Artikel ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 23 Oktober 2014.
INGAR-bingar UN Climate Summit di Markas Besar PBB, New York, sudah berlalu. Sekali lagi hutan tropis menjadi sorotan dunia dan masuk dalam agenda mitigasi perubahan iklim global. Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo akan tetap menjadi pemain penting.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menggaungkan komitmen Indonesia di Forum G-20 lima tahun silam untuk menurunkan emisi 26-41 persen pada tahun 2020. Bagaimana Presiden Joko Widodo mengambil tongkat estafet komitmen ini? Akan sejalankah dengan agenda Nawacita untuk mengukuhkan kedaulatan dan kemandirian Indonesia?
Sebagai warga komunitas internasional, berpartisipasi memecahkan masalah global adalah keharusan, tetapi mengorbankan kepentingan nasional tentu bukan pilihan.
Siapa berwenang?
Tata kelola hutan memang masih jauh panggang dari api sehingga kalau kita bertanya di mana saja hutan kita berada, berapa luasnya, dan bagaimana kondisi serta statusnya, jawaban untuk masing-masing pertanyaan bisa sangat beragam.
Mengapa demikian? Di sinilah letak akuntabilitas yang paling mendasar sehingga untuk bertanggung jawab kepada masyarakat pun kita masih kesulitan.
Ketika berhadapan dengan pengaruh kekuatan global (baca: asing), reaksi kita kadang berlebihan karena “asing” dianggap “musuh” kedaulatan. Padahal, musuh kita yang berbahaya adalah ketidaktahuan kita.
Sudah terlalu banyak teknologi dan puluhan proyek untuk menilai hutan kita. Pada masa Orde Baru, hutan kita sekitar 120 juta hektar. Hingga kini, luas itu tidak banyak berubah. Apakah itu mungkin?
Seorang rekan birokrat menjelaskan, namanya “kawasan hutan”, ya, memang tidak boleh berubah sebab kalau berubah, kita dianggap melanggar undang-undang. Namun, perlu diketahui bahwa kawasan hutan yang benar-benar berhutan saat ini hanya sekitar sepertiganya.
Apakah kebijakan satu peta (one map policy) yang sudah lama digadang-gadang akan serta-merta menyelesaikan masalah? Jawabannya sangat tergantung dari kewenangan yang kuat dan akuntabilitas yang andal dari lembaga yang menanganinya. Kewenangan suatu lembaga yang memiliki legitimasi sering tidak disertai kapasitas yang memadai.
Sumber daya hutan (dan lahan) adalah barang (goods) yang tidak hanya berupa kayu dan hasil hutan lain, tetapi juga mengandung bahan tambang dan mineral di bawahnya. Di samping itu, hutan juga memberikan jasa (services) dalam bentuk fungsi ekologis yang penting, antara lain sebagai pengatur tata air, sumber keanekaragaman hayati.
Tidak heran hutan bisa menjadi berkah (blessing), tetapi yang sering kita saksikan malah menjadi malapetaka, bahkan kutukan (curse). Karena itu, lembaga apa pun yang nanti akan mengelola sumber daya ini harus memiliki kewenangan yang jelas serta kemampuan dan kepemimpinan yang andal.
Kewenangan yang kuat dan berwibawa terkait dengan sistem insentif dan remunerasi. Pemerintah harus jujur bahwa aparatnya underpaid sehingga mereka mudah tergiur dengan hal-hal yang tidak jujur dan akuntabel.
Sudah saatnya pemerintah memberi imbalan yang memadai untuk pelayan masyarakat (civil servant). Agar menjadi yang tepercaya, mereka perlu dipercayai, jangan terus dituntut tanpa imbalan yang pantas.
Daulat atas hutan
Selama 10 tahun terakhir ini, masyarakat tidak pernah mendapat kejelasan bagaimana lembaga-lembaga pemerintah bekerja sama dalam hal tata ruang, apalagi jika terkait dengan hubungan pusat-daerah. Kesannya setiap kementerian bekerja sendiri dan hanya bisa disentuh kalangan sendiri.
Presiden pun kewalahan mengurus kabinet pelanginya yang tidak jauh dari transaksi politik. Belum lagi anak-anak mbeling yang sering disebut sebagai putra daerah. Tak heran kalau KPK dengan mudah menguntit dan menciduk mereka satu per satu.
Pemerintah baru tidak perlu mengulang kesalahan yang sama. Banyak birokrat baik yang selama ini tidak berkutik karena kepentingan politik yang tidak memihak rakyat, apalagi memihak kelestarian hutan.
Di seputar hutan kita sudah penuh dengan berbagai skema global. Sebut saja antara lain Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), ASEAN Agreement on Transboundary Haze Agreement (AAHTP).
Jika ada kayu keluar dari kawasan hutan dan tidak memiliki dokumen resmi dianggap ilegal ketika sampai di pasar global. Minyak sawit yang dihasilkan dari pengelolaan hutan dan gambut yang sembarangan juga akan menghadapi tekanan konsumen.
Hutan tropis sebenarnya tidak mudah terbakar dengan sendirinya. Namun, ketika kabut asap sampai ke hidung tetangga, masalahnya jadi lain. Apakah mekanisme tersebut mengusik kedaulatan kita? Kedaulatan atas hutan kita sendiri perlu dibangun dengan partisipasi penuh masyarakat dan pebisnis tanpa basa-basi.
Deklarasi PBB tentang hutan dan peranannya dalam mengendalikan perubahan iklim di New York memerlukan kesigapan Indonesia. Lagi-lagi kita dihadapkan pada persoalan yang menyangkut kedaulatan. Pemerintah baru tidak hanya menghadapi masyarakat global, tetapi juga para legislator yang tidak mudah diyakinkan.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org