Tidak menebang pohon mungkin terdengar sederhana, tetapi ternyata agak rumit.
Atau setidaknya bagi raksasa agribisnis yang di bawah tekanan kampanye lingkungan dan konsumen yang berbaris melakukan gerakan “anti deforestasi”.
Indonesia, misalnya – produsen minyak sawit terbesar dunia, di mana 60.000 km persegi hutan ditebang antara 2000 dan 2012 – dan ketika perusahaan mencari cara mengurangi wajah deforestasi menghadapi hambatan ketika konflik dengan masyarakat, kebijakan pemerintah yang tak mendukung dan ketakutan tak kompetitif di pasar.
Dan mereka memerlukan dukungan pemerintah dalam mengatasinya, demikian menurut analisis baru Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
“Juru bicara kelompok advokasi dan perusahaan bisa berdiri dan menuntut atau berjanji apa yang mereka suka, tetapi ikrar tidak berarti apa-apa jika realitas pelik tidak terselesaikan,” kata Romain Pirard, ilmuwan senior CIFOR dan penulis penelitian.
“Dan itu akan memerlukan tidak hanya bahwa perusahaan mengubah praktik mereka, tetapi pemerintahan juga membuat perubahan,” tambahnya.
TANAH SIAPA, HAK SIAPA?
Satu kesulitan yang dikeluhkan perusahaan besar adalah masyarakat lokal dan petani kecil di Indonesia – sebagian tidak memiliki klaim legal terhadap lahan – merambah area konsesi perusahaan.
Tetapi bagi petani kecil – sekitar 2 juta kepala keluarga di Indonesia – ikrar nol deforestasi berisiko bagi penghidupan mereka dan tidak menawarkan manfaat besar yang didapat perusahaan.
Ikrar tidak berarti apa-apa jika realitas pelik tidak terselesaikan
Banyak “perambah” tinggal permanen di dalam atau dekat area konsesi dan menebang secara ilegal, menurut temuan peneliti, menyoroti perlunya membersihkan tumpang tindih klaim kepemilikan lahan.
“Perusahaan bisa mencoba mengusir orang yang merambah dan menebang, tetapi kemudian timbul konflik dengan masyarakat dan mereka mendapat publisitas buruk untuk itu,” kata Pirard.
“Di sisi lain, banyak kasus klaim sah masyarakat yang dirampas dari hak leluhur, jadi situasi jauh dari hitam dan putih,” tambahnya.
“Jika kita membuka ‘kotak hitam’ tenurial lahan dan konflik di Indonesia, bisa tercipta alat bagi pemerintah untuk resolusi konflik yang adil dan berkelanjutan,” kata Pirard.
Sementara “banyak masalah terkait tenurial lahan,” menurut konsultan peneliti CIFOR Sophia Gnych, sekadar “standar lebih keras” bukan solusi.
“Tidak hanya kita perlu petunjuk jelas siapa berhak atas apa, tetapi kita perlu fleksibel memitigiasi potensi efek samping bagi komitmen baru tersebut,” katanya.
Laporan juga mengidentifikasi masalah lahan dan hukum lain yang mempengaruhi upaya perusahaan memenuhi komitmen nol-deforestasi.
Kebijakan pemerintah dan kerangka hukum seringkali “tidak mendukung, selain juga tidak cocok dan bertentangan” dengan tujuan industri, katanya.
“Contohnya adalah cara pemerintah Indonesia, pada beberapa kejadian mencabut konsesi karena mereka berencana mengkonservasi hutan di tempat itu,” kata Pirard.
“Petak lahan dialokasikan untuk produksi, dan pemerintah berharap produksi berlangsung di keseluruhan area.”
Hasilnya, pemerintah kemudian merealokasi lahan konservasi ke perusahaan lain yang akan menebang pohon dan mulai berproduksi – yang akan memberi pemasukan pajak.
Analisis juga mengungkap contoh perusahaan yang telah berkomitmen konservasi dicabut ijin sementaranya ketika mereka “terlalu lama” membangun perkebunan saat menghitung nilai konservasi hutan dalam area konservasi mereka.
“Pemerintah diharapkan melakukan lebih di masa depan untuk memungkinkan komitmen itu terwujud,” kata Pirard.
Satu langkah terpenting, kata Gnych, adalah menjamin jelasnya semua hak masyarakat dan mau berkompromi serta bekerjasama.
“Ini benar-benar perlu lebih banyak dialog antara perusahaan dan pemerintah,” katanya.
Jika semua orang dapat duduk bersama, tulis peneliti, “komitmen ini berpotensi mengatasi inersia yang mendominasi industri sawit Indonesia dan menyatukan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, untuk mentrasnformasi sektor ini.”
Kita bisa membuat perusahaan bertanggungjawab atas aksi masa lalu
LAPANGAN PERMAINAN SETARA
Dan ini tidak berhenti pada nol deforestasi semata.
Peneliti menyarankan “masalah legasi sangat penting dan mungkin dipandang remeh sejauh ini.”
Kita bisa membuat perusahaan bertanggungjawab atas aksi masa lalu
Seharusnya kah perusahaan – banyak yang bertanggungjawab atas “deforestasi besar” – dibiarkan berikrar nol deforestasi? Atau seharusnya kah dituntut bergerak lebih jauh, memperbaiki kesalahan masa lalu, dan menargetkan “reforestasi bersih positif”?
“Kita bisa membuat perusahaan bertanggungjawab atas aksi masa lalu,” kata Gnych menunjuk fakta bahwa pemerintah telah menciptakan sistem lisensi restorasi ekosistem, yang memungkinkan “perusahaan mengelola wilayah terdegradasi hingga mereka merestorasi produktivitas hutan dan jasa lingkungan”.
Dua perusahaan raksasa bubur kertas dan kertas di Indonesia, Asia Pulp & Paper (APP) dan APRIL telah berinvestasi dalam konsesi dengan latar belakang restorasi.
Dan APRIL baru-baru ini mengumumkan telah berhenti menebangi semua hutan alam pada 15 Mei, empat tahun sebelum waktu yang direncanakan.
Beberapa perusahaan yang telah menandatangani ikrar sawit bersemangat agar yang lain ikut pula. Mereka berpendapat bahwa mencapai komitmen nol-deforestasi sementara kompetitor terus mendeforestasi membuat posisi mereka kurang kompetitif di pasar. Mereka mendorong pemerintah meregulasi semua perusahaan harus memenuhi standar yang sama.
Romain Pirard menekankan bahwa regulasi seperti itu bisa menjadi jalan, saat gerakan nol-deforestasi masih dini. Hal ini akan memerlukan waktu bagi pemerintah dan sektor swasta untuk bekerja sama mencapai tujuan penting ini, katanya.
“Tetapi kini kita melihat perubahan nyata dalam cara beberapa perusahaan beroperasi, jadi ada banyak optimisme.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org