasi pandangan ini, dengan hanya memasukkan referensi jender di bawah ‘adaptasi’ dan ‘peningkatan kapasitas’. Oleh karena itu, menjadi hal yang menggembirakan untuk melihat bahwa keputusan baru COP22 tahun ini mengajak para Pihak mempertimbangkan jender terkait mitigasi dan pengembangan teknologi, meski kita berharap ada penungkapan yang lebih kuat.

Perlu pula dicatat bahwa seluruh 63 INDC yang menyebut ‘perempuan’ atau ‘jender’ berasal dari negara berkembang. Meski masih sangat retoris, tampaknya telah menjadi kecenderungan negara donor untuk memandang kebijakan iklim responsif-jender sebagai prioritas bagi negara berkembang.

Kekhawatiran muncul apakah komitmen donor terhadap kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan benar-benar diterjemahkan dalam pendanaan nyata. Laporan OECD DAC terbaru mengestimasikan bahwa investasi pemberdayaan ekonomi perempuan belum berubah selama periode 2007-2012, hanya sebesar dua persen dari total bantuan bilateral. Hal ini sangat mengkhawatirkan, terutama karena banyak komitmen INDS negara berkembang masih bergantung pada ketersediaan pendanaan.

Dalam forum diskusi jender pada Forum Bentang Alam Global 2016, panelis Lorena Aguilar, Penasihat Senior Program Jender International Union for Conservation of Nature (IUCN), menyatakan bahwa 21 negara telah mengembangkan rencana aksi perubahan iklim dan jender (ccGAP). Meskipun, dia mengingatkan, kurangnya pendanaan menghambat implementasi rencana ini di banyak negara.

Dalam meningkatkan implementasi kebijakan iklim responsif-jender, entitas Mekanisme Finansial – termasuk Dana Iklim Hijau dan Fasilitas Lingkungan Global –yang ada bisa bertanggungjawab langsung terhadap kebijakan jender sesuai dengan posisi yang dimilikinya.

Menjadi hal yang menggembirakan bahwa keputusan COP22 meminta entitas finansial menyediakan informasi mengenai ‘integrasi pertimbangan jender dalam seluruh aspek pekerjaan’. Meskipun belum mengulas referensi apapun mengenai alokasi sumber daya finansial dalam implementasi aksi iklim responsif-jender. Oleh karena itu, masalah seputar tanggung jawab finansial, target dan akuntabilitas masih belum terselesaikan.

Pada Forum GLF yang sama, Eleanor Blomstrom, salah seorang Direktur Organisasi Lingkungan Hidup dan Pembagunan Perempuan (WEDO), menekankan perlunya peningkatan penjejakan dan pemantauan pendanaan responsif jender dalam menyempurnakan dan memperkuat – implementasi kebijakan responsif jender pada tingkat nasional.

MENGHUBUNGKAN KERANGKA KEBIJAKAN DENGAN REALITAS LOKAL

Memantau bagaimana kebijakan diterapkan dan menjejak implementasinya memang penting, meski lebih penting dapat memahami dampak kebijakan tersebut pada penghidupan lokal perempuan dan lelaki. Proses kebijakan yang tercerabut dari realitas lokal akan kurang menghasilkan perubahan transformatif di lapangan.

Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa kerentanan perubahan iklim cenderung sangat kontekstual dan bergantung pada beragam variabel sosioekonomi, budaya dan lingkungan. Dalam kondisi ini, Laporan penelitian CIFOR juga menemukan bahwa jender masih ditangani sebagai dikotomi lelaki versus perempuan dalam penelitian perubahan iklim.

Salah satu harapan para pakar jender CIFOR pada COP22 adalah kontribusi pada gambaran jender dan perubahan iklim yang lebih lengkap. Memahami bahwa kerentangan dan kapasitas adaptif perempuan dan lelaki terstruktur dalam berbagai relasi kekuatan sosial – dan tidak hanya gambaran perbedaan jenis kelamin – dapat membantu meningkatkan responsivitas kebijakan iklim. Untuk menjamin suara setiap orang didengar, menjadi penting bahwa pola pikir ‘lintas-sektor’ diterjemahkan dalam proses implementasi dilengkapi parameter dan instrumen penilaian dampak.

Menurut ilmuwan CIFOR yang menjadi panelis GLF, Houria Djoudi, langkah ini mensyaratkan bahwa suara masyarakat lokal didengar dalam proses kebijakan, khususnya saat adaptasi. Perempuan dalam masyarakat terdampak tidak semata duduk menunggu perjanjian internasional tiba – mereka mengerahkan berbagai cara beradaptasi dengan perubahan iklim setiap hari. Namun, perempuan desa kurang didengar dalam proses kebijakan nasional. Hasilnya, banyak inisiatif adaptasi dan mitigasi lokal yang berpeluang diperluas menghadapi risiko tidak diketahui, atau tergantikan oleh respon programatis kaku dari atas-ke-bawah dan dengan rasa memiliki lokal yang rendah.

Oleh karena itu, baik untuk menyaksikan keputusan baru di Maroko mendorong para Pihak mengakui nilai partisipasi langsung perempuan dalam aksi iklim responsif jender di semua level.

Namun, masih banyak yang perlu dilakukan lebih dari sekadar janji manis menuju aksi tingkat lokal terintegrasi lebih bermakna dalam kebijakan dan aksi iklim nasional, serta menjamin bahwa kapasitas dan sumber daya yang tepat dikerahkan pada tingkat nasional dan sub-nasional untuk mendorong dan memperluas inisiatif yang berhasil.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Markus Ihalainen di m.ihalainen@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org