LIMA, Peru— Meski pengelola lahan dan pengambil keputusan terus berbicara tentang memanfaatkan bentang alam guna menjaga keragaman hayati, mengurangi kemiskinan serta deforestasi seraya menjamin tersedianya suplai pangan, hasil awal dari kajian terbaru memberi sedikit bukti jelas apakah pendekatan ini efektif.
“Di tengah banyaknya literatur pendekatan bentang alam, hanya sedikit contoh studi kasus dalam literatur peer-review,” kata Terry Sunderland, peneliti utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
“Itu bukan berarti mereka tidak ada,” tambahnya, “hanya mereka tidak dilaporkan.”
Ia mempresentasikan hasil kajian tersebut, menyoroti celah antara riset dan praktik, pada Forum Bentang Alam Global 2014 yang digelar oleh CIFOR, Program Pembangunan PBB (UNEP) dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) berbarengan dengan konferensi tahunan perubahan iklim PBB. Acara ini menarik lebih dari 1.700 orang dari 90 negara, termasuk para perunding iklim, menteri, CEO, pemimpin adat, pemimpin masyarakat sipil dan peneliti.
- Untuk berita lain-lain, riset dan analisa terkait Forum Bentang Alam Global, kunjungi cifor.org/lima.
Dalam riset yang bermula dari percakapan dengan para rekannya, Terry ingin meneliti apa yang diperlukan pendekatan bentang alam dan bagaimana pemahaman soal ini berkembang, serta menemukan studi kasus yang menyoroti bagaimana dan mengapa pendekatan ini digunakan, dimana bisa efektif dan dimana tidak.
Ia menetapkan beberapa aturan mendasar studi kasus, yang metodologinya jelas dan bisa diulang, melibatkan setidaknya dua penggunaan lahan serta pemangku kepentingan dari dua sektor berbeda dan dapat dipercaya.
Tujuan Terry Sunderland adalah melakukan kajian literatur secara teliti, netral, sistematis yang bisa diperbaharui di masa depan oleh peneliti lain serta disebarkan lebih luas daripada hanya jurnal peer-review.
Informasi mengenai proyek ini tersedia di website, dilengkapi peta (cifor.org/landscape-map) yang memungkinkan pengambil kebijakan dan pengelola bentang alam mengungkapkan pandangan dan melihat perbandingannya dengan yang lain.
SATU BENTANG ALAM, BANYAK NAMA
Kendala pertama yang ditemui oleh Terry Sunderland adalah terminologi — sejumlah kata digunakan menggambarkan tata kelola bentang alam terintegrasi, dari mosaik hingga pertumbuhan hijau dan pertanian cerdas iklim.
Kata “bentang alam” juga secara luas digunakan di bidang lain, mulai dari filsafat, ketika peneliti menyadari pencarian awal basis data akademik menghasilkan 271,974 makalah.
Mempersempit pencarian judul makalah mengurangi hasil menjadi 13.290. Mencari kata tersebut di abstraksi menciutkannya menjadi 1.171 dan pencarian kandungan teks membuatnya menjadi 382 makalah yang dipandang relevan oleh para peneliti.
Usai membaca makalah, hanya tersisa 47 yang memaparkan kasus yang sesuai kriteria penelitian.
Sebagian besar penelitian dimulai dengan fokus pada sumber daya tunggal, kata Terry. Hutan dan penghidupan terbanyak, masing-masing 27 persen kasus, diikuti oleh air sebanyak 19 persen, tanah dan keragaman hayati masing-masing 13 persen, serta pertanian 4 persen.
Sepertiga makalah secara eksplisit merujuk pada perlunya pendekatan bentang alam, katanya. Lebih dari 80 persen dari semua kasus mengklaim hasil positif, walaupun tidak satupun yang melibatkan pemantauan dan evaluasi jangka panjang.
Hampir separuh kasus berada di Afrika tengah, sementara seperlima di Asia Selatan. Afrika Selatan, Asia dan Asia Tenggara masing-masing 9 persen, sementara hanya 4 persen kasus dari Amerika Utara.
“Ini tidak berarti yang lain tidak ada, di sana maupun di tempat lain,” kata Terry. “Secara intuitif, kita tahu bahwa proyek pendekatan bentang alam dilakukan di seluruh wilayah tropis.”
Pengelaman mendukung pandangan itu, tetapi juga menyoroti perlunya membawa penelitian lebih dekat pada pengambil kebijakan, pengelola lahan dan petani yang bisa memanfaatkannya.
CONTOH BANYAK, MAKALAH AKADEMIK SEDIKIT
Brasil melakukan pendekatan bentang alam dalam kebijakan publik selama bertahun-tahun, khususnya komite tata kelola daerah aliran sungai dan rencana pemanfaatan lahan teritorial yang melibatkan beragam kementerian kata Muriel Saragoussi, manajer sains Eksperiman Biosfir Atmosfer Skala Besar (LBA), di Amazon.
“Kita punya contoh sangat praktis,” kata Saragoussi, tetapi hanya sedikit makalah ilmiah ditulis, dan hanya sedikit pemantauan dan evaluasi jangka panjang.
Pendekatan itu menghadapi kendala, katanya, sebagian karena komitmen pemerintah tidak selalu bertahan setelah pemilu, dan sebagian karena bentang alam melintasi batas wilayah negara, provinsi dan lokal, memaksa yurisdiksi berbeda bekerja bersama, sementara “alam tidak selalu mengikuti aturan seperti itu.”
Konsep bentang alam terintegrasi juga terhadang pembiayaan, walaupun bankir tidak menggunakan kata itu, kata Jane Feehan, spesialis sumber alam European Investment Bank.
Investor mau mendukung proyek tata kelola bentang alam yang jelas dan terdiversifikasi, katanya. Menggabungkan karbon hutan dengan komoditas dan agroturisme berkelanjutan, contohnya, “dapat saling menguatkan dan dapat membantu mengatasi deforestasi dan penyebab deforestasi.”
BEREBUT KLAIM
Pendekatan bentang alam penting karena bersaingnya penggunaan lahan, khususnya untuk keamanan pangan dan konservasi keragaman hayati, kata David Cooper, direktur sains Bagian Penilaian dan Pemantuan Konvensi Keragaman Hayati.
“Pendekatan bentang alam memberi ruang negosiasi dan kerangka bagaimana diterapkan, tidak sekadar konservasi dan keberlanjutan, tetapi juga nilai yang diberi keragaman hayati untuk kegunaan lain,” seperti penyerbukan, kontrol penyakit, suplai air, regulasi iklim dan simpanan karbon, katanya.
Program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) juga memerlukan analisis skala-bentang alam “untuk menjamin insentif berbasis karbon tidak menghilangkan jasa lingkungan besar lain yang diberikan bentang alam,” katanya.
Di beberapa negara, hukum tidak secepat praktik, kata Cooper. Sementara banyak negara memiliki legislasi kehutanan, banyak regulasi tidak cukup kuat mengelola bentang alam ketika hutan hilang.
TIDAK BARU BAGI PETANI DAN LOKAL
Petani kecil dan masyarakat asli menggunakan dan mengelola bentang alam selama ratusan tahun, walau tidak pernah menggunakan istilah ini.
“Sebagai penjaga lahan, pendekatan bentang alam adalah bagian dan paket apa yang dilakukan petani di sebuah masyarakat,” kata petani Ethiopia Daniel Gad dari Organisasi Petani Dunia.
Kita perlu riset dalam bentuk yang dapat dipahami dan dimanfaatkan
Ia mendesak peneliti mencari solusi bagi hambatan produksi yang dihadapi petani kecil yang masih membajak dengan kerbau dan mengolah dengan cangkul.
“Kita perlu riset dalam bentuk yang dapat dipahami dan dimanfaatkan,” khususnya informasi terkait langsung produksi pertanian.
Pendekatan bentang alam juga “berterima dengan pandangan hidup dan praktik masyarakat asli,” kata Victoria Tauli-Corpuz, pelapor khusus PBB mengenai hak masyarakat asli.
Makalah peer-review mungkin kurang karena masyarakat asli jarang mampu melakukan riset dan periset luar tidak selalu memahami tata kelola tanah dan air masyarakat asli, katanya.
Tauli-Corpuz menyarankan membantu peneliti memahami praktik tersebut dan membangun pusat keunggulan pengetahuan tradisional.
Terry Sunderland menyatakan penelitiannya hanyalah langkah awal menuju pemahaman lebih dalam bagaimana tata kelola bentang alam terintegrasi dimanfaatkan.
Review lebih jauh “literatur abu-abu”, seperti dokumen proyek, yang belum peer-review, seharusnya memberi lebih banyak data.
Untuk informasi lebih mengenai topik dalam artikel ini, silahkan hubungi Terry Sunderland t.sunderland@cgiar.org.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Theory to practice: New paper lays out conditions for landscape approach to succeed
Landscape approach could pave way to achieving SDGs: experts
Landscapes approach strengthens all sectors
Landscape approaches: what are the pre-conditions for success?
Ten principles of a landscape approach
Forum links science, policy, sectors at turning point for climate, development
Unraveling the 'landscape approach': Are we on the right track?
Special report: Forests, climate & landscapes—Lima 2014
New York Declaration on Forests elicits praise, concerns
‘Landscape approach’ defies simple definition — and that’s good