New York – Setahun lalu, Deklarasi Hutan New York menetapkan target berani: dunia tanpa deforestasi. Tetapi tidak ada rencana disusun bagaimana mencapainya.
Kesepakatan – untuk memotong deforestasi separuhnya pada 2020, dan menghapus total pada 2030 – tersebut ditandatangani oleh 30 pemerintah negara, 50 perusahaan swasta, dan banyak organisasi non-pemerintah serta masyarakat adat pada 23 September 2014 pada KTT Iklim PBB di New York.
Selama 12 bulan terakhir, pemerintah, LSM dan korporasi mencoba menemukan jawaban dari banyak pertanyaan yang ditinggalkan deklarasi tersebut.
“Ikrar ini sangat baru, tetapi ada langkah signifikan selama tahun lalu mengatasi sejumlah masalah implementasi,” kata Steven Lawry, Direktur Penelitian Hutan dan Tata Kelola di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Apa makna sebenarnya nol deforestasi? Sebagian berpendapat bahwa ikrar seharusnya menuju ‘nol deforestasi kotor’, yang berarti tidak ada area berhutan digunduli untuk membuka ruang komoditas seperti sawit, bubur kertas dan kertas, sapi atau kedelai.
Alternatifnya adalah ‘nol deforestasi bersih’, yang berarti perusahaan bisa menebang hutan tetapi harus mengganti tindakan mereka dengan menanami atau merestorasi hutan di tempat lain.
“Walaupun pendekatan ini bisa beralasan dari perspektif bentang alam, kecenderungannya adalah nol deforestasi kotor akan diterapkan, antara lain karena lebih maju. Walaupun sebagian pengikrar berencana melangkah dan menambahkan restorasi dalam paket,” kata Romain Pirard, Ilmuwan Senior CIFOR.
Sekali rimbawan menyepakati standar, mereka menghadapi tugas monumental menemukan cara implementasi di lapangan. Dan karena pembangunan di wilayah berhutan adalah kunci pertumbuhan ekonomi di banyak wilayah miskin, setiap rencana mengurangi deforestasi harus juga mempertimbangkan untuk menjaga penghidupan masyarakat lokal.
GERGAJI DUA SISI
Di Indonesia – penyuplai utama sawit dan negara dengan kecepatan tertinggi deforestasi di dunia – tekanan tersebut memunculkan resistensi pemerintah pusat, yang khawatir bagaimana perlindungan hutan akan mempengaruhi ekonomi negara dan penduduk termiskinnya.
“Banyak distrik dan subdistrik di Indonesia yang masih sangat miskin. Perkebunan bisa dibilang cara efisien bagi pemerintah menempatkan investasi di wilayah tersebut,” kata Sophia Gnych, Pejabat Penelitian CIFOR.
“Perkebunan menyediakan jalan dan lapangan kerja, serta sekolah, listrik dan fasilitas perawatan kesehatan dengan cepat,” lanjutnya. “Hanya sedikit alternatif bagi masyarakat tersebut jika di wilayah mereka dilarang dibangun.”
Sementara pemerintah Indonesia menandatangani Deklarasi New York (bersama dengan pemerintah Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat), setelah sebelumnya menentang upaya menghentikan perkebunan sawit tak berkelanjutan. Pada musim panas sebelumnya, pejabat tinggi pemerintah mengkritik pakta Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) karena bekerja di luar otoritas pemerintahan dan berpotensi mencederai petani kecil.
Pemerintah pusat telah membuat beberapa upaya baru untuk mendukung industri sawit, termasuk meningkatkan kuota campuran untuk biodiesel (hingga 15%) dan mendukung melalui subsidi.
“Di satu sisi pemerintah membuat kebijakan untuk mendukung industri, yang terbangun dari hampir 50% petani kecil,” kata Gnych, “sementara komitmen tersebut tampak mencoba melemahkan hal itu.”
“Pemangku kepentingan tidak berada dalam halaman yang sama. Definisi dan metodologi mencapai produksi sawit berkelanjutan belum disepakati, jadi wacana berkembang antagonistik,” tambahnya.
“Orang sangat khawatir mengenai dampak yang akan menimpa petani kecil. Saya pikir pemerintahperlu mencari rencana yang jelas dan secara sosial berkeadilan yang tidak mengancam pemasukan pemerintah dari pembangunan industri atau pedesaan,” kata Gnych.
KEKUATAN KONSUMEN
Sementara kemauan politik mungkin tertinggal, pasar bergeser kuat mendukung pembangunan berkelanjutan.
“Sektor swasta akan menjadi kunci mencapai tujuan nol deforestasi,” kata Lawry.
Membesarnya keinginan konsumen terhadap barang yang diproduksi secara bertanggungjawab, bersama advokasi LSM melawan korporasi berpraktik buruk, membuat investor takut mendukung proyek yang tidak sadar sosial dan lingkungan.
Ini artinya pasar untuk investasi berkelanjutan berkembang. Pada 2014, mencapai 21,4 triliun dolar AS, naik dari 13,3 triliun dolar AS pada 2012, menurut Lawry. Pertumbuhan itu memberi insentif kuat untuk perusaan menandatangani ikrar seperti Deklarasi New York, dan menjalani komitmen sampai akhir.
“Ini hari baru,” kata Lawry. “Pergeseran arsitektur tata kelola hutan dunia didorong oleh komitmen korporasi tersebut.”
Terciptanya IPOP, yang juga bertempat di KTT Iklim PBB, menggambarkan perubahan besar pasar sawit Indonesia. Perusahaan internasional yang menandatangani, berjanji untuk memproduksi sawit tanpa merusak hutan atau melanggar hak asasi manusia, mencapai 80 persen dari produksi sawit komersial Indonesia.
Hal ini memberi mereka kekuatan besar untuk mengubah cara minyak sawit diproduksi di sini.
Ikrar tersebut, bersama dengan Deklarasi New York dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang ada, memberikan dukungan kuat untuk melangkah menuju produksi komoditas berkelanjutan. Tetapi ini juga hasil dari sekumpulan tujuan kompleks yang perlu diintegrasikan agar nol deforestasi terwujud.
“Semua standar dan gagasan beragam mengenai apa itu produksi berkelanjutan tampak makin sulit,” kata Gnych. “Melangkah menuju definisi lebih jelas, dan bisa diterapkan dari produksi berkelanjutan terkait deforestasi adalah sesuatu yang harus diperdebatkan dan diselesaikan.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org