BOGOR, Indonesia (15 November 2013) – Jika para pembuat kebijakan gagal mempertimbangkan secara hati-hati bagaimana mereka mendefinisikan hutan, mereka mengambil risiko mengorbankan potensi keberhasilan program REDD+ yang didukung PBB, yang bertujuan untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, kata para ilmuwan.
Suatu studi kasus baru-baru ini di Indonesia menemukan bahwa tantangan seperti menentukan perkebunan eukaliptus dan jati sebagai “hutan” dapat memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana emisi karbon dari deforestasi dan degradasi diukur dan dilaporkan, dan bagaimana penyebab deforestasi dikaji, demikian menurut sebuah kajian.
“Definisi menetapkan parameter yang dengan itu Anda menghimpun informasi mengenai hutan Anda di masa lalu, sekarang, dan masa datang, yang memungkinkan Anda mendesain skema REDD+ yang lebih efektif,” kata Louis Verchot, Direktur Penelitian Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang juga ilmuwan sekaligus penulis pembantu laporan baru.
“Jika definisi ini tidak jelas dan konsisten maka Anda akan mendasarkan penilaian keberhasilan Anda pada data yang tidak akurat. Anda mungkin berpikir mengalami dampak yang lebih besar dari yang sebenarnya.”
Penelitian tersebut, meninjau data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia dari 2000 sampai dengan 2009, menemukan bahwa tingkat deforestasi 28 persen lebih tinggi – 1,35 juta hektare lebih – bila menggunakan definisi nasional dibandingkan dengan definisi internasional, atau menggunakan definisi yang hanya mengakui hutan non-perkebunan.
Indonesia adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terkemuka dunia — 85 persen di antaranya berasal dari konversi dan deforestasi lahan. Memilih definisi hutan yang tidak sesuai dengan kondisi nasional dapat menyebabkan meluasnya area deforestasi yang dikecualikan oleh skema REDD+ dan tambahan 200 juta ton karbon yang dipompa ke atmosfer, ungkap laporan tersebut. Emisi ini harus diperhitungkan jika Indonesia ingin memenuhi janjinya untuk mengurangi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 26 persen pada 2020 dan untuk keberhasilan 44 proyek REDD+ yang saat ini sedang berjalan.
Studi kasus di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang berpartisipasi dalam program REDD+, khususnya kebutuhan untuk secara akurat memonitor dan melaporkan emisi karbon dan tingkat deforestasi mereka.
Data yang dikumpulkan menggunakan citra satelit dan daftar persediaan karbon dipakai untuk menentukan referensi emisi pada tingkat nasional (REL) — patokan untuk mengukur keberhasilan tindakan REDD+ dan dasar untuk menghitung pembayaran kompensasi.
Dengan demikian, kegagalan dalam mengupas semua sumber utama deforestasi secara komprehensf karena kesulitan mendefinisikan hutan dapat mempengaruhi legitimasi skema, kata Verchot, dan itulah sebabnya mengapa pemerintah harus memilih dengan bijak.
“REDD+ memiliki insentif keuangan, sehingga pembuat kebijakan harus sadar ketika mengirimkan definisi kepada Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim [UNFCCC] PBB bahwa mereka akurat dan menjaga cermat,” katanya menambahkan.
PERBEDAAN DALAM MENDEFINISIKAN HUTAN
Meskipun Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan agar negara-negara melaporkan hilangnya tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca menggunakan definisi yang diakui secara internasional, seperti definisi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi “deforestasi” dan “degradasi” dalam UNFCCC sendiri. Definisi tersebut berbeda-beda di setiap negara, bahkan di tingkat provinsi dan daerah dalam suatu negara.
Di Indonesia, sebagian besar definisi ditentukan oleh Kementerian Kehutanan (MOF) dan perkebunan (hutan tanaman tunggal, seringnya spesies non-pribumi) dianggap sebagai bagian dari domain hutan nasional.
Ini berarti bahwa di bawah Kementerian Kehutanan saat ini, perkebunan jati dan eukaliptus diklasifikasikan sebagai “hutan”, yang bisa memiliki implikasi emisi yang besar, kata Verchot.
Meskipun hutan tanaman memang menyimpan karbon, mereka berkontribusi terhadap pengurangan emisi bila ditanam di lahan kritis dengan kepadatan karbon yang rendah pada awalnya, kata dia menambahkan, sehingga sejarah tanah yang akan ditanami harus dipertimbangkan.
“Beberapa yang tidak masuk ke dalam definisi terbaru adalah hutan tanaman yang menggantikan hutan alam, seperti rawa gambut, yang melepaskan sejumlah besar emisi ke atmosfer,” katanya. “UNFCCC sangat spesifik bahwa emisi dari konversi hutan alam menjadi hutan tanaman harus dipertimbangkan dalam skema REDD+ nasional.”
Dengan pemikiran ini, ilmuwan CIFOR memutuskan untuk kembali memeriksa data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia untuk mengungkap sejauh mana definisi FAO, definisi “hutan alam” yang mengecualikan hutan tanaman, dan Departemen Kehutanan akan berdampak pada penilaian laju deforestasi dan penyebab deforestasi.
Studi ini menemukan bahwa antara 2000 dan 2009, laju deforestasi seluas 4,9 juta hektare terjadi saat menggunakan definisi FAO, 5,8 juta hektare saat menggunakan definisi “hutan alam” (18 persen lebih tinggi), dan 6,8 juta hektare saat menggunakan definisi MOF (28 persen lebih tinggi).
Pemilihan definisi menyebabkan hasil yang sangat berbeda.
Sebagai contoh, di bawah definisi internasional FAO, semak belukar dianggap hutan sekunder, berdasarkan tutupan dan tinggi kanopi. Ini berarti bahwa di Kalimantan dan Sulawesi, antara 2003 dan 2006, sebagian besar kawasan hutan sekunder yang dikonversi ke semak belukar tidak dihitung sebagai “deforestasi” berdasarkan definisi FAO.
Oleh karena itu, laju deforestasi dua kali lebih tinggi untuk definisi hutan alam Kementerian Kehutanan daripada definisi hutan alam FAO di daerah-daerah ini.
Bahkan, lebih dari setengah total luas area yang terdeforestasi di Indonesia pada 2000-2009 disebabkan oleh konversi hutan sekunder ke semak belukar berdasarkan definisi hutan nasional dan hutan alam, yang tidak diakui oleh definisi FAO.
Baik definisi menurut FAO maupun Kementerian Kehutanan tidak membeda-bedakan perkebunan dan hutan alam. Ini berarti bahwa ketika lebih dari 130.000 hektare lahan gambut, hutan bakau, dan hutan dataran tinggi dikonversi menjadi hutan tanaman di Sumatera pada 2006-2009, mereka diakui sebagai digunduli hanya dengan definisi hutan “alam”.
Tanpa membedakan antara hutan alam dan hutan tanaman, data sering bisa menyesatkan, kata Verchot. Dia menunjuk ke lonjakan dalam laju “deforestasi” di Jawa antara 2003 dan 2006 di mana kedua definisi Kementerian Kehutanan dan FAO mengakui konversi 650.000 hektare perkebunan hutan menjadi lahan pertanian sebagai “deforestasi”, sedangkan definisi alami tidak.
DEFINISI MANA YANG HARUS DIPILIH?
Sementara pentingnya definisi hutan alam semakin diakui oleh LSM, organisasi penelitian, dan dalam perundingan-perundingan REDD+ UNFCCC, Verchot dengan cepat menyebutkan bahwa pilihan definisi terletak di tangan para pembuat kebijakan di Indonesia.
“Kami tidak merekomendasikan definisi tertentu untuk digunakan … kami hanya ingin menunjukkan implikasi dari keputusan tertentu ketika memilih definisi hutan. Begitu implikasi dari pilihan tertentu dipahami, langkah-langkah mitigasi untuk hasil yang tidak diinginkan, seperti mendefinisikan dan menghitung emisi dari degradasi hutan dapat diatasi, misalnya.”
Namun, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.
Pertama, Verchot mengatakan, definisi internasional yang tidak sesuai dengan keadaan nasional dapat menyebabkan deforestasi yang signifikan. “Hal ini penting untuk integritas skema REDD+ dalam menangani hutan alam dan hutan tanaman secara berbeda.”
Kedua, kata dia, “Bagaimana Anda mendefinisikan hutan sangat mempengaruhi apa yang Anda nilai sebagai penyebab deforestasi dan apa yang Anda lakukan mengenai hal itu. Jika definisi Anda tidak mengurangi porsi deforestasi secara signifikan, kebijakan untuk mengurangi deforestasi mungkin melewatkan bagian besar dari masalah dan tidak efektif.”
Untuk informasi lebih lanjut tentang bentang alam dan hutan, kunjungi http://www.landscaes.org/
Untuk informasi lebih lanjut tentang topik yang dibahas dalam artikel ini, silakan hubungi Louis Verchot di l.verchot @ cgiar.org
Karya ini merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR mengenai Hutan, Pohon, dan Agroforestri.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org