New York – Ketidaksetaraan sosial juga bagian dari bentang alam– sehingga juga harus diperhitungkan dalam pendekatan bentang alam untuk pengelolaan pertanian dan hutan, seru seorang pakar ekonomi pembangunan.
Sebuah pendekatan bentang alam merupakan sebuah cara untuk memanfaatkan pendekatan holistik terhadap pengelolaan tata guna lahan untuk menyeimbangkan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan.
Berbicara di New York dalam Dialog Pembangunan CGIAR, Bina Agarwal dari Universitas Manchester dan Universitas Delhi menyatakan, meski pendekatan ini penting, namun sejauh ini, secara tipikal istilah ini hanya dipakai secara netral dalam politik yang masih menghiraukan diskrepansi kekuasaan di dalam masyarakat.
Menurut saya, pendekatan bentang alam dapat efektif jika kita menyadari bahwa ini bukanlah hanya untuk sebagian orang saja.
“Masyarakat tidaklah homogen, mereka tidak setara. Mereka dibagi dalam strata, oleh kasta/etnis dan jender. Dan masyarakat seperti itulah yang kemudian akan menentukan apakah pendekatan bentang alam bisa sukses atau tidak,” ujarnya.
Ketidaksetaraan bukan hanya di bidang sosial, namun juga ekonomi, lanjutnya; ini mempengaruhi distribusi dan akses terhadap sumber daya.
“Jadi jika Anda berbicara mengenai bentang alam sebagai sumber daya, maka Anda juga harus menyadari ketidaksetaraan ini,” terangnya.
Ketika pembuat kebijakan dan yang lainnya mengimplementasikan pendekatan ini – dimana dialog dan negosiasi menjadi kuncinya – mereka harus memberdayakan kaum miskin dan masyarakat terpinggirkan untuk menegosiasikan apa yang mereka harapkan, lanjut Agarwal.
- Di dalam Forum Bentang alam Global: Apakah itu pendekatan berbasis hak terhadap perencanaan tata guna lahan? Seperti apakah bentuknya dan kenapa ini penting? Hal-hal ini dan isu-isu lain adalah topik-topik dalam diskusi sesi ini di Forum Bentang alam Global di Lima, Peru 6-7 Desember.
“Kita berbicara tentang keterlibatan masyarakat, namun pertanyaannya adalah, bagaimana kita memastikan bahwa suara-suara mereka yang terpinggirkan, yang memiliki bagian terbesar dalam bentang alam lokal, secara fakta akan didengarkan dan mempengaruhi proses dialog?” ujarnya.
Berubah ke ‘mandiri’
Tren global membuat isu ini menjadi semakin penting. Di penjuru dunia, mereka yang berada dalam posisi lebih baik, dan secara proporsi lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan, cenderung meninggalkan pertanian dan berpindah ke kota, terangnya. Kaum perempuan dan orang tua ditinggalkan untuk tetap menggarap lahan.
“Orang-orang seperti inilah yang cenderung terpinggirkan dalam konteks akses terhadap sumber daya dan suara bagi komunitas lokal,” kata Agarwal – sehingga kebutuhan para petani ini berisiko tidak didengar dalam dialog terkait pembangunan.
Salah satu cara menanganinya adalah, dia mengusulkan, untuk membentuk semacam kelompok mandiri yang telah ada di banyak negara Asia Selatan, Afrika dan Amerika Latin – apakah mereka adalah kelompok perempuan, mikrokredit, pendatang atau penggembala, seperti dalam the Movimento dos Trabalhadores Sem Terras (gerakan penggarap lahan) di Brasil.
“Lewat kelompok-kelompok inilah ada kesempatan lebih besar bagi suara-suara masyarakat miskin agar lebih didengar.”
“Dan ini adalah kelompok-kelompok yang dapat menjadi dasar untuk membawa pendekatan bentang alam terus berkembang. Dialog ini harus dilakukan oleh masyarakat (dengan kaum miskin yang diberdayakan), dengan pembuat kebijakan, serta dengan akademisi dan ilmuwan.
“Semua kebutuhan ini membutuhkan keterlibatan tingkatan multi masyarakat,” lanjutnya.
“Saya rasa, pendekatan bentang alam akan efektif bila kita menyadari bahwa ini bukanlah untuk sebagian orang saja. Kita harus memberdayakan banyak pihak untuk bersuara bagi mereka sendiri.”
Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik yang didiskusikan dalam artikel ini, silakan menghubungi Bina Agarwal di bina_india@yahoo.com
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
The power of numbers in gender dynamics: illustrations from community forestry groups
AUDIO: What is a landscape approach?
Q&A: Terry Sunderland describes the landscape approach
Don’t be afraid of landscapes complexity, expert says
‘Landscape approach’ defies simple definition — and that’s good