BOGOR, Indonesia (5 Oktober 2012)_Negara-negara yang kaya akan hutan harus memastikan bahwa kebijakan untuk program-program pengurangan emisi, seperti REDD+, didasarkan pada pengukuran akurat dari karbon yang tersimpan dan dilepaskan oleh pepohonan, karena bila tidak, negara-negara dapat berlebihan dalam memperkirakan kontribusinya dalam mengurangi emisi GRK planet ini.
Louis Verchot, salah satu ilmuwan senior di Center for International Forestry Research (CIFOR) mengatakan, tanpa pengukuran dasar hal ini tidak mungkin digunakan untuk memperkirakan dampak dari kebijakan kehutanan terhadap tingkat GRK global.
“Salah satu tantangan teknis terbesar dalam pelaksanaan REDD+ ialah menentukan dampak apa yang Anda berikan,” ujarnya. “Berapa banyak wilayah yang telah terdeforestasi? Berapa besar kadar karbon dan letak wilayah deforestasi ? Serta berapa banyak kandungan karbon tyang telah ditransfer dari ekosistem ke atmosfer.”
“Anda dapat berkata kepada diri sendiri bahwa Anda sedang mengalami dampak positif meski sebenarnya tidak demikian. Memahami emisi karbon adalah hal dasar untuk benar-benar dapat memberi dampak pada atmosfer.”
Lebih dari 40 negara sekarang bergerak maju dengan proyek-proyek untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+, sebuah mekanisme internasional yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon dengan membantu secara finansial negara-negara berkembang melindungi hutan mereka. Keberhasilan REDD+ disebutkan tergantung pada akurasi pengukuran karbon yang disimpan dan dilepaskan dari hutan.
Mencapai sasaran tersebut merupakan fokus dari studi komparatif global tentang skema Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutann selama empat tahun yang bertujuan untuk mendukung negara-negara sedang berkembang untuk mengembangkan kapasitas teknisnya.
Di seluruh dunia, tim-tim peneliti CIFOR sedang mengukur karbon dan gas-gas lain yang tersimpan dalam berbagai jenis hutan-hutan perawan, hutan terdegradasi dan di daerah-daerah yang hutannya sudah dirusak-untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar mengenai dampak menyeluruhnya terhadap atmosfer.
“Kemampuan untuk mengkuantifikasi jumlah karbon akan menjadi penting karena hal tersebut akan membantu kita, selama tujuh sampai sepuluh tahun mendatang, untuk membangun inventaris gas rumah kaca berbagai negara dan memfasilitasi akuntansi karbon. Ini merupakan isu teknis yang dapat kita selesaikan atau membuat kemajuan tentang hal tersebut.”
Negara-negara yang kaya akan hutan di daerah tropika biasanya tidak memiliki inventaris atau catatan sejarah dari hutan-hutan mereka, termasuk jumlah karbon yang dikandungnya. Dengan menyediakan dasar untuk akuntansi karbon dalam hutan-hutan tersebut penelitian CIFOR dapat membantu mengokohkan keputusan-keputusan kebijakan dan kegiatan yang terkait dengan REDD+.
Di Indonesia, daerah hutan gambut menyimpan karbon dalam jumlah sangat banyak yang terakumulasi dalam tanah tanah yang lunak dan terendam air di bawah permukaan tanah. Ketika bagian ini ditebangi dan rawa gambut dikeringkan untuk penanaman tanaman budidaya seperti kelapa sawit, maka sejumlah besar karbon dioksida akan dilepaskan ke atmosfer.
“Untuk setiap tahun pengeringan lahan gambut, bertambah 8 sampai 12 ton karbon per hektar dilepaskan ke atmosfer,” ujar Verchot.
“Untuk setiap tahun pengeringan lahan gambut, bertambah 8 sampai 12 ton karbon per hektar dilepaskan ke atmosfer,” ujar Verchot.
Para peneliti CIFOR telah memperkirakan, hanya dari tanah gambut saja telah disumbangkan sekitar 60-80 persen (dari emisi global), namun Verchot memperingatkan, “Sebagian wilayah Asia Tenggara merupakan lahan gambut yang perubahannya paling cepat dan kita hanya tahu sedikit tentang kerapatan karbonnya.”
“Alasan mengapa sukar [untuk mengukurnya] ialah karena emisinya persisten dari lahan gambut,” ujarnya. “Ketika Anda mengeringkan gambut, Anda menjemur [karbon] yang bila tidak dikeringkan akan terlindung, karena lahan gambut yang kebanjiran bersifat anaerob – tidak ada oksigen sehingga hanya terjadi sedikit saja dekomposisi (pembusukan).”
Bagaimana mengukur emisi karbon?
Untuk mengukur gas rumah kaca di hutan, para peneliti melakukan perjalanan ke daerah-daerah terpencil berbekal peralatan pengambilan sampel tanah, vegetasi, air dan udara guna dianalisa di laboratorium.
Jody Harthill, seorang mahasiswa tingkat doktoral dan peneliti di CIFOR, mengingatkan para asisten lokal untuk tidak merokok di sekitar plot penelitian di suatu hutan di Sumatra.
Plot-plot penelitian ini luasnya mencakup 162.000 hektar rawa gambut belum tersentuh di Taman Nasional Berbak, berjarak satu hari perjalanan penuh dari ibu kota provinsi dengan menggunakan perahu. Merokok tempat plot-plot tersebut dapat mengontaminasi sampel-sampel gas yang dikumpulkan—berupa data yang berguna untuk membantu para pembuat kebijakan mengelola hutan di masa depan.
Kembali di lab di Jambi, Harthill dan para peneliti lainnya menganalisis data yang dikumpulkan untuk membandingkan fluks gas yang dilepaskan ke atmosfer oleh hutan-hutan perawan dan tanah gambut yang membusuk di bawah perkebunan kelapa sawit.
“Perkebunan kelapa sawit ini [yang sedang kami ukur] luas sekali, wilayah gambut dimana kami berdiri sekarang ini luas sekali, dan tentunya volume gas yang dikandungnya sangat banyak,” ujarnya.
“Tetapi keadaan ini mewakili hanya sebagian kecil saja dari apa yang sedang terjadi di seluruh dunia. Peningkatan secara proporsional usaha untuk mengukur emisi karbon ini dapat memberi dampak yang besar sekali pada perubahan iklim.”
Penelitian Harthill akan membantu negara-negara seperti Indonesia untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi (MRV) emisi seakurat mungkin. Secara khusus, negara-negara perlu mengukur perubahan stok karbon dan emisi gas-gas rumah kaca lainnya yang dihasilkan dari tata guna lahan dan perubahan tata guna lahan, termasuk yang terjadi di wilayah hutan.
“Untuk menjadikannya sangat sederhana, kita dapat membandingkan stok karbon dengan rekening bank. CIFOR sedang mencoba menghitung seberapa banyak uang [karbon] yang dihemat atau hilang selama tahun tersebut dengan mencatat saldo dari transfer masuk dan keluar rekening tersebut [ekosistem],” ujar Kristell Hergoualc’h, seorang peneliti CIFOR yang juga sedang mengerjakan penelitian tersebut.
Jalannya ke depan mungkin meningkatkan kerj sama antara lembaga-lembaga penelitian, fakultas-fakultas kehutanan dan pertanian di universitas dan lembaga penelitian lain yang relevan dan lembaga-lembaga antar negara.
Dengan berbagi ketrampilan teknis dan meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain seperti CIFOR, negara-negara sedang berkembang dapat meningkatkan rancangan dan efisiensi program-program REDD+ mereka, ujar Verchot.
“Hal tersebut menyangkut intervensi Anda sehingga Anda mendapatkan nilai terbaik dari uang Anda sehingga ketika Anda menginvestasikan uang Anda dalam REDD+, Anda benar-benar mendapatkan pengurangan emisi tertinggi yang mungkin atau pengurangan emisi dengan biaya terendah yang mungkin.”
Dengan laporan tambahan oleh Catriona Moss dan Andrea Booth.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Responding to Climate Change sebagai bagian dari kisah hutan selama satu minggu. Ikuti laporan minggu tersebut di Twitter melalui #ForestWeek dan tinggalkan pandangan Anda di halaman Facebook.kami.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org