BOGOR, Indonesia — Kelapa sawit, yang dinyatakan sebagai sebuah cara untuk meningkatkan peluang ekonomi lokal dan mengurangi kemiskinan di daerah tropis, mungkin tidak terwujud seperti pernyataan tersebut, demikian ditunjukkan oleh sebuah laporan baru-baru ini.
Bahkan, suatu studi kasus dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) tentang efek kelapa sawit terhadap ekonomi, ekologi dan masyarakat di Papua Barat melukiskan gambaran yang dingin.
Di garis depan perluasan perkebunan kelapa sawit, suku Arfak yang merupakan penduduk asli yang tinggal di hutan Provinsi Papua Barat percaya mereka bukan penerima janji kelapa sawit- namun, para pemenang yang sebenarnya sepertinya, yaitu para imigran luar yang menguasai keterampilan dari kebanyakan pekerjaan yang tersedia di berbagai perkebunan kelapa sawit.
“Tampaknya tidak mungkin bahwa kelapa sawit bisa membantu penduduk miskin pedesaan, karena mereka benar-benar tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk dapat terlibat secara efektif dalam produksi kelapa sawit,” ujar Kristof Obidzinski, ilmuan senior CIFOR dan penulis pendamping dari studi ini.
Bacalah penelitiannya
Kelapa sawit memproduksi hampir 40% dari pasokan minyak sayur global. Antara tahun 1976 dan 2009, konsumsi minyak sawit global per kapita meningkat lebih dari dua kali dari 11 kilogram menjadi 25 kilogram; minyak sawit sekarang dapat dikatakan ada di mana-mana, dijumpai dalam makanan, kosmetika, sabun dan obat-obatan.
Dalam lima tahun mendatang, berbagai proyek perluasan kelapa sawit di Indonesia akan bertumbuh pesat untuk memenuhi tuntutan industri. Indonesia berencana meningkatkan produksi kelapa sawit menjadi 40 juta metrik ton, dua kali lipat jumlah produksi tahun 2010 dan akan memerlukan tambahan 12 juta hektar lahan. Sebagian lahan ini akan dikembangkan di Papua, di mana 5,7 juta hektar lahan hutannya telah dinilai cocok untuk kelapa sawit.
PANDANGAN LEBIH DEKAT
Untuk mengamati bagaimana perluasan pesat ini mungkin bisa berpengaruh terhadap masyarakat di Indonesia, Krystof dan satu tim peneliti melakukan studi di Dataran Prafi di Papua Barat, di mana sebuah proyek perkebunan kelapa sawit seluas 15.000 hektar dimulai pada tahun 2005.
Tampaknya tidak mungkin bahwa kelapa sawit akan membantu penduduk miskin pedesaan, karena mereka benar-benar tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk dapat terlibat secara efektif dalam produksi kelapa sawit.
Memelihara kelapa sawit bersifat menantang-pembudidayaan, pemanenan, pengangkutan dan pemasaran berbagai produk kelapa sawit bisa menjadi mahal, khususnya ketika biaya pemanenan meningkat sewaktu pohon kelapa sawit semakin tua. Orang Arfak tidak terlatih dalam hal bagaimana memelihara pohon kelapa sawit, membasmi hama atau memangkas dan memotong tandan buah, jadi berbagai pekerjaan cenderung diberikan pada para pekerja imigran dari bagian-bagian lain Indonesia.
Umumnya, para pekerja yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit menerima pendapatan yang meningkat dan sumber pendapatan yang lebih bisa diandalkan, hal ini memampukan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup, menurut studi tersebut.
Di sisi lain, orang Arfak kehilangan akses pada lahan yang mereka gunakan secara tradisional. Ketika lahan menjadi lebih bernilai secara komersial, para migran mulai memegang kendalinya, sementara peningkatan infrastruktur yang dijanjikan tidak terwujud, menurut Heru Komarudin, seorang peneliti CIFOR dan penulis pendamping studi tersebut.
Orang Arfak memiliki aturan tentang bagaimana hutan dapat digunakan, dan laporan tersebut menunjukkan bahwa orang Arfak tidak saja sangat tergantung pada hutan, tetapi juga bahwa hutan terkait erat dengan persepsi diri mereka. “Masyarakat menganggap hutan sebagai ibu mereka, yang selalu menyediakan makanan untuk anak-anaknya,” tulis para peneliti.
Kelapa sawit telah mengubah lingkungan ini secara drastis.
Sejak pembukaan estat perkebunan sawit di Dataran Prafi, penduduk setempat mengklaim bahwa pertanian lahan musiman telah menjadi terbatas; air bersih lebih langka pada musim kemarau; ada peningkatan erosi dan banjir di wilayah tersebut; pencemaran udara meningkat karena pembakaran untuk pembabatan lahan; dan ada insidensi penyakit yang lebih tinggi, menurut studi tersebut.
“Ini terlalu banyak, terlalu dini,” ujar Kristof. “Kita memerlukan pembangunan yang lebih lambat untuk memberikan waktu bagi penduduk setempat untuk menyesuaikan diri, untuk belajar sehingga mereka dapat memanfaatkan kelapa sawit.”
TINDAKAN MEMPERLAMBAT
Tim penelitian menemukan bahwa pertanian kelapa sawit telah meningkatkan kualitas hidup untuk banyak pemangku kepentingan dalam industri ini, tetapi menunjukkan bahwa perluasan lebih jauh perlu transparan dan memperhitungkan kebutuhan masyarakat setempat.
Bila berbagai skema perluasan perkebunan kelapa sawit dipandang sebagai suatu cara untuk lebih jauh mengurangi kemiskinan dan menciptakan peluang ekonomi, lahan juga perlu disisihkan untuk masyarakat Arfak untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Kita memerlukan pembangunan yang lebih lambat untuk memberikan waktu bagi penduduk setempat untuk menyesuaikan diri, untuk belajar sehingga mereka dapat memanfaatkan kelapa sawit
Untuk mencegah deforestasi dan degradasi lahan lebih jauh, berbagai usaha pembangunan harus berfokus pada regenerasi perkebunan-perkebunan lama dan memperkenalkan berbagai varietas yang hasilnya lebih tinggi. Kristof mengatakan bahwa berbagai tindakan ini dapat menjadi sarana perlindungan untuk masyarakat setempat di Papua Barat sambil meningkatkan produksi.
“Kelapa sawit memang baik, tetapi harus dikurangi secara proporsional, kelapa sawit harus diimplementasikan dengan cara pendekatan yang lebih bertahap dan bukannya investasi besar berskala besar dalam jangka waktu singkat.”
Untuk informasi lebih jauh mengenai berbagai topik penelitian ini, silakan menghubungi Heru Komarudin di h.komarudin@cgiar.org atau Krystof Obidzinski di k.obidzinski@cgiar.org.
Penelitian CIFOR tentang bentang alam kelapa sawit merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org